NovelToon NovelToon
Heavenly Body, Broken Trust!

Heavenly Body, Broken Trust!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Romansa / Ahli Bela Diri Kuno / Fantasi Wanita
Popularitas:700
Nilai: 5
Nama Author: kimlauyun45

Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.

Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.

Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?

Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ancaman masalalu

Abu itu beterbangan, lalu berhenti di udara dekat Banxue. Angin sore menggerakkan serpihan halus, dan dari abu yang hangus itu tercium wangi samar—seperti bunga plum yang sedang mekar, manis tapi dingin, menyelip ke dalam hidung Jingyan sebelum ia sempat memahaminya. Abu itu berputar, membentuk pola samar di udara—seolah melayang dengan niat, lalu perlahan menghilang menjelang tanah. Banxue menatap titik tempat abu menguap, matanya redup sejenak, lalu menutup rapat.

“Kenapa kau membakarnya?” Wayne bertanya, tidak bisa menyembunyikan nada curiga. “Surat semacam itu—bisa jadi petunjuk.”

Banxue tidak menjawab. Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu yang hampir pecah di dalamnya.

“Kau tidak perlu tahu.” Suaranya datar. Ia menatap Jingyan sebentar, lalu mengalihkan kembali pada langit yang mulai menua. “Jingyan, ayo pergi.” Ia berdiri, namun tubuhnya sedikit goyah seolah menahan berat.

Jingyan tidak langsung mengikuti. Ia mengangkat satu tangan, menahan langkah Banxue.

“Kau tidak bisa terus menyimpan semuanya sendiri. Siapa yang menulis itu? ‘Pohon plum’… kau kenal tanda itu?”

Banxue menatap Jingyan, mata yang biasanya penuh jarak kini mengandung retakan halus—tidak cukup untuk menunjukkan kelemahan, tapi cukup agar Jingyan merasakan getarannya.

“Aku tidak akan menyeret kalian ke dalam sesuatu yang belum jelas,” jawabnya, nada dinginnya kembali. “Kalau itu memang jebakan, maka setiap yang terlalu tahu akan ikut terjerat.”

Linrue menatap Banxue, lalu ke arah Fengyu. “Kalau begitu, setidaknya kita bisa mencari asal panah ini. Dari mana ia ditembakkan?”

Fengyu mengangguk, matanya menyapu ke sekeliling. Ia mengambil posisi, pandangannya mengarah ke arah utara—ada bekas-bekas jejak halus di tanah, goresan dari senar busur, arah panah.

“Ada jejak, tapi samar. Sudah ada orang yang menyamarkannya,” gumamnya. “Kalau kita mengikuti sedikit ke utara, kita bisa tahu dari mana panah itu datang—tapi itu berarti akan meninggalkan tempat ini sebentar.”

Suasana menjadi berat. Banxue menatap ketiga rekannya, lalu menatap Jingyan lagi.

“Kau ikut,” katanya ke Jingyan, suara yang tidak meminta izin. “Tapi yang lain… tinggal di sini. Katakan pada mereka tidak ada apa-apa, sampai aku kembali.”

Jingyan menghela napas, lalu mengangguk. Ia berdiri di samping Banxue.

“Kalau aku pergi, apa kau akan menceritakannya padaku. Tidak ada rahasia lagi, Banxue.”

Banxue mengangkat sedikit bibirnya—bukan senyum, hanya pengakuan. Ia berbalik, menatap arah utara tempat jejak samar mengarah. Di balik deretan pepohonan, ada sosok kecil—sebuah bayangan yang diam, mengamati dari jauh. Ia menutup tatapan itu cepat, seakan tidak ingin ketahuan.

Langit jingga berubah perlahan jadi ungu tua. Ketegangan mengumpul di udara, seperti sebelum badai. Banxue dan Jingyan melangkah, mengikuti jejak samar. Di belakang mereka, Wayne, Linrue, dan Fengyu saling bertukar pandang, antara ragu dan kesiapsiagaan.

