Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Anggun tidak peduli dengan keraguan Papa dan Mamanya. Baginya, Adrian adalah pria yang ia cintai, dan tidak ada alasan untuk menunda hubungan mereka lebih lama.
"Aku ingin bertunangan dengan Adrian, Papa, Mama," kata Anggun dengan tegas. "Aku tidak peduli dengan masa lalunya. Aku percaya dia sudah move on, dan aku ingin membangun masa depan bersamanya."
Papa Surya dan Mama Renata saling bertukar pandang. Kekhawatiran masih jelas tergambar di wajah mereka, tetapi mereka tahu bahwa putri mereka bukan seseorang yang mudah diatur. Sekali Anggun mengambil keputusan, ia tidak akan mundur.
"Anggun..." Mama Renata mencoba membujuk dengan suara lembut. "Kami hanya tidak ingin kamu tersakiti di kemudian hari. Pernikahan bukan hal yang bisa dianggap enteng."
"Aku tahu, Ma. Tapi aku sudah dewasa. Aku tahu apa yang aku inginkan," jawab Anggun dengan tatapan penuh keyakinan.
Papa Surya akhirnya menghela napas berat. Ia menatap Adrian dengan tajam. "Baiklah, kalau ini yang kamu inginkan, Papa dan Mama tidak akan menentang. Tapi Adrian, dengarkan baik-baik."
Adrian menegakkan tubuhnya, bersiap menerima apa pun yang dikatakan Papa Surya.
"Kami akan merestui pertunangan ini, tetapi jika suatu hari kamu mengecewakan atau menyakiti Anggun, kamu akan berhadapan dengan saya.” kata Papa Surya tegas.
Adrian menelan ludah, lalu mengangguk mantap. "Saya mengerti, Pak. Saya akan menjaga Anggun sebaik mungkin."
Dengan berat hati, akhirnya Papa Surya dan Mama Renata menyetujui keinginan putri mereka. Persiapan pertunangan pun dimulai, dan dalam waktu singkat, tanggal telah ditentukan.
Namun, di tengah kebahagiaan Anggun, Adrian masih menyimpan kegelisahan. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul di hatinya. Apakah ia benar-benar sudah siap untuk melangkah ke tahap ini? Atau ia hanya terbawa arus karena desakan Anggun?
Sebagai keluarga terpandang, Mama Renata ingin memastikan pertunangan Anggun berlangsung mewah dan sempurna. Mereka memutuskan untuk menggelar acara di sebuah hotel berbintang dengan tamu-tamu dari kalangan elite bisnis dan sosialita.
*******
Kevin semakin menikmati kehidupan kampusnya. Dengan kepribadiannya yang karismatik dan ramah, ia dengan mudah beradaptasi dan menarik perhatian banyak orang. Banyak mahasiswi yang diam-diam mengaguminya, tetapi Kevin justru jatuh hati pada Alana, gadis manis dari jurusan Seni Rupa yang memiliki bakat luar biasa dalam melukis.
Namun, Reina, mahasiswi dari jurusan Manajemen Bisnis, merasa tidak rela melihat Kevin mendekati Alana. Reina adalah orang pertama yang mengenal Kevin saat ia baru masuk kampus, dan selama ini ia yakin bahwa ia memiliki kesempatan lebih besar untuk bersama Kevin.
Melihat Kevin semakin akrab dengan Alana, rasa cemburu Reina mulai tumbuh menjadi obsesi. Ia merasa Alana merebut Kevin darinya. Dengan status sosial dan koneksi yang dimilikinya, Reina mulai merancang berbagai cara untuk memisahkan Kevin dan Alana.
Suatu sore di kampus, di depan studio seni rupa.
Kevin berdiri di depan pintu studio, menunggu Alana yang masih membereskan alat-alat lukisnya. Ia bersandar santai di dinding, sesekali mengecek ponselnya. Tak lama, Alana keluar dengan membawa kanvas kecil di tangannya.
