“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 16
"Ibuk! Tolong!" pada akhirnya, suara itu menggelegar juga.
"Farida! Ada apa?!" terdengar derap langkah tergesa-gesa. "Kau kenapa?!"
Surti begitu terkejut melihat kondisi putrinya yang hanya mengenakan dalaman. Di guncangnya kuat-kuat bahu kaku layaknya kayu. "Farida bangun! Nak, sadarlah! Nyebut!"
Kondisi Farida terlihat mengenaskan. Mata melotot dengan pupil nyaris sepenuhnya putih, tangan terentang dan terkepal erat, ujung jari kaki menekuk, sekujur tubuh kaku, giginya bergemeletuk layaknya orang menggigil.
"Argghh! Pergi! Aku bukan ibumu!"
Surti menepuk-nepuk pipi anaknya yang basah oleh keringat sebesar biji jagung. "Sadar Rida!"
"Sakit! Sakit! Jangan!" Farida kejang-kejang, matanya membeliak.
Ibu mana yang tidak cemas melihat kondisi putrinya, Surti mengambil kain jarik, menutupi badan Farida dari bahu hingga lutut.
Nyaris saja Surti terjerembab, kakinya menginjak kain jarik yang dikenakan. Ia berlari membuka pintu depan, dimana ada tiga orang pemuda desa yang berjaga. "Tolong Putriku! Dia kesurupan!"
"Ada apa, bu Kades?"
"Tolong panggilkan orang pintar. Farida kesurupan!" pintanya dengan napas tersengal-sengal.
Salah satu dari pemuda itu bergerak cepat, menghidupkan senter, lalu berlari kencang menuju rumah dukun yang biasa menangani hal-hal mistis.
Di wilayah transmigrasi, para penduduknya lebih mempercayai dukun daripada pemuka agama dan tim medis. Bila salah satu anggota keluarga mereka sakit, kerasukan, maka yang dicari adalah orang pintar, bukan pak ustadz ataupun dokter.
"Pergi kalian! Arghhh ... Sakit!"
Kedua pemuda lainnya mengusap lengan mereka, merinding mendengar jeritan Farida.
Dua orang ibu-ibu bersarung dan berkaos longgar, datang dengan membawa obor menyala.
"Farida kenapa? Tadi si Dayat meminjam motorku, katanya mau ke rumah Mak Indun dan Ki Jaya."
"Kesurupan! Tapi kami takut mau melihatnya," sela seorang pemuda menjawab pertanyaan ibu-ibu.
Bruk!
Terdengar suara benda jatuh. Surti bergegas masuk dengan diikuti oleh dua orang pemuda dan ibu-ibu.
"Astaga! Rida!" Surti berlari memeluk putrinya yang masih kejang-kejang.
"Bukankah Farida ada di amben, lalu siapa yang menjatuhkan rak sepatu itu?" tanya salah satu laki-laki, dia tidak berani mengedarkan pandangan ke sana-kemari.
Sekitar sepuluh menit kemudian, terdengar suara deru motor, lalu langkah kaki menaiki undakan tangga teras.
"Di mana dia?"
"Di sini, Ki Jaya!"
Saat sosok tua berjenggot putih, baru saja hendak masuk kamar, tapi tubuhnya langsung terpelanting.
Namun, Ki Jaya dengan mudah bisa bangkit, menerobos memasuki kamar Farida.
Bagi mereka orang awam, sama sekali tidak bisa melihat kalau salah satu balita menyerang dengan brutal.
“Ki Jaya!” pekikan bercampur rasa takut memenuhi kamar Farida.
Surti mundur kebelakang hingga punggungnya menabrak dinding.
Uhuk!
Uhuk!
Ki Jaya terbatuk dan muntah darah segar. Kembali dia bangun sambil menyeka mulut. Matanya menatap tajam, ia merogoh saku celana, mengambil bambu kuning sepanjang ruas jari. “Pergi kau!”
Bukan pergi, balita tanpa kaki memasukkan tangannya kedalam mulut Farida yang terbuka, menarik lidah wanita yang menjerit kesakitan, sampai tubuhnya terangkat.
Sementara satunya lagi yang kini sudah kembali memiliki kepala, menarik rambut sepunggung Farida dari arah bawah, dia melompat-lompat di atas tilam.
Argh!
“Farida!”
Ki Jaya membuka botol minyak Babi, memercikkan ke balita bergigi runcing yang menyerangnya, lalu maju dan kembali memercikkan minyak sakti tadi.
Bugh!
Tubuh Farida terlempar dan terbanting di lantai papan. Ki Jaya berhasil mengusir ketiga balita menyeramkan itu.
Tertatih-tatih tubuh tua renta itu mendekati sosok yang kini badannya sudah melemas. “Telanjangi dia!”
Ketiga pria yang tadi ikut masuk dikarenakan penasaran dan berniat mau membantu, satu persatu keluar. Tinggallah Surti serta dua orang ibu-ibu tetangga terdekatnya.
Farida tidak dibopong ke ranjang, dia masih tergeletak di atas lantai papan. Mata terpejam, napasnya mulai teratur.
“Ya Tuhan.” Surti terjengkang, begitu terkejut sekaligus ngeri melihat buah dada putrinya lebam-lebam, berwarna biru keunguan. Bukan cuma di situ saja, bagian perutnya juga penuh memar.
“Kok bisa?”
“Siapa yang begitu jahat berbuat keji kepadanya?”
Bisik-bisik terdengar lirih, mereka menatap lekat Ki Jaya yang mengoleskan minyak babi ke ubun-ubun dan telapak kaki Farida.
“Ini perbuatan bayi Bajang. Janin yang luruh, dan sengaja dipelihara oleh seseorang. Tujuannya cuma satu, untuk meneror, membuat rusuh!” beritahu nya dengan intonasi tegas, tapi sorot mata terlihat cemas.
‘Siapa yang membangkitkan para janin itu? Aku harus menginterogasi Mak Indun.’
Ki Jaya berniat menanyai istrinya yang berprofesi sebagai dukun bayi terkenal.
Setelahnya, Farida dipakaikan baju terusan tanpa mengenakan dalaman.
“Besok pagi, Pagari rumah ini dengan garam. Tabur ke sekeliling! Bila menjelang Maghrib, oleskan ini ke badan putrimu!” Ia memberikan satu botol kecil minyak Babi kepada Surti.
"Terima kasih, Ki. Makhluk halus itu takkan kembali mengganggu Farida lagi ‘kan?” tanyanya penuh harap.
“Tidak! Aku akan membuatkan penangkal untuk Farida,” jawabnya yakin, tapi di dalam hati meragu.
"Jangan bangunkan putrimu, biarkan di tertidur!" titahnya.
Kemudian Ki Jaya pamit pulang, di diantar lagi oleh pemuda desa.
Malam ini, Surti ditemani oleh tetangganya. Mereka akan menjaga Farida hingga matahari terbit.
.
.
Ha ha ha
Lastri tertawa, dia terkikik geli. Memasukkan kembali patung bayi ke dalam kendi, lalu menyimpannya di kolong tempat tidur. Dia juga mendengar keseluruhan percakapan yang terjadi di rumah Farida.
“Mereka kira, bayi Bajang takut dengan minyak itu. Dasar bodoh!”
Sesungguhnya, Lastri lah yang memanggil ketiga balita anak kandungnya Farida. Yang sengaja digugurkan dikarenakan tidak tahu siapa bapaknya, sebab Farida tidur dengan pria lebih dari tiga orang.
Kunti menyeringai. “Esok hari, kau akan bertemu tamu istimewa. Bersiaplah menyambutnya!”
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....