Setelah kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya dan membuatnya buta karena melindungi adiknya, pernikahan Intan dibatalkan, dan tunangannya memutuskan untuk menikahi Hilda, adik perempuannya. Putus asa dan tak tahu harus berbuat apa, dia mencoba bunuh diri, tapi diselamatkan oleh ayahnya.
Hilda yang ingin menyingkirkan Intan, bercerita kepada ayahnya tentang seorang lelaki misterius yang mencari calon istri dan lelaki itu akan memberi bayaran yang sangat tinggi kepada siapa saja yang bersedia. Ayah Hilda tentu saja mau agar bisa mendapat kekayaan yang akan membantu meningkatkan perusahaannya dan memaksa Intan untuk menikah tanpa mengetahui seperti apa rupa calon suaminya itu.
Sean sedang mencari seorang istri untuk menyembunyikan identitasnya sebagai seorang mafia. Saat dia tahu Intan buta, dia sangat marah dan ingin membatalkan pernikahan. Tapi Intan bersikeras dan mengatakan akan melakukan apapun asal Sean mau menikahinya dan membalaskan dendamnya pada orang yang sudah menyakiti
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon La-Rayya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merawat Sean
Intan berjalan ke sofa dan duduk di sana, mengingat semua yang terjadi sejak kejadian di kolam renang.
'Kenapa dia tidak bilang kalau itu dia? Kenapa dia berpura-pura jadi Sekretaris Julian? Dan kenapa dia berbohong soal usianya?' tanya Intan dalam hati.
Tapi kemudian Intan berpikir lagi dan menyadari Sean tidak pernah berbohong. Dialah yang langsung menyimpulkan semua tentang Sean. Intan yakin Sean itu tua karena Helena bilang begitu, dan Intan yakin pria yang menciumnya adalah sekretaris Julian karena sekretarisnya membenarkannya. Sean tidak pernah memberitahunya semua itu.
Tapi kesalahannya bukan cuma pada Intan saja. Lagipula, Sean yang terus membuat Intan memercayai hal-hal itu dengan tidak menyangkal apa pun. Sean sama bersalahnya dengan Intan. Lalu Intan mengingat saat dia mengusir Sean tadi malam, dan tak lama kemudian hujan mulai turun. Sean basah kuyup gara-gara Intan, dan sekarang dia sakit juga. Intan merasa bahwa dia adalah orang yang jahat. Dialah yang membuat Sean jatuh sakit.
Bi Lila turun.
"Apakah sekretaris Julian membawa obatnya?" Tanya Bi Lila.
"Ya, obatnya ada di sini." Jawab Intan.
Intan menunjukkan obat itu pada Bi Lila, lalu bangkit dan hendak naik ke ke lantai atas.
"Non Intan tidak perlu naik ke atas." Ucap Bi Lila.
"Aku mau melihatnya. Bisakah Bi Lila membuat sup ayam. Hidangan hangat dan mengenyangkan bisa membantu meredakan demam. Itulah yang biasa dilakukan Mamaku semasa hidup. Mamaku sering memasaknya untukku, dan jangan lupa tambahkan rempah segar untuk meningkatkan cita rasa sup nya." Ujar Intan.
Bi Lila tersenyum dan menjawab.
"Baik, Non Intan, saya akan melakukannya dengan hati-hati." Balasnya.
"Terima kasih, Bi Lila." Ucap Intan.
"Apakah Anda butuh bantuan untuk naik ke atas?" Tanya Bi Lila.
"Tidak perlu Bi. Saya bisa melakukannya sendiri." Jawab Intan.
Perlahan Intan naik ke lantai atas menuju kamar Sean dan mendekati tempat tidur, menukar kompresnya dan meraba bajunya yang berkeringat. Awalnya Intan ragu, apakah harus melepas pakaian Sean agar dia tidur lebih nyaman.
Setelah mempertimbangkan, Intan mengulurkan tangannya untuk memegang kancing-kancing pakaian Sean dan perlahan membukanya. Wajahnya memanas, dan dia langsung mundur, menyadari betapa bodohnya dirinya. Dia bahkan tidak bisa melihat tubuh Sean. Pria itu pingsan karena demam, dan di sinilah dia sekarang, merasa malu melepas baju Sean yang basah.
Intan berbisik pada dirinya sendiri, mengumpulkan keberanian untuk menyelesaikan membuka kancing kemeja Sean. Namun, ternyata lebih sulit dari yang dia duga. Dia mencoba membalikkan badan Sean, tetapi sulit. Lagipula, Sean tingginya 190 cm, sementara Intan hanya 160 cm.
Intan kesulitan mengendalikan Sean, tapi akhirnya berhasil melepaskan salah satu lengannya. Saat dia mencoba melepaskan lengan yang kedua, Sean membuka matanya, mengangkat tangannya ke tengkuk Intan, dan menciumnya.
"Sean? Berhenti!" Ucap Intan.
"Kau cantik sekali." Ucap Sean mengigau.
Entah bagaimana pria lemah yang demam itu bisa bergerak secepat itu, membaringkan Intan di tempat tidurnya dan menindihnya. Sean terus menciumi leher Intan, meremas dada Intan dan ketika dia mulai mengangkat pakaian Intan, Intan langsung mendorongnya dan memanggilnya.
