NovelToon NovelToon
Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nama itu... Damar

Jantung Raya mencelos, berdebar kencang, lalu terasa seperti berhenti berdetak sama sekali. Seluruh udara di paru-parunya seperti tersedot keluar, menyisakan kekosongan yang menyesakkan. Nama itu... Damar. Bukan sekadar nama, melainkan gema dari masa lalu yang ia kubur dalam-dalam, sebuah makam berisi patah hati, pengkhianatan, dan mimpi yang hancur. Damar, mantan suaminya.

“Damar?” Suara Raya terdengar seperti bisikan serak, nyaris tak terdengar, bahkan oleh telinganya sendiri. Matanya melekat pada kata yang tercetak hitam di atas putih, seperti mantra kutukan yang baru saja terucap. Pihak ketiga yang terlibat dalam proses. Proses yang mana? Proses kehamilan Langit? Ini tidak mungkin. Tidak, ini pasti salah.

Dokter Amelia, yang sebelumnya tampak tenang, kini mengerutkan kening. “Iya, Nyonya Raya. Damar Wijaya. Menurut catatan yang kami terima dari laboratorium rujukan, ada indikasi bahwa ada keterlibatan genetik dari pihak ini dalam proses IVF yang Anda jalani dahulu.”

Keterlibatan genetik? Raya merasa otaknya memanas, mencoba memproses informasi yang absurd ini. “Tapi... tapi Langit adalah anak saya. Anak biologis saya dan... Arlan. Kami melakukan IVF menggunakan sel telur saya dan... dan sperma Arlan.” Ia hampir saja mengatakan ‘sperma suami saya’, namun otaknya secara refleks membatalkan kalimat itu. Arlan. Arlan adalah suaminya. Ayah Langit. Ini tidak masuk akal.

Dokter Amelia menghela napas, gesturnya lebih simpatik sekarang. “Nyonya Raya, kami memahami ini mengejutkan. Tapi hasil tes DNA Langit menunjukkan bahwa ia tidak memiliki kecocokan genetik dengan Anda sebagai ibu kandungnya.”

“Tidak cocok... dengan saya?” Raya menggeleng, kepalanya berdengung. Ini seperti mimpi buruk yang dingin dan menusuk. “Bagaimana mungkin? Saya yang hamil dia, Dokter. Saya yang melahirkan dia! Saya merasakan setiap tendangannya, setiap gerakannya di dalam rahim saya selama sembilan bulan!” Ia menunjuk perutnya, seolah bekas luka operasi caesar yang masih samar itu adalah bukti tak terbantahkan.

Dokter Amelia diam sejenak, menatap Raya dengan tatapan sendu. “Memang benar Anda adalah ibu yang mengandung dan melahirkan Langit, Nyonya Raya. Tapi secara genetik... Anda bukan ibu kandungnya. Dan berdasarkan catatan yang terlampir, ada nama Damar Wijaya yang terhubung sebagai penyedia materi genetik, meskipun bukan sebagai donor resmi yang Anda pilih.”

Penyedia materi genetik? Bukan sebagai donor resmi? Apa artinya ini? Sebuah skema? Sebuah kesalahan fatal? Atau... sebuah konspirasi? Jantung Raya berpacu, memukul-mukul rusuknya dengan ganas. Pertanyaan-pertanyaan membanjiri benaknya, seperti gelombang pasang yang ganas, menyeretnya ke dalam pusaran kebingungan dan ketakutan.

“Saya... saya tidak mengerti,” gumam Raya, suaranya putus-putus. Ia butuh lebih. Ia butuh semua rincian, setiap huruf, setiap angka. “Bisakah saya melihat berkas lengkapnya? Saya perlu tahu persis apa yang tertulis di sana. Setiap detailnya.”

Dokter Amelia ragu sejenak. “Kami tidak bisa memberikan berkas itu sembarangan, Nyonya Raya. Ini adalah informasi sangat sensitif. Anda harus melalui prosedur tertentu, atau berkas ini harus diminta langsung oleh penyedia layanan IVF yang Anda gunakan saat itu, atau oleh pengadilan.”

