Naura Anjani, seorang gadis desa yang menikah dengan pria asal kota. Namun sayang, gadis itu tidak di sukai oleh keluarga suaminya karena dianggap kampungan dan tidak setara dengan menantu lain yang memiliki gelar pendidikan tinggi dan pekerjaan yang memadai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Tiga orang di hadapan Naura saling berebut memeriksa sertifikat rumah barunya.
Ibu mertua dan kedua kakak iparnya tentu tak langsung percaya.
"Jangan halu, deh! Pasti sertifikat ini palsu, kan? Kamu dikasih tahu yang benar, malah menjadi-jadi." Ria menggerakkan tangan memegang sertifikat, bibirnya bergerak mencibir Naura.
Naura mengangguk santai. Ia menunjuk sertifikat itu berkali-kali seolah mengatakan, "Periksa dulu."
Rere dan ibu mertuanya memandangi isi sertifikat tersebut. Mereka membolak-balik sertifikat rumah Naura di tangan mereka.
"Ini asli, Ma," cicit Rere yang didengar oleh Mama Sovi dan Ria yang sejak tadi terus mengomel.
"Apa..." Ria hendak mencibir Naura lagi. Tapi ia urung setelah mendengar suara kakak iparnya.
"Benar, Re?" tanya Mama Sovi meminta untuk diyakinkan.
Rere mengangguk. "Benar, Ma. Ini asli. Bukan palsu," jawabnya menatap Naura yang sekarang tengah tersenyum tipis melihat tingkah laku tiga orang di hadapannya.
Seketika kedua bahu Mama Sovi luruh dan lemas. Ia jatuh terduduk di sofa, menatap salah satu menantunya tidak percaya.
Walau bukti sudah di depan mata, Mama Sovi masih mencoba untuk mengelak. Namun Rere mengatakan keaslian sertifikat itu berkali-kali.
"Mana sini?!" Ria merampas sertifikat rumah Naura dari tangan Rere. "Kamu yang benar kalau periksa, Mbak!" protes Ria, sinis.
Rere masih terhenyak di tempatnya berdiri. Sedangkan Naura menahan diri mati-matian agar tidak menertawakan kebodohan Mama Sovi, Rere dan Ria.
Sepasang mata Ria terbelalak dengan mulut yang menganga lebar. Ia dua kali lebih shock daripada Rere.
"Bagaimana bisa ini asli ..." Perempuan itu bergumam. Tangannya gemetar bak menemukan harta karun bernilai fantastis.
"Ma, rumah yang Naura beli ada di komplek perumahan mewah. Harganya juga tidak murah," Rere menolehkan kepalanya sedikit berat.
Mama Sovi mendongak dan balas menatap Rere selama beberapa detik.
Diam-diam Ria mengiyakan, ia mendengar harga rumah di komplek itu sangat fantastis.
Tidak sembarang orang bisa membeli rumah di sana. Apa lagi ini adalah Naura. Orang yang mereka hina miskin selama ini.
"Sekarang kalian sudah percaya, kan?" Naura mengambil sertifikat miliknya. "Ini asli. Mana mungkin aku berani berbohong. Tidak ada untungnya juga untukku," tambahnya.
"Sebenarnya siapa kamu, Ra? Dari mana kamu mendapatkan uang untuk membeli rumah itu?" Suara Mama Sovi terdengar gemetar.
Ia sangat shock mengetahui menantu yang paling tidak ia harapkan malah membeli rumah mahal.
Ia teringat kata-kata Azriel kemarin. Kalau rumah yang dibeli oleh Naura lebih besar dan mewah dari rumah Rere dan Ria.
Seketika Mama Sovi mendelik melihat ukuran rumah yang tertulis di dalam sertifikat itu.
"Aku sudah bilang dengan jujur ke Mama kemarin. Aku tidak semiskin yang kalian kira dan bukan pengangguran seperti yang kalian pikirkan." Naura menunjuk dirinya. "Dari awal aku sengaja berakting jadi orang biasa. Aku mau lihat kesungguhan dan ketulusan kalian semua. Tapi ternyata kalian mengecewakan. Sifat asli kalian ... menyedihkan."
Tiga orang di ruangan itu terbengong-bengong.
Apa lagi Mama Sovi. Ia merasa rahangnya berubah kaku dan kesulitan untuk menggerakkannya.
Sementara Rere dan Ria terdiam di tempat. Mereka masih bertanya-tanya sebanyak apa uang Naura.
Adik ipar mereka dengan santai menunjukkan telah membeli rumah dengan harga yang sangat mahal.
"Bahkan kita tidak mampu membeli rumah di sana," bisik Ria mendesis malu.
"Aku pikir selama ini dia hanya berhalusinasi," balas Rere. "Sekarang aku penasaran siapa dia sebenarnya. Berapa banyak uang di buku tabungannya. Kita sudah salah sangka selama ini ternyata," tambahnya lagi.
