Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 29 (Dia yang Terluka, Aku yang Terpenjara)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
"Maaf..." ucap Letta lirih, suaranya nyaris bergetar sebelum ia berbalik dan meninggalkan Zidan begitu saja.
Langkahnya cepat, tergesa, seolah ingin secepatnya menjauh dari semua yang baru saja terjadi. Dadanya sesak, tenggorokannya tercekat.
Letta tidak sanggup lagi menahan perasaan yang bercampur antara kecewa, sedih, dan marah pada dirinya sendiri. Ia benar-benar tak menyangka, niat baiknya justru berujung seperti ini.
Di lorong menuju keluar proyek, Letta berpapasan dengan Etan yang baru saja datang membawa sebuah paperbag berisi makan siang untuk dirinya dan Zidan. Ekspresi Etan langsung berubah cemas saat melihat wajah Letta yang merah dan mata yang berkaca-kaca.
“Nona...”
“Bawa makanan itu ke dalam,” potong Letta cepat tanpa menatap Etan. Suaranya datar, nyaris tanpa intonasi.
Etan sempat ingin bertanya, namun Letta melanjutkan dengan nada tegas,
“Setelah itu, kita langsung kembali ke apartemen.”
Letta berlalu, meninggalkan Etan yang hanya bisa menatap punggungnya menjauh. Langkah Letta terlihat mantap, tapi sorot matanya mencerminkan kekosongan.
Ia mengira hari ini akan menjadi titik awal yang baru—bahwa pernikahannya dengan Zidan bisa mulai berjalan ke arah yang lebih baik. Ia bahkan merasa hangat karena bisa menjalin hubungan akrab dengan Aya, adik iparnya.
Namun, semua harapan itu buyar begitu saja hanya dalam satu siang.
Etan menghela napas pelan. Ia tahu Letta mencoba keras untuk memperbaiki hubungan mereka. Tapi inilah yang terjadi saat cinta bertepuk sebelah tangan dan dibalut oleh status yang rumit.
“Semoga Nona tetap sabar...” gumam Etan dalam hati, sebelum akhirnya melangkah menuju arah Zidan, sambil membawa makan siang yang kini terasa dingin—seperti suasana yang menggantung di antara mereka.
“Permisi, Tuan. Saya diminta Nona untuk mengantarkan ini,” ucap Etan sopan, sambil menyodorkan paperbag berisi makan siang yang tadi disiapkan Letta.
Zidan yang masih diam terpaku hanya mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa.
“Kalau begitu, saya pamit, Tuan,” lanjut Etan, lalu berbalik meninggalkan ruangan, menjalankan instruksi Letta tanpa membantah.
Begitu Etan pergi dan keheningan menyelimuti ruangan, Zidan menunduk, meremas rambutnya sendiri dengan frustasi.
“Bodoh… Kenapa aku kelepasan seperti itu,” rutuknya lirih.
Ia menatap ke arah paperbag di atas meja. “Lihat sekarang… semua jadi semakin rumit.”
Sementara itu, mobil yang dikendarai Etan mulai melaju meninggalkan area proyek, kembali menuju apartemen Letta. Suasana di dalam mobil dipenuhi keheningan yang berat.
Di kursi belakang, Letta duduk memunggungi dunia luar, menyeka air mata yang sejak tadi tak henti jatuh. Ia berusaha mengendalikan diri, namun sesak itu masih terasa menghimpit dadanya.
Dari kursi kemudi, Etan sesekali mencuri pandang lewat kaca spion, memastikan keadaan sang Nona yang telah dikenalnya cukup lama.
Akhirnya, Etan memberanikan diri bicara, suaranya pelan namun terdengar jelas di dalam kabin yang sunyi.
“Ehem... Maaf sebelumnya, Nona,” ucap Etan hati-hati, “tapi bukankah… hal seperti ini memang tak bisa dihindari?”
Letta diam. Ucapannya tak ditanggapi, tapi Etan tahu Letta mendengarnya.
“Sejak awal, Nona sudah tahu risikonya. Semuanya… ini semua terjadi karena Nona terlalu memaksakan perasaan pada sesuatu yang belum tentu sejalan. Saya tahu Nona punya niat baik… tapi kadang niat baik juga bisa menyakitkan kalau dipaksakan.”
Letta menarik napas panjang. Ia masih belum sanggup menjawab, tapi ucapannya tadi mengena. Ada benarnya, dan Letta sadar akan itu.
Namun tetap saja… menyadari kebenaran tak membuat luka di hati menjadi kurang perih.
Ia menatap keluar jendela, menyembunyikan matanya yang masih basah. Dalam diamnya, Letta bertanya pada dirinya sendiri — apakah semua ini masih pantas diperjuangkan?
Kembali pada Zidan. Kini ia duduk diam di tempat yang tadi sempat diduduki Letta. Hening mengisi ruang, hanya suara angin dari sela bangunan yang belum selesai terdengar samar.
Pandangan matanya jatuh pada paperbag yang tadi dibawa Etan—makan siang yang disiapkan Letta khusus untuknya. Ia menatapnya lama, seperti mencoba memahami makna di balik perhatian sederhana itu.
"Dia benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang istri dengan baik," gumam Zidan lirih. "Dan aku… malah meluapkan semuanya kepadanya."
Zidan menunduk, menggenggam tangannya erat. Ada rasa bersalah yang menggerogoti dirinya pelan-pelan.
"Bukan dia yang salah. Akulah yang gagal," lanjutnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Sebagai laki-laki, aku seharusnya bisa memenuhi kebutuhan orang yang kucintai."
Hening kembali menyapa. Hanya napasnya yang terdengar berat dan tersendat.
"Mungkin... semua ini tak akan pernah terjadi kalau aku lebih tegas sejak awal," bisiknya pelan. "Tapi tetap saja… rasanya sesak. Aku merasa seperti barang—yang bisa dibeli dengan uang hanya demi melunasi utang orang yang aku cintai."
Tatapannya kosong, menembus dinding-dinding belum selesai di sekelilingnya. Di matanya, bukan hanya Letta yang terluka—dirinya pun telah lama terperangkap dalam luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Hari ini, dua insan yang terikat dalam hubungan sakral itu mulai menyadari satu hal penting: ini bukanlah akhir dari segalanya. Justru sebaliknya—dari titik inilah perjalanan mereka sesungguhnya dimulai.
Bagi Zidan, ada kesadaran baru yang tumbuh perlahan. Ia tahu, untuk bisa benar-benar menerima Letta sebagai istrinya, ia harus membuka hati. Mungkin cinta tak tumbuh secepat itu, tapi ia yakin, dengan waktu dan usaha, perasaan itu bisa muncul. Namun sebelum itu, ada satu hal yang harus ia lakukan terlebih dahulu—menebus kesalahan yang telah melukai hati Letta hari ini.
Di sisi lain, Letta yang kini duduk sendiri di apartemennya, menatap senja yang mulai turun dari balik jendela kaca. Hatinya masih perih, tapi ia tahu, luka ini tak boleh menghentikannya. Ia telah melangkah terlalu jauh untuk berhenti. Ini bukan waktunya mundur.
Letta mulai menata kembali hatinya. Ia tahu bahwa perjalanannya tak akan mudah. Setelah ini, ia harus belajar menjadi lebih kuat. Tidak lagi membiarkan emosinya mendominasi, tidak lagi berharap segalanya akan berjalan sempurna.
Ia harus kebal.
TBC...