"Hei Sean, hentikan itu!" Pekik Intan.
Sean tampak tersadar sejenak, lalu mundur.
"Intan? Ahh... Maaf." Ucap Sean lirih.
Sean mencoba berdiri, tapi merasa pusing dan kembali terduduk. Intan membantunya dan membaringkannya, lalu menyelimutinya. Untungnya, Sean baru saja melepas bajunya. Intan kembali mengompresnya lagi dengan kompres dingin, dan Sean pun tertidur.
Intan tetap di sisinya, mengawasinya sepanjang waktu. Malam tiba dan Bi Lila datang membawakan sup. Intan mencoba membangunkannya agar dia bisa makan, tapi dia sudah tertidur lelap. Intan lantas meminta Bi Lila untuk menyimpan sup nya agar bisa dihangatkan jika Sean bangun nanti.
"Apakah Non Intan akan tidur di sini?" Tanya Bi Lila.
"Ya, Bi Lila boleh istirahat." Jawab Intan.
"Tapi Non Intan belum makan apa pun." Ucap Bi Lila.
"Aku tidak lapar, aku janji akan sarapan yang mengenyangkan besok. Saat ini, aku benar-benar tidak nafsu makan." Ujar Intan.
"Baiklah, Non, tapi jika Anda butuh sesuatu, panggil saja dan saya akan segera datang." Ucap Bi Lila.
"Baik, terima kasih Bi Lila. Sekarang istirahatlah." Balas Intan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Intan merawat Sean sepanjang malam dan akhirnya tertidur sambil duduk di ujung tempat tidur. Sudah lewat pukul empat pagi ketika Sean terbangun dengan mulut kering. Saat ia bangun, dia melihat Intan tergeletak di lantai dengan kepala bersandar di lengannya di tepi tempat tidur.
"Apa...?"
Sean terdiam sebelum berkata apa-apa dan membangunkan Intan. Dia tidak mengerti mengapa Intan tidur seperti itu. Saat dia bangun, dia merasa agak lemas, tapi tetap berjalan dengan tenang mendekati tubuh Intan yang rapuh. Dia menggendongnya dengan lembut, tapi Intan tetap terbangun.
"Apa yang kau lakukan, Sean? Turunkan aku sekarang!" Ucap Intan.
"Apa yang kamu lakukan? Kenapa kau tidur di lantai kamarku?" Tanya Sean.
"Apa maksudmu bertanya aku sedang apa disini? Aku kan lagi ngurusin kamu. Kamu nggak lihat badanmu demam?" Ucap Intan.
Intan hendak menyentuh wajah Sean, tetapi dia langsung menjauh. Intan lalu meletakkan tangannya di bahu dan dada pria itu. Tubuhnya tidak sepanas sebelumnya, dan itu sungguh melegakan bagi Intan.
"Syukurlah demamnya sudah turun." Ucap Intan.
"Aku demam?" Ucap Sean bingung.
"Tentu saja. Kenapa kau pikir aku di sini menjagamu? Kenapa kau pikir aku melepaskan pakaianmu?" Ucap Intan.
"Haha, kau melepas bajuku!" Seru Sean tertawa.
Meskipun ruangan itu remang-remang, Sean bisa melihat Intan tersipu. Intan berbaring di tempat tidur dan mencoba menutupi wajahnya.
"Menurutmu apa yang sedang kau lakukan?" Tanya Intan.
"Menempatkan mu di tempat tidurku, dan akan sangat seksi jika aku tidak mengerahkan seluruh tenagaku untuk mengangkat mu dari lantai." Jawab Sean.
"Jangan bodoh, tidurlah. Kenapa kau malah bangun?" Ucap Intan.
"Aku haus dan aku ingin mandi." Balas Sean.
"Baiklah, mandi dulu sana. Aku akan turun ke bawah menemui Bi Lila meminta seprai bersih dan menghangatkan sup mu." Ucap Intan.
"Tidak perlu, kau bisa jatuh sambil bawa seprai itu. Panggil saja Bi Lila, dan dia bisa mengurus semuanya!" Balas Sean.
"Aku bisa melakukannya sendiri. Aku bukan orang yang tidak berguna." Ucap Intan.
"Aku tidak pernah bilang begitu! Aku cuma tidak mau kamu terluka." Balas Sean.
"Argh, aku tidak akan jatuh. Jangan ganggu aku." Ucap Intan.
Intan hampir menggeram saat mengatakan ini, lalu tiba-tiba tertawa. Sean tidak mengerti, tapi mendengar tawa Intan terasa sungguh luar biasa baginya.
"Apanya yang lucu? Kenapa kau tertawa?" Tanya Intan.
"Kita bertengkar layaknya pasangan sungguhan, seolah-olah kita sudah menikah bertahun-tahun." Ucap Intan.
Sean menatap Intan dengan serius dan menjawab.
"Kita memang pasangan suami istri yang sebenarnya." Ucap Sean.
"Kita? Terakhir kudengar, kau memanfaatkan ku untuk menyalahkan aku atas apa yang kau lakukan, atau mungkin aku salah dengar?" Ucap Intan.
Sean hanya terdiam.
Bersambung...