Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: Ijab Kabul Penuh Misteri
Hari pernikahan tiba.
Arsyan bangun subuh—padahal dia hampir nggak tidur semalaman. Setiap kali mata merem, yang kebayang cuma Wulan. Wajahnya, senyumnya, tatapannya yang penuh rahasia.
Hari ini... gue bakal nikah sama dia.
Arsyan duduk di pinggir kasur, tangan gemetar dikit. Senang campur takut. Senang karena akhirnya dia bakal punya istri—orang yang dia cintai. Tapi takut... takut karena ada sesuatu yang nggak beres. Sesuatu yang dia nggak bisa jelasin.
Suara adzan Subuh berkumandang dari masjid kampung. Arsyan langsung ambil wudhu, shalat dengan penuh khusyuk. Pas sujud terakhir, dia bisik panjang:
Ya Allah... hari ini aku akan menikah. Kalau memang ini jalan yang Engkau ridhoi... kuatkanlah aku. Tapi kalau ini salah... beri aku petunjuk. Aku... aku takut, Allah. Tapi aku cinta dia.
Selesai shalat, Arsyan duduk lama di sajadah—menatap langit yang masih gelap di luar jendela.
Pagi itu, Bhaskara dan Dzaki datang jam tujuh.
Bhaskara bawa baju koko putih baru—hasil patungan mereka bertiga. Dzaki bawa minyak wangi, sisir, dan... tasbih.
"Gas, ini buat jaga-jaga," kata Dzaki sambil sodorkan tasbih.
Arsyan ketawa kecil. "Zak, gue nikah, bukan perang sama jin."
Dzaki nggak ketawa. Mukanya serius. "Mas Arsyan... aku serius. Bawa ini. Aku... aku punya firasat nggak enak."
Arsyan menatap Dzaki—lalu ke tasbih di tangannya—lalu dia ambil dan masukin ke saku celana.
"Oke. Makasih, Zak."
Jam sepuluh pagi, mereka berangkat ke masjid.
Masjid kecil di ujung kampung—tempat yang sederhana tapi penuh berkah. Dindingnya cat hijau pudar, lantai keramik udah retak di beberapa bagian, tapi bersih dan wangi.
Di sana, udah ada ibunya Arsyan—duduk di pojok, pake mukena putih, mata sembab kayak habis nangis. Ada juga beberapa tetangga yang Arsyan undang seadanya.
Dan... Wulan.
Wulan duduk sendirian di sudut masjid, pake gamis putih polos, kerudung putih menutupi rambut panjangnya. Wajahnya pucat—lebih pucat dari biasanya—tapi tetap cantik. Tangannya dilipat di pangkuan, gemetar halus.
Arsyan jalan mendekat pelan—jantung berdebar nggak karuan.
"Mbak..."
Wulan dongak—mata merah, basah—tapi dia senyum. Senyum yang... sedih.
"Mas... datang."
"Iya. Aku datang." Arsyan duduk di sebelahnya—jarak agak jauh karena belum halal. "Mbak... kenapa nangis?"
"Aku... aku senang, Mas. Tapi juga... takut."
"Takut kenapa?"
Wulan menatap Arsyan lama—mata berkaca-kaca. "Takut... aku nggak bisa bikin Mas bahagia."
Arsyan mau jawab—tapi Kyai Hasan datang menghampiri.
"Nak Arsyan," kata Kyai lembut, tapi ada kekhawatiran di matanya. "Sudah siap?"
Arsyan mengangguk. "Sudah, Kyai."
Kyai Hasan menatap Wulan sebentar—tatapan yang aneh, kayak lagi melihat sesuatu yang nggak keliatan orang lain—lalu dia menghela napas panjang.
"Baiklah. Mari kita mulai."
Akad nikah dimulai dengan bacaan Basmalah.
Tapi sejak awal... ada yang aneh.
Langit di luar tiba-tiba mendung—gelap banget—padahal tadi pagi masih cerah. Angin bertiup kencang, bikin daun-daun jatuh berguguran kayak hujan.
Kyai Hasan membaca surat Al-Fatihah dengan suara bergetar sedikit—tangannya yang memegang Al-Qur'an gemetar halus.
"Bismillahirrahmanirrahim..."
Tiba-tiba, lampu di masjid berkedip.
Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Beberapa orang berbisik-bisik, mulai gelisah.
Wulan makin pucat—tangannya menggenggam ujung gamis erat-erat, napas terengah.
