“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 14
Sebelumnya.
“Malam ini, selagi saya mengelabui Juragan Karta di ranjang ... lakukanlah tugasmu, Jun.” Suara Arum terdengar lembut, namun tegas.
Jemarinya mengangkat cangkir teh ke bibir, sementara matanya menatap tajam Mandor kepercayaan Juragan Karta di hadapannya—yang tak lain adalah adik dari mendiang Larasmi.
“Beras, gula, biji kopi, rempah-rempah mahal—sikat habis semua yang ada di gudang penyimpanan!” sudut bibir Arum terangkat sebelah. “Hasil jarahan kita, langsung Anda bagikan saja pada penduduk desa yang dibuat banyak merugi oleh pria tua bangka itu.”
Junaidi mengangguk paham. Sementara Arum meneguk tehnya perlahan, lalu meletakkan cangkir dengan gemulai.
“Berapa kerugian yang akan di tanggung Bandot Tua itu, Jun?” tanya Arum.
“Tak seberapa jika harus dihitung dari jumlah kekayaannya, hanya sekitar Seratus Rupiah saja. Namun, Juragan yang terkenal kikir, pasti tetap akan murka,” jelas Junaidi.
Arum tersenyum kecil, matanya menyipit.
“Seratus Rupiah yang akan membuat Nenek Sihir itu kehilangan mukanya di depan para pelayan.”
Ia menyentuh ujung cangkir teh yang masih hangat, lalu berdiri perlahan. Gaun sutranya bergeser lembut mengikuti gerakan.
Junaidi menunduk hormat, tapi tak mampu menahan kekaguman samar yang ia rasakan di dalam dada. Kedua mata pria itu terpejam, berusaha menepis segala rasa yang tidak diperlukan. Kemudian ia berdiri.
“Kalau begitu, saya permisi, Nona,” pamitnya. “Saya harus mempersiapkan segalanya dengan baik.”
Arum tak menjawab, ia hanya mengangguk pelan tanpa menoleh ke arah lawan bicara. Arum melempar tatapannya ke gudang penyimpanan yang terlihat dari Paviliun.
“Secepatnya, aku akan merebut posisimu, Nyai ....”
.
.
Suara serangga malam seperti merunduk. Di luar, bayangan dua pria suruhan Junaidi mulai bergerak melewati tembok belakang rumah besar, menyelinap menuju gudang penyimpanan yang tak dijaga ketat malam itu.
Dua pria itu berperawakan tegap—menyusuri lorong-lorong gelap. Wajah mereka terbungkus kain hitam, dan langkah kaki mereka nyaris tak meninggalkan jejak suara.
Salah satu dari dua pria itu menenteng sebatang bambu kecil—sumpitan, alat tradisional untuk melontar racun.
“Sudah pasti dua orang?” bisik pria pertama.
“Sudah ku pastikan sendiri tadi sore. Duduk bersandar, malas, seperti biasa,” jawab yang kedua, lalu menarik kantong kecil berisi peluru racun—getah bius dari akar tanaman hutan yang diracik untuk menghilangkan kesadaran hanya dengan satu tusukan kecil.
Mereka berhenti sekitar dua puluh langkah dari beranda gudang. Cahaya lampu minyak remang-remang menyorot dua penjaga yang tengah mengantuk. Yang satu memegang tongkat bambu di pangkuan, satunya bersandar ke tiang kayu sambil sesekali terbatuk.
“Jo, kau sudah lihat wajah gundik barunya Juragan?” Tanya salah satu penjaga dengan suara yang sesekali menguap.
Yang di tanya menggeleng singkat. “Katanya cantik, ya?”
“Bukan cantik lagi, Jo. Sudah kayak bidadari. Aku tadi ngintip sebentar waktu itu gundik mau ke Paviliun. Uh, langsung nguaceeeng perkutut ku!”
Paijo terkekeh sambil sesekali terbatuk. “Manuk mu itu emang ndak tau diri, Sep. Biasanya menggarap sawah wanita publik, iki malah lancang ngelirik apemnya gundik milik Juragan.”
Asep yang tadinya dilanda rasa kantuk, jadi tertawa—matanya mendadak segar setiap membahas tentang dunia selangkangan.
“Ya, rezeki kan ndak ada yang tau, Jo. Siapa tau, si gundik itu terpesona sama wajah tampan ku yang katanya mirip sama anaknya Raden Margono Djojohadikoesoemo,” kata Asep penuh harap.
“Mirip matamu! Katane sopo?” Paijo tak terima melihat rekan kerjanya itu mengaku-ngaku sebagai anak dari seorang pria konglomerat di zaman itu.
“Kata para demit, hahaha!” Asep tertawa terpingkal-pingkal. Begitupun Paijo.
Mereka berdua tak menyadari, dari balik gelapnya malam—seseorang tengah mengarahkan peluru beracun ke arah mereka.
Syuuuut!
Anak bambu melesat, menancap di leher Asep. Lelaki baya itu hanya sempat mengangkat tangan sejenak sebelum tubuhnya limbung, lalu roboh ke lantai kayu tanpa suara.
Paijo terkejut melihat temannya terjerembab tiba-tiba. “Kowe ngopo, Sep? Kok tiba-tiba turu?”
Syuuuut!
Paijo pun tersentak saat merasakan benda runcing menusuk lehernya. Dunianya terasa langsung berputar-putar. Sedetik kemudian, Paijo pun menyusul tak sadarkan diri.
