Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Shanaya sempat berharap, mungkin masih ada secuil cinta Reno untuknya. Walau harapan itu sudah nyaris pupus, apalagi setelah ia menghabiskan salah satu kartu permintaannya. Tapi nyatanya? Reno bahkan tak menoleh. Seperti biasa, begitu Malika menelepon, pria itu langsung pergi begitu saja.
“Kamu pulang sendiri. Malika lagi diganggu,” katanya singkat, datar, tanpa menatap Shanaya sedikit pun.
Dulu, Shanaya pasti akan menahannya. Memohon, merayu, mencari alasan agar Reno tetap tinggal. Tapi kali ini berbeda. Ia justru merasa lega. Reno pergi. Ia tak perlu lagi pura-pura bahagia atas kehadiran yang tak pernah membawa ketenangan. Lagi pula, tinggal enam kartu lagi.
“Enam kartu lagi, dan semuanya selesai,” bisiknya sambil menatap bayangan wajahnya di cermin.
Sejak rumah tangga mereka mulai dingin akibat pengkhianatan Reno, Shanaya sebenarnya bisa saja pergi. Tapi ia memilih bertahan. Bukan karena cinta. Bukan karena takut sendiri. Tapi karena ada janji yang harus dituntaskan. Terdengar bodoh, memang. Tapi Shanaya ingin pergi dengan cara elegan, tanpa drama. Ia ingin Reno sadar sendiri, bahwa kepergiannya bukan karena kalah, melainkan karena rasa yang perlahan dibunuh oleh sikap dingin suaminya.
Sepuluh tahun bukan waktu singkat. Tiga tahun pacaran sejak kuliah sambil merintis bisnis bersama, lalu tujuh tahun menikah, penuh perjuangan dan kompromi. Cinta mereka pernah besar, tapi cinta juga bisa layu kalau hanya satu yang berusaha merawatnya, bukan?
Mengingat semua itu, kenangan, pengkhianatan, luka, Shanaya seharusnya menangis. Tapi tidak. Tak setetes pun air mata jatuh.
“Air mataku terlalu berharga. Sayang kalau cuma buat orang sepertinya," gumamnya pada dirinya sendiri.
Ia membuka tas, mengambil bedak padat, dan memoles wajahnya tipis. Menutupi kelelahan dan pucat yang mulai tampak. Lalu menambahkan pulasan merah kecokelatan di bibir. Napasnya ditarik panjang, lalu dihembuskan perlahan.
Cukup. Saatnya meninggalkan rumah sakit itu.
Tapi di perjalanan menuju parkiran, langkahnya terhenti. Di ujung koridor, ada keributan. Seorang pria tinggi, berwajah tegas dan tampan, menarik lengan seorang ibu paruh baya yang terlihat panik.
“Ayolah. Ginjalmu harus segera diambil,” kata si pria dengan nada serius.
“Enggak mau! Ginjalku itu milikku, dan aku gak akan setuju selamanya!” bentak si ibu sambil mencoba melepaskan diri.
Mata Shanaya membelalak. Ia melihat ke kanan dan kiri, berharap ada satpam atau suster. Tapi koridor sepi. Otaknya langsung dipenuhi skenario buruk, perdagangan organ, penculikan, berita kriminal.
Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah mereka. Langsung menarik si pria dari belakang dan mendorongnya menjauh dari si ibu.
“Hey!” teriaknya sambil memukul pria itu pakai tas kecil. “Lepaskan dia, dasar psikopat! Kalau butuh ginjal, jual punyamu sendiri!”
Pria itu terkejut dan spontan melepas pegangan. Kesal sudah pasti, ia pun mendengus, “Apa-apaan sih?!”
Shanaya berdiri di depan si ibu, tangannya terbentang seperti tameng. Wajahnya serius dan emosional, memperlihatkan jika dirinya tak takut meskipun saat ini nyalinya hanya seujung kuku.
“Tenang, Bu. Saya nggak akan biarin Ibu disakiti oleh manusia biadab ini!” serunya, menatap si pria dengan tajam.
Pria itu, Sadewa Mahardika—membalas tatapannya dengan ekspresi dingin. CEO Mahardika Group. Konglomerat muda yang hartanya cukup buat hidup tujuh turunan. Kini dituduh mau jual ginjal ibunya?
“Kembalikan dia padaku. Ini urusanku. Jangan ikut campur,” katanya tegas, seperti memberi perintah pada bawahan dan tidak boleh ditolak sama sekali.