Kata ‘pengadilan’ itu seperti palu godam yang menghantam kepalanya. Pengadilan? Apa yang baru saja terjadi? Mengapa harus sampai ke sana? Apakah ini berarti Langit... bukan anaknya, secara sah? Rasa mual menyapu dirinya. Rasa takut yang begitu dingin dan menusuk, menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun kepala. Takut kehilangan Langit. Takut akan apa yang akan terjadi jika kebenaran ini terungkap. Terutama pada Arlan.

Raya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Wajahnya terasa panas dan dingin bergantian. Dia harus terlihat tenang. Dia harus menyembunyikan keterkejutan yang menghantamnya seperti tsunami ini. Demi Langit. Demi Arlan. Demi dirinya sendiri. “Baik, Dokter. Saya mengerti. Terima kasih atas informasinya.” Ia bangkit, berusaha agar kakinya tidak gemetar. “Saya... akan kembali ke kamar Langit.”

Saat ia melangkah keluar dari ruangan Dokter Amelia, koridor rumah sakit terasa asing, dinding-dindingnya seperti menjepitnya, udara terasa tipis. Setiap langkah terasa berat, seperti ia berjalan di dasar laut. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Damar? Nama itu terus berputar di benaknya, menggerogoti sisa-sisa kewarasannya.

Ia melihat Arlan sedang duduk di samping ranjang Langit, membacakan buku cerita dengan suara lembut. Langit tertawa renyah, tubuh kecilnya menggeliat kegirangan. Pemandangan itu, yang seharusnya menghangatkan hatinya, kini terasa seperti tikaman. Kebahagiaan mereka, begitu murni, begitu tak bersalah, terasa seperti pasir yang akan segera terlepas dari genggamannya.

“Raya, sudah selesai?” tanya Arlan, mendongak dengan senyum hangat. Senyum itu, biasanya menenangkan, kini terasa seperti api yang membakar rasa bersalah di dadanya. Arlan tidak tahu. Dia tidak tahu kebenaran yang baru saja menghancurkan dunia Raya. Dan Raya tidak tahu bagaimana caranya mengatakan ini, atau apakah dia harus mengatakannya sama sekali.

“Sudah, Mas. Hanya... konsultasi rutin saja,” jawab Raya, berusaha agar suaranya terdengar normal. Berusaha tersenyum. Senyum itu terasa kaku di bibirnya, seperti topeng porselen yang bisa pecah kapan saja. Ia menghampiri Langit, mengusap puncak kepalanya. Rambut hitam tebal yang selalu ia ciumi, aroma bayi yang masih melekat, kini terasa sedikit berbeda. Apakah ia akan mulai mencari ciri-ciri Damar pada wajah polos ini? Tidak, jangan.

Sisa hari di rumah sakit berjalan lambat, seperti film yang diputar dalam gerakan lambat. Raya seperti robot, bergerak secara otomatis. Mengambil makanan, membantu Langit minum obat, mengobrol basa-basi dengan Arlan. Tapi di dalam kepalanya, badai terus berkecamuk. Damar. IVF. Materi genetik. Anakku bukan anakku.

Malam harinya, setelah Langit terlelap dan Arlan juga sudah tertidur di sofa kamar rumah sakit, Raya menyelinap ke toilet. Ia mengunci pintu, membiarkan tubuhnya meluncur ke lantai dingin. Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya tumpah ruah. Isak tangisnya tertahan di balik tangannya, agar tidak membangunkan Arlan. Mengapa? Mengapa Damar harus muncul lagi dalam hidupnya, dalam bentuk yang paling menyakitkan ini?

Ia mengingat masa-masa IVF-nya dulu. Bertahun-tahun menikah dengan Damar, mereka berjuang untuk mendapatkan anak. Setelah berbagai pengobatan dan tes, dokter menyatakan Raya memiliki masalah kesuburan. Mereka memutuskan untuk mencoba IVF. Raya masih ingat setiap suntikan, setiap rasa sakit, setiap tetes harapan. Mereka telah mencoba dua kali dengan Damar, dan keduanya gagal. Percobaan ketiga, saat itu hubungannya dengan Damar sudah di ambang kehancuran. Raya tidak bisa melanjutkan. Mereka berpisah, cerai.