Langkah mendekat ke bayang-bayang. Di suatu tempat di antara wangi abu plum yang masih tersisa dan langit yang menggelap, persoalan identitas mulai membuka pintu yang lebih lebar dari apa yang semula terlihat.

Langkah mereka membelah jalan setapak yang mulai redup. Jingyan berjalan sedikit di belakang Banxue, tapi langkahnya cukup ringan untuk tetap menjaga jarak yang tidak membuat Banxue merasa diawasi.

“Dari mana panah itu datang?” tanya Jingyan pelan, memecah kesunyian yang hanya diisi gesekan angin dengan dedaunan.

“Utara,” jawab Banxue singkat. Suaranya tak mengandung getar.

Jingyan menatap punggung Banxue yang berjalan tanpa ragu. “Dan pengirimnya… kau tahu siapa dia, bukan?”

Banxue berhenti. Tidak berbalik. Hanya menoleh sedikit, cukup agar suaranya bisa terdengar lebih langsung.

“Anyu.”

Jingyan mengerutkan kening. “Anyu? Siapa dia?”

Banxue menatap sejenak ke arah ranting pohon plum yang menjulur dari sela-sela batu. Hening sejenak.

“Orang dari masa lalu,” ujarnya datar. “Mantan kekasihku.”

Jingyan terdiam. Tidak karena cemburu, tapi karena terkejut—karena itu kata yang tidak pernah ia sangka akan keluar dari mulut Banxue.

Banxue melanjutkan langkahnya. Ia tahu Jingyan akan menyusul.

“Dulu,” katanya, suaranya mulai lebih dalam, “kami tumbuh di lingkungan yang sama. Sekte Xuanyin. Dia orang yang aku percayai… sebelum dia memilih menyelamatkan nyawa keluarganya sendiri, dan membiarkan seluruh sekte kami dibantai.”

Jingyan mengejarnya, matanya menajam.

“Kau—maksudmu dia mengkhianatimu?”

“Bukan hanya aku.” Banxue menatap jalan setapak yang perlahan menurun menuju hutan kecil. “Seluruh guruku. Para sesepuh. Teman-temanku. Keluargaku. Semua... mati malam itu. Dan dia tahu yang akan terjadi. Tapi dia tidak bicara. Tidak memperingatkan. Tidak memilih kami.”

Jingyan membuka mulut, tapi tak ada kata keluar. Ia bisa melihat, untuk pertama kalinya, luka di dalam mata Banxue—bukan air mata, tapi bekas luka yang sudah kering, menghitam, dan tak akan bisa dihapus waktu.

“Setelah bertahun-tahun dia mencariku. Memohon maaf. Tapi aku sudah selesai.” Banxue menatap ke atas, menembus langit yang semakin gelap. “Aku bahkan tak bisa mengingat wajahnya lagi. Itu sudah terhapus sebelum aku bertemu Fengyu.”

Jingyan menunduk. “Lalu kenapa sekarang dia muncul?”

Banxue terdiam sejenak, lalu berkata lirih, “Karena dia tahu aku mulai hidup tenang. Dan seseorang seperti dia... tak tahan melihatku utuh kembali tanpa dirinya.”

Jingyan perlahan mengangguk.

“Kalau begitu,” katanya hati-hati, “apa yang akan kau lakukan jika bertemu dengannya?”

Banxue menatap ke depan, langkahnya mulai melambat saat suara air kecil terdengar dari kejauhan—sebuah sungai kecil yang membelah hutan. Angin membawa aroma dedaunan lembap dan wangi samar yang membuatnya ingin menutup mata.

“Aku tidak tahu,” jawab Banxue. “Tapi kali ini, aku tidak akan lari.”

1
Daisy
Keren banget sih cerita ini! Baca sampe subuh aja masih seru.
Winifred
Wow! 😲
Axelle Farandzio
Bahasanya halus banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!