Arsyan ngeliat Wulan—jantungnya langsung nggak tenang. Ada apa sih? Kenapa Wulan kayak ketakutan banget?
Kyai Hasan melanjutkan akad. Suaranya lebih keras, lebih tegas—kayak lagi melawan sesuatu.
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang... saya nikahkan dan kawenkan Wulan Sari binti Abdullah... kepada Arsyan Jalendra bin Ahmad... dengan mas kawin seperangkat alat shalat... dibayar tunai."
Angin di luar makin kencang. Pintu masjid terbuka keras—bunyi gedebak—bikin semua orang kaget.
Wulan langsung tutup muka pake tangan—tubuhnya gemetar hebat.
Arsyan langsung geser duduk lebih deket—nggak peduli belum halal—dia bisik pelan, "Mbak, tenang... aku di sini."
Kyai Hasan menatap Arsyan. "Nak Arsyan... ulangi setelah saya."
Arsyan menarik napas dalam. Tangannya basah keringatan. Jantung berdebar kayak mau copot.
"Saya terima nikahnya Wulan Sari binti Abdullah... dengan mas kawin seperangkat alat shalat... dibayar tunai."
Hening sebentar.
Lalu Kyai Hasan tersenyum tipis—meskipun matanya masih penuh kekhawatiran. "Sah."
Tepat setelah kata "sah" keluar—petir menyambar.
DUAARRR!
Bunyi keras banget—kayak tepat di atas masjid—bikin semua orang teriak kaget. Lampu mati total. Gelap.
Tapi anehnya... nggak ada yang kesamber. Nggak ada yang terluka.
Setelah beberapa detik—lampu nyala lagi.
Tapi suasana... berubah. Udara terasa lebih dingin. Lebih berat.
Arsyan ngeliat Wulan—dia nangis. Nangis keras, isak-isakan, pundak bergetar hebat.
"Mbak—" Arsyan langsung peluk Wulan—sekarang udah sah, udah halal. "Kenapa nangis? Kita udah nikah... harusnya senang..."
"Aku... aku senang, Mas..." bisik Wulan di bahu Arsyan, suaranya parau. "Tapi... aku juga takut..."
"Takut apa?"
Wulan nggak jawab. Dia cuma peluk Arsyan lebih erat—kayak takut Arsyan bakal hilang.
Kyai Hasan mendekat, pegang bahu Arsyan pelan. "Nak... banyak-banyaklah berdzikir. Dan jaga istrimu baik-baik. Karena... perjalanan kalian baru saja dimulai."
Arsyan nggak ngerti maksud Kyai. Tapi dia ngangguk.
Setelah akad selesai, mereka foto seadanya—cuma pake HP Bhaskara. Wulan masih nangis terus, meskipun dia coba senyum pas difoto.
Ibunya Arsyan mendekat—peluk Wulan lembut. "Selamat datang, Nak. Jaga Arsyan baik-baik ya."
Wulan ngangguk pelan—mata masih basah. "Terima kasih, Ibu. Saya... saya janji akan jaga Mas Arsyan."
Tapi pas ngomong itu—suara Wulan bergetar. Kayak dia lagi bohong. Kayak dia tau... dia nggak bisa jaga Arsyan.
Sore itu, Arsyan dan Wulan pulang ke rumah kontrakan kecil Arsyan—rumah yang sekarang jadi rumah mereka berdua.
Arsyan buka pintu, biarkan Wulan masuk duluan.
"Selamat datang di rumah kita, Mbak."
Wulan masuk pelan—mata menyapu ruangan kecil dengan satu kamar, dapur seadanya, dan kamar mandi yang pintunya agak miring.
Lalu Wulan tersenyum—senyum pertama yang genuine hari ini.
"Rumah kita..." bisiknya lirih. "Akhirnya... aku punya rumah."
Arsyan menatap Wulan—dadanya sesak. Kenapa dia ngomong kayak gitu? Kayak... dia nggak pernah punya rumah sebelumnya?
Tapi Arsyan nggak nanya. Dia cuma peluk Wulan dari belakang—pelan, hati-hati.
"Ini rumah kita, Mbak. Dan kita... bakal bahagia di sini."
Wulan ngangguk—tapi air matanya jatuh lagi.
Karena dia tau... kebahagiaan ini nggak akan lama.
Tapi untuk malam ini—untuk malam pertama mereka sebagai suami istri—Wulan memutuskan untuk... bahagia.
Meskipun hanya sebentar.