Shanaya mendengus. “Kamu pikir aku bakal tinggal diam lihat orang ditindas? Jangan mimpi!”
Sadewa menyipitkan mata. Suaranya makin dingin. “Tindas? Kamu bahkan nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ujarnya.
Shanaya maju selangkah, berdiri tegak dengan sorot mata tajam. “Aku tahu kok. Kamu maksa ibu ini jual ginjal demi duit, kan? Muka licikmu tuh udah kayak poster niat jahat. Sebelum aku lapor polisi, mending lepasin dia sekarang juga!”
Sadewa malah tertawa kecil, geleng-geleng kepala seperti baru nonton film komedi. “Luar biasa. Kamu tuduh, kamu nilai, terus sok jadi pahlawan. Padahal kamu sama sekali nggak ngerti apa-apa.”
Di balik kebingungan situasi, Santi Mahardika—ibunya Sadewa—justru tersenyum cerah. Ia kenal betul anak semata wayangnya itu, irit bicara, tegas, dan biasanya menyelesaikan masalah hanya dengan satu-dua kalimat. Tapi kali ini? Sadewa udah ngomong lebih dari sepuluh kalimat dan semuanya ditujukan ke cewek asing yang baru aja bikin keributan dengannya.
Padahal, Sadewa tinggal bilang dia anak kandung dan sedang buru-buru ke ruang cuci darah, pasti semuanya kelar dalam satu menit. Tapi anaknya malah kayak lagi menikmati drama ini.
Santi pun mulai curiga, jangan-jangan dia bakal dapet calon menantu? Akhirnya ia diam sambil mengamati pertengkaran kecil antara anaknya dan wanita yang baru saja dilihatnya itu.
“Terus aja bela diri!” bentak Shanaya. “Emang gitu kan kelakuan penjahat, pura-pura jadi malaikat bersayap!”
Mata Sadewa membelalak. Tatapannya menusuk, rahangnya mengencang, napasnya tampak naik-turun. “Aku bilang sekali lagi… jangan ikut campur!”
“Enggak bisa!” tolak Shanaya, ia buru-buru ngeluarin ponsel dan ngetik cepat. “Aku panggil polisi sekarang juga! Biar kamu membusuk di penjara!”
Sadewa cuma ngelirik malas, lalu melirik ibunya sambil nyengir miring. Ekspresinya seolah bilang, “Ini orang beneran serius?”
Shanaya menekan tombol panggil dan menatapnya dengan penuh kemenangan. Begitu tersambung ia langsung berkata, “Halo, Pak Polisi? Saya mau lapor percobaan jual beli organ! Saya ada di depan RS Medika. Pelakunya persis di depan saya!”
Sadewa ngangkat alis, lalu menoleh ke ibunya. “Bu, mungkin Ibu perlu turun tangan sebelum wanita ini minta dikirim ambulans.”
Santi nyengir, lalu maju dan menepuk lembut punggung Shanaya. “Maaf ya, Sayang. Ini anak saya, Sadewa Mahardika. Saya ibunya. Kami cuma buru-buru ke ruang hemodialisis. Maksudnya tadi ginjal saya harus dibersihin, bukan dijual.”
Shanaya langsung beku di tempat. Ponsel masih nempel di kuping. Terdengar dari sebrang suara ditelepon ia langsung dengan gagu berkata, “…halo? Halo, Bu—eh, Pak Polisi? Maaf, salah paham. Nggak ada kasus kok. Bukan jual ginjal. Cuma… ya, maaf ya. Terima kasih!”
Cepat-cepat ia tutup telepon. Wajahnya merah padam kayak tomat mateng. Pandangannya langsung menghindar dari Sadewa, yang sekarang menatapnya datar. Tapi bibir pria itu sedikit terangkat, nyaris kayak senyum mengejek.
“Baru ketemu, udah mau jeblosin aku ke penjara,” celetuk Sadewa, santai banget.
Shanaya berusaha tetap tenang. “Ya kamu juga! Harusnya dari tadi bilang kalau itu ibumu!”
Sadewa membalas cepat. “Kamu juga harusnya nanya dulu, bukan asal tuduh.”
Santi tertawa makin keras. “Udah selesai belum debatnya? Ibu jadi kebayang, kalau kalian nikah nanti, rumahnya pasti rame!”
“APA?!” teriak Sadewa dan Shanaya bersamaan, sama-sama syok.
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔
itu jodohmu, Shanaya🤭