Lalu, beberapa tahun kemudian, ia bertemu Arlan. Cinta yang baru, harapan yang baru. Mereka memutuskan untuk mencoba IVF lagi, kali ini dengan sel telur Raya dan sperma Arlan. Dan keajaiban itu terjadi. Langit lahir. Langit, permata hatinya, kebahagiaan mereka.

Tapi sekarang, keajaiban itu berbalik menjadi mimpi buruk. Apakah ada kesalahan saat proses? Atau apakah Damar... tidak mungkin. Damar terlalu membenci Raya di akhir hubungan mereka. Tidak mungkin dia melakukan sesuatu yang gila seperti ini. Tapi catatan rumah sakit itu... tidak mungkin berbohong.

Raya mengambil ponselnya, tangannya gemetar. Ia membuka laci di meja samping tempat tidurnya, mencari sebuah kotak kecil yang sudah lama tidak ia buka. Di dalamnya ada beberapa berkas lama, termasuk riwayat medis dari klinik IVF yang dulu ia gunakan saat masih bersama Damar, dan kemudian saat bersama Arlan. Ada juga kartu nama dokter yang menangani mereka dulu.

Matanya tertuju pada sebuah nama, Dr. Wijaya. Bukan Damar Wijaya, tapi dokter yang sama yang menanganinya di klinik dulu. Ia adalah dokter utama mereka. Raya memegang kartu nama itu, jemarinya mengusap tulisan yang sudah sedikit pudar. Di bawah nama dan gelarnya, ada nomor telepon kantor dan juga nomor ponsel pribadi. Haruskah? Haruskah dia menelepon? Sekarang? Pukul dua pagi.

Ia tahu dia tidak bisa tidur malam ini. Pikiran-pikiran ini akan terus menghantuinya. Dia harus tahu. Dia harus mendapatkan jawaban, dan dia harus melakukannya sendiri, tanpa melibatkan Arlan, setidaknya sampai dia memahami kebenarannya sendiri. Itu adalah janjinya pada diri sendiri. Untuk Langit. Untuk melindungi keluarganya dari potensi badai yang mungkin akan datang.

Raya menekan tombol panggil pada nomor ponsel pribadi Dr. Wijaya. Jantungnya berdebar kencang, setiap dering telepon seperti detak jam yang mempercepat akhir dunia kecilnya. Suara parau seorang pria di seberang sana menjawab, penuh kebingungan, “Halo? Siapa ini? Ini sudah larut malam.”

Raya menahan napas, mencoba mengatur suaranya agar tidak terdengar panik. “Maafkan saya, Dokter. Saya Raya. Raya Adhisti. Saya... saya butuh bantuan Anda. Ini tentang IVF yang dulu saya lakukan. Dan... Langit.” Ia tahu Dr. Wijaya adalah satu-satunya orang yang mungkin memegang kunci kebenaran ini. Dan ia harus mendapatinya, berapa pun harganya. Tapi apakah Dr. Wijaya mau berbicara?

Suara di seberang sana terdiam, keheningan itu terasa begitu panjang dan mencekam, seolah Dr. Wijaya sedang memutar kembali memori bertahun-tahun yang lalu. Raya bisa merasakan keringat dingin membasahi punggungnya. Akhirnya, sang dokter berdeham pelan. “Raya? Ah, Nyonya Adhisti. Ada apa? Mengapa selarut ini?” Ada nada hati-hati dalam suaranya, seolah ia sudah tahu bahwa panggilan ini bukan sekadar kunjungan pasien biasa. Dan firasat buruk Raya mengatakan, ini baru permulaan dari pengungkapan yang akan jauh lebih menyakitkan daripada yang bisa ia bayangkan.

1
Yaya Mardiana
bingung dengan cerita nya selalu berulang ulang
Bang joe: part mananya mulai kak ?
total 2 replies
Nana Colen
timititi maca nepi ka episode ieu satu kata lier
Nana Colen: asa begitu banyak kata kata atau kalimat yg di ulang ulang dan muter muter jd bukannya semangat bacanya malah jadi puyeng 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!