Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersimpan dalam sebuah tatapan..
Pagi itu langit mendung, seolah menyatu dengan rasa was-was yang menghantui Nayla. Angin dingin menyusup di sela-sela baju formal yang ia kenakan. Sepasang sepatu hitamnya menapaki pelataran gedung pengadilan dengan berat, seolah ada beban yang lebih dari sekadar gugatan yang akan kembali ia hadapi.
Di sebelahnya, Aldi berjalan dengan langkah pasti. Jas hitam yang ia kenakan membuatnya tampak lebih dewasa dari biasanya. Rambutnya disisir rapi ke belakang, dan ada ketegasan yang menyelimutinya. Namun tatapan matanya, sesekali mencuri pandang ke arah Nayla. Ia tahu, pagi ini Nayla berbeda. Wajahnya pucat, tatapannya kosong, dan senyumnya... menghilang entah ke mana.
Mereka duduk di kursi tunggu lantai dua, menanti giliran sidang. Nayla membungkam diri, menatap map berisi dokumen dan kronologi yang telah mereka susun. Tangannya sedikit gemetar.
“Nayla,” Aldi memecah keheningan. Suaranya lembut, namun ada ketegasan yang tak bisa diabaikan. “Sebelum kita masuk... ada hal yang harus kamu tahu.”
Nayla menoleh, pelan. Pandangannya tampak lelah. “Apa?”
“Semalam Raka menemuiku.”
Nayla terkejut, namun tak berkata apa pun. Aldi melanjutkan.
“Dia bilang dia akan melepasmu... tapi tidak dengan ikhlas. Dia ingin kamu percaya bahwa kamu tak akan pernah bisa bahagia. Katanya, bayang-bayang dia akan terus ikut ke mana pun kamu pergi.”
Nayla menunduk. Matanya mulai memerah. Aldi menyentuh bahunya lembut. “Aku tidak bilang ini untuk menakutimu. Tapi aku pikir kamu harus tahu, supaya kamu makin yakin bahwa langkahmu sudah benar. Karena orang yang mencintaimu tidak akan pernah berkata seperti itu.”
Nayla menarik napas panjang. “Aku tahu dia jahat, tapi tetap saja... kenangan itu tidak mudah hilang.”
“Dan kamu tidak perlu menghapus semuanya,” kata Aldi pelan. “Karena luka pun bisa jadi kekuatan, kalau kamu belajar berjalan dengan itu.”
Mereka terdiam beberapa saat, hingga Nayla berkata, “Kalau suatu saat aku jatuh... jangan tarik aku, ya.”
Aldi menoleh cepat. “Lalu aku harus apa?”
“Temani saja aku duduk. Di tanah. Sampai aku siap berdiri lagi.”
Senyum tipis terbit di wajah Aldi. Ada kekaguman di sana. “Aku akan duduk di sampingmu, bahkan kalau tanahnya becek.”
Nayla mengerjap, lalu tertawa kecil. Aldi menatapnya heran. “Loh, baru kali ini kamu ketawa lagi sejak semalam.”
“Kamu lucu juga kalau lagi serius,” gumam Nayla.
Aldi tersenyum lebih lebar. “Kamu belum tahu saja, aku ini pelawak gagal sebelum jadi advokat. Waktu kuliah, pernah jadi MC wisuda fakultas hukum, dan lupa teks. Akhirnya aku pidato sendiri dan disangka stand-up comedy.”
Nayla menahan tawa, menatapnya geli. “Beneran?”
“Serius. Dosen-dosenku sampai mikir aku salah jurusan.”
Mereka tertawa pelan. Bukan tawa lepas, tapi cukup untuk mencairkan suasana yang mencekam. Lalu, Aldi menggeser duduknya, sedikit lebih dekat.
“Kita bahas konsep sidangnya, yuk. Biar pikiranmu gak melayang ke mana-mana.”
Nayla mengangguk. Aldi membuka map dokumennya.
“Jadi, di sidang kedua ini kita masuk ke tahap pembuktian. Kita bawa bukti komunikasi kamu dan Raka, dan juga saksi tambahan yaitu tetanggamu, Bu Mirna.”
Nayla menelan ludah. “Bu Mirna mau hadir?”
“Sudah aku yakinkan. Dia mau bantu, kok. Dia bilang sudah cukup lama menahan diri, tapi setelah tahu kamu berani maju, dia ingin mendukung.”
Nayla menunduk, matanya berkaca-kaca. Aldi melanjutkan.
“Aku juga siapkan narasi bahwa kamu tidak berniat merebut hak milik atau apapun, hanya ingin bebas dan damai. Itu akan membantu meyakinkan majelis hakim bahwa kamu tidak berniat menciptakan konflik.”
“Terima kasih,” bisik Nayla. “Kalau kamu nggak bantu aku, mungkin aku masih terkurung dalam ketakutan.”
Aldi menatapnya lama. Ada getar dalam pandangannya. “Aku bantu bukan karena aku advokat. Tapi karena aku manusia.”
Nayla menoleh, bertemu tatapan itu. Dan seketika, ada keheningan yang tak bisa dijelaskan. Tatapan mereka bertaut, dalam, dan lama. Hingga pintu ruang sidang terbuka dan nama mereka dipanggil.
Aldi berdiri, lalu menatap Nayla. Tangannya terulur.
“Ayo, Bu Nayla. Kita bukan cuma akan masuk ke sidang... kita akan masuk ke awal hidup yang baru.”
Nayla mengangguk. Ia menerima uluran tangan itu, dan untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan lalu, ia merasa langkahnya benar.
Mereka masuk. Dan pintu tertutup pelan di belakang mereka.