Naura merasa puas melihat reaksi mereka. Ia meninggalkan ketiga orang itu ke kamar dengan perasaan lega.
Ia telah menunjukkan siapa dirinya tanpa harus menonjolkan urat leher.
**
**
Naura mendorong pintu kamar dan melangkah masuk. Membuat fokus Azriel teralihkan dari layar ponselnya.
"Mas." Sapa Naura.
Pulang mengajar tadi Azriel tidak melihat kehadiran istrinya karena Naura izin keluar sore itu, tapi Naura tak menjelaskan ke mana ia akan pergi.
Azriel hanya mengiyakan dan menunggu kepulangannya hingga malam.
Pria itu memindai penampilan Naura dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Naura duduk di tepi ranjang kemudian menyodorkan sertifikat rumah baru mereka pada suaminya.
"Aku sudah beli rumah itu, Mas. Maaf, aku tidak menunggu izin dari kamu dulu. Jujur saja, aku sudah tidak sanggup lagi. Aku hanya ingin hidup tenang dan berusaha tetap waras," ujar Naura jujur.
Tidak ada tanggapan lebih dari Azriel selain menatap sertifikat yang telah berpindah ke tangannya.
"Aku butuh suasana yang tenang, Mas. Di mana saat aku pulang, aku bisa melepaskan penat. Dan kamu tahu aku tidak mendapatkan hal itu di sini. Apa kamu sadar, delapan bulan kita menikah, tapi aku tidak kunjung hamil. Aku rasa, stress salah satu penyebabnya." Naura menjeda ucapannya. "Setiap hari aku stress dan tertekan di rumah ini, Mas..."
Azriel mengangguk kecil. Ia mengusap rambut panjang istrinya. Ia mendukung keputusan istrinya untuk pindah dari rumah mamanya.
Ia menyadari tekanan yang didapatkan Naura bukan hanya berasal dari mamanya saja. Tapi dari kedua Kakak iparnya juga.
Walaupun Naura bisa melawan, namun siapa yang akan sanggup menahannya setiap hari?
Azriel menggenggam tangan istrinya.
"Bukannya aku tidak setuju kamu membeli rumah, Ra. Bagaimana pun, bukankah suami yang harus menafkahi istrinya. Seperti membeli rumah dan lain-lain, sementara aku belum cukup mampu. Maaf kalau aku belum bisa membuat kamu bahagia, Ra," cicit Azriel menunduk. "Bahkan untuk mewujudkan impian kamu membeli rumah, kamu membelinya pakai uang kamu sendiri."
Azriel merasa malu. Ia merasa gagal menjadi suami. Seharusnya Azriel bisa menciptakan suasana yang tenang dan nyaman bagi istrinya.
Tapi, ia tidak bisa melakukan apa-apa ketika Naura dirundung oleh keluarganya.
Naura balas menggenggam tangan suaminya.
"Tidak apa-apa, Mas. Kita berdua sudah menjadi suami-istri. Sudah sewajarnya saling melengkapi, saling menutupi kekurangan satu sama lain," Naura tersenyum hangat menghibur suaminya.
Pasangan suami-istri itu berhasil menyelesaikan satu masalah tanpa membuat masalah baru.
"Terima kasih sudah mau menjadi istriku ya, Sayang? Aku banyak kurangnya. Aku belum bisa membuat kamu bahagia," gumam Azriel.
"Mas, baik kamu atau aku sama-sama punya kekurangan. Jangan pernah merasa rendah diri. Apa yang aku miliki, juga milik kamu. Aku tidak mau karena hal ini, niat baik aku dianggap ingin merendahkan kamu. Itu sama sekali tidak benar," balas Naura.
************
************
smoga Azriel sll berada di jln yg lurus...
tunggu sja mm sovi apa yg km tabur... kelak akn km tuai hasilnya.... ank dan mantu" parasitmu yg akn mnenggelamkn dirimu... beserta mereka jga ikut tnggelam...
dan smoga saja azriel bukan suami yg bodoh dan mudah di hasut.... di manfaatkn mereka....
sumpah..... hidupnya cm bikin ssh org lain....
se kali" lah seatap dgn mantu" kbanggaan dan ksayanganmu.... agr km tau mna yg manusia ber adab dan mna yg hnya manusia parasit tak tau diri...
biar mrtuamu tau wujud asli mantu" sengkuninya....
krna tak ada luka yg paling mnyakitkn selain pnghianatan...
syukur" kalian para kturunan dajjal di poligami.... biar tau rasa kalian....
intinya km g suka dgn mnantumu yg dri kmpung hidup senang.... km maunya mantu dri kmpung itu trtindas.... jdi babu... jdi pngasuh cucu"mu dri menantu"mu yg yg km anggp perempuan karir trpndang.... dan sll km bela"in