“Udah selesai?” tanya Kevin dengan senyum khasnya.
Alana mengangguk. “Iya, tapi masih banyak yang harus aku perbaiki. Nggak nyangka tugas kali ini sulit banget.”
“Mau kubantu?” Kevin menawarkan diri.
Alana tertawa pelan. “Emang kamu bisa?”
“Hei, aku kan juga punya bakat seni. Minimal bisa nemenin kamu sambil ngobrol.” Kevin terkekeh, membuat Alana tersipu.
Namun, sebelum Alana sempat membalas, suara berderap cepat terdengar mendekat.
BRAK!
Reina datang dengan wajah penuh amarah. Ia menatap tajam ke arah Alana sebelum mengalihkan pandangannya ke Kevin.
"Kevin, bisa kita bicara?” suaranya terdengar dingin dan menekan.
Kevin menoleh, kaget dengan ekspresi Reina yang terlihat tidak biasa. "Eh, iya. Kenapa, Reina?”
Reina melirik Alana sekilas, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Sendiri. Aku nggak mau ada orang lain.”
Alana menggigit bibirnya. Ia tahu Reina tidak menyukainya, tapi ia tidak ingin membuat Kevin merasa terjebak dalam situasi canggung.
"Kalau begitu, aku duluan aja ya, Kevin," kata Alana, berusaha bersikap tenang.
Namun, sebelum ia sempat melangkah pergi, Reina justru mencegahnya dengan satu kalimat yang membuat suasana makin menegang.
"Kamu nggak lelah, Alana? Merebut cowok yang bukan buat kamu?"
Kevin langsung menegang. "Reina! Apa maksud kamu ngomong kayak gitu?"
Alana terkesiap. Ia berusaha menahan emosinya, tapi jelas Reina sudah melewati batas.
"Aku nggak merebut siapa-siapa, Reina," jawab Alana dengan suara tegas. "Kevin bukan milik siapa pun."
Reina tertawa sinis. "Oh, jadi kamu pura-pura polos? Aku kenal Kevin lebih dulu. Dia selalu bersamaku sebelum kamu muncul!"
Kevin menghela nafas panjang, kesal dengan sikap Reina. "Reina, aku bukan barang yang bisa diperebutkan. Aku yang menentukan sendiri siapa yang mau aku dekati."
Wajah Reina memerah karena marah dan malu. Ia menggertakkan giginya, lalu mendekati Kevin dan berkata dengan nada rendah penuh ancaman.
"Baiklah, Kevin. Kalau kamu memilih dia... Jangan salahkan aku kalau sesuatu terjadi pada Alana."
Setelah mengatakan itu, Reina berbalik dan pergi, meninggalkan Kevin dan Alana yang masih terdiam karena ancaman tersembunyi dalam kata-katanya.
Setelah Reina pergi, suasana di antara Kevin dan Alana menjadi tegang. Alana masih merasa tidak nyaman dengan situasi yang terjadi.
Kevin mendekatinya, mencoba menenangkan. “Alana, jangan dengerin Reina. Dia cuma salah paham—”
Namun, Alana mengangkat tangannya, menghentikan Kevin sebelum ia bisa melanjutkan. Wajahnya terlihat bingung sekaligus kecewa.
“Salah paham?” suara Alana terdengar ragu. “Kevin, kalau kalian memang punya hubungan khusus, kenapa kamu masih mendekati aku?”
Kevin terdiam. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Ia memang dekat dengan Reina sebelum mengenal Alana, tetapi tidak pernah benar-benar menganggapnya lebih dari teman.
"Aku... Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Reina," kata Kevin akhirnya. "Aku cuma tertarik sama kamu, Alana."
Alana menghela napas panjang, matanya menatap Kevin dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Tapi Reina jelas merasa sebaliknya. Aku nggak mau jadi orang yang merebut pacar orang lain, Kevin. Aku nggak mau terjebak dalam situasi ini," ucapnya pelan namun tegas.
"Alana, dengar dulu—"
"Maaf, Kevin."
Alana membalikkan badan dan pergi, meninggalkan Kevin yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Hatinya terasa berat.
Kevin mengepalkan tangannya, menatap punggung Alana yang semakin menjauh. Ia tidak ingin kehilangan Alana, tapi di saat yang sama, Reina juga tidak akan tinggal diam.
Kevin menjatuhkan diri di bangku taman kampus, menarik napas dalam-dalam lalu mengacak rambutnya dengan frustasi. Sesulit inikah mendekati seorang cewek?
Dia tidak menyangka situasi akan menjadi serumit ini. Kenapa Alana begitu keras kepala? Kenapa Reina tidak bisa memahami bahwa dia tidak pernah melihatnya lebih dari sekadar teman?
Matanya menatap kosong ke depan, kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tidak menemukan jawaban.
Kevin mengeluarkan ponselnya, membuka kontak Alana, jemarinya ragu untuk mengirim pesan. Haruskah dia menjelaskan lagi? Atau justru semakin memperumit keadaan?
Sial. Kenapa dia merasa seperti orang bodoh hanya karena perasaan ini?
Dia melempar ponselnya ke samping, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya dia merasa sefrustasi ini hanya karena ingin mendekati seorang gadis.
Saat itulah, Reina muncul dengan senyum penuh arti.
“Kevin…” suara lembutnya terdengar, namun Kevin tidak menyambut dengan ramah seperti biasanya.
Ia menatap Reina dengan tatapan tajam, penuh tanya kejengkelan yang selama ini ditahannya. "Apa lagi sekarang?" suaranya dingin, tidak lagi ada nada ramah di sana.
******
Robert meletakkan undangan di mejanya, menatapnya sebentar sebelum mengangkat wajah ke arah William.
"Kita dapat undangan pesta pertunangan rekan bisnis Papa. Orangnya juga punya posisi di pemerintahan," katanya santai.
Mama Rose, yang duduk di sampingnya, ikut menimpali, "Acara seperti ini penting, William. Papa ingin kita semua datang."
William menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengangguk. "Oke, aku ikut. Aku bakal ngajak Anjani juga."
Pak Robert tersenyum kecil. "Bagus. Acara ini bukan cuma soal bisnis, tapi juga kesempatan buat kita memperkuat hubungan dengan orang-orang di pemerintahan."
Mama Rose menatap William dengan penuh arti. "Dan pastinya, bakal banyak orang yang penasaran sama kamu dan Anjani."
William terkekeh. "Kalian ini serius banget. Santai aja, ini cuma pesta pertunangan, bukan sesuatu yang harus dipikirkan berat-berat."
Pak Robert meneguk kopinya sebelum berkata, "Tetep aja, acara kayak gini tuh penting. Jaga sikap dan perhatikan sekitar."
Mama Rose menambahkan, "Lagipula, ini kesempatan bagus buat Anjani lebih dikenal di lingkungan kita."
William hanya mengangguk, lalu berdiri. "Baiklah, kalau gitu aku bakal kasih tahu Anjani soal ini."
Pak Robert dan Mama Rose saling berpandangan sebelum tersenyum, sementara William melangkah keluar ingin menjemput anjani.
jng krn cinta trus ngorbanin keadilan yg jelas buat kakakmu.
wanita macam Alana mudah di cari bnyak pun, tp keadilan tidak bisa di cari kl kita tdk menegakkan. ingat jng lemah.
pa lagi Williams bnyak pikiran pasti mudah jenifer njebak.
smp hapal bner krn tiap penulis selalu bikin konflik bgini, jarang ada lelaki yg gk bisa di jebak pasti kebanyakan masuk jebakan 😂😂😂😂😂
hrs berani lawan lahhh