Salah satu orang kepercayaan Junaidi menghampiri tubuh penjaga yang terkapar. Ia menepuk-nepuk pipinya, memastikan.
“Aman, masih hidup,” gumamnya.
Rekannya menyeringai kecil, lalu mengangguk. “Sekarang, beri mereka pelajaran. Sesuai dengan perintah Tuan Jun. Setelah itu, bantu aku mengeluarkan timbunan barang-barang itu.”
Malam itu, gudang yang selama ini jadi jantung penyimpanan rumah besar, perlahan dikosongkan.
Begitu semua selesai, mereka menutup kembali pintu gudang, menyamarkan jejak, lalu menghilang di balik rimbunan pepohonan—meninggalkan kekacauan yang baru akan meledak saat fajar menyingsing.
...****************...
“Apa-apaan ini, Lastri?! Selain tak mampu memberikan aku keturunan, kau juga tak mampu mengurus tugasmu?” Juragan Karta berdiri dengan napas memburu, sorot matanya liar dan geram.
Nyai Lastri menegang di tempatnya. Rahangnya mengeras, namun matanya mulai basah.
“Aku sudah mempercayakan semuanya padamu, tapi nyatanya rumah ini terus dibuat hancur sejak kau tak lagi bisa menjaga apa pun dengan benar! Kau begitu bangga saat membawa dua kacung yang katanya tak terkalahkan itu untuk menjaga gudang. Tapi, apa ini? Malah hartaku lenyap! Kau tau—setinggi apa harga biji pala dan cengkeh itu di pasar?!”
Suasana pagi yang tadinya hangat seketika membeku. Para pelayan menunduk, tak satu pun berani mengangkat muka. Beberapa bahkan mencuri pandang ke arah Arum yang duduk tenang, wajahnya tetap teduh seolah sedang menikmati pertunjukan.
Nyai Lastri membuka mulut, tapi suaranya nyaris tak terdengar. “Aku … aku akan bertanggung jawab, Kang.”
“Tanggung jawab?!” dengus Juragan. “Sudah jelas kau memang harus bertanggung jawab! Dasar bodoh!”
Nyai Lastri menggigit bibirnya. Selama dua puluh lima tahun ia menjadi istri pria itu. Ia tau kalau Juragan bukan pria yang mudah memaafkan. Tapi kali ini ... terasa berbeda. Ia merasa benar-benar diinjak. Di hadapan semua orang. Di hadapan perempuan muda yang telah menguasai hati sang suami.
Di kursinya, Arum menyentuhkan ujung jarinya pada cangkir teh. Ia melirik Nyai Lastri sekilas, lalu menunduk kecil ... menahan senyum.
.
.
Pagi itu, setelah kekacauan sedikit mereda, Arum berjalan santai meninggalkan ruang utama menuju paviliun. Namun langkahnya terhenti saat melewati area dapur.
Aroma bawang goreng dan bara api masih menggantung di udara. Di sana, tiga gundik Juragan yang pernah ikut menyiksanya di dalam gudang tua—berdiri dalam diam sambil menatapnya sinis.
Atun, Pima dan Sri berjalan pelan, mendekati Arum.
Pima menyilangkan tangan, wajahnya masam. “Lihat siapa yang lewat,” katanya sinis. “Perempuan licik yang mendadak naik derajat hanya karena berhasil memeluk betis pria bau tanah.”
Arum hanya menoleh sekilas, lalu hendak melanjutkan langkah.
Namun ucapan berikutnya membuatnya berhenti.
“Jangan kira kami tak tau siapa yang memicu kekacauan di gudang. Salah satu dari kami melihat, semalam kau berdiri di paviliun, menatap gudang penyimpanan seperti tikus lapar mengincar karung padi!” Atun tersenyum remeh.
Langkah Arum terhenti sepenuhnya. Ia menoleh, menatap lurus ke arah lawan—seolah tak ada rasa takut.
Ketiga gundik semakin mendekat cepat.
Sri mulai meninggikan suaranya. “Kau pikir bisa seenaknya main belakang dan menjatuhkan Nyai kami?! Pelacur seperti mu ternyata tak puas dengan pelajaran kemarin rupanya!”
Atun sudah berdiri tepat di hadapan Arum. Ia menjambak rambut Arum sekuat tenaga. Dan dalam waktu bersamaan, Pima melayangkan tamparan keras di pipi Arum. Sri pun hendak meniru.
Namun belum sempat ia mengulang perbuatan itu—
BUGH!
Arum lebih dulu menyundul wajah Atun dengan kepalanya, hingga perempuan itu terjengkang. Tubuhnya bergerak cepat, ia mendorong Pima—hingga wanita bertubuh gempal itu menubruk rak panci dan membuat peralatan dapur berderak jatuh.
PLAK! PLAK! PLAK! BUGH!
Arum menampar Sri habis-habisan, lalu menerjang perut Sri hingga perempuan itu terjatuh.
“Sialan kowe! Aku belum ngapa-ngapain, malah aku yang dihajar! Asuuu! Sini kowe, tak robeki lubang gatalmu!” umpat Sri murka.
PLAK! Arum menampar bibir Sri dengan piring bambu.
Sri mengaduh, terbatuk dan mengerang kesakitan. Sementara Arum, sudah tertawa terpingkal-pingkal. Namun, ketiga gundik menyadari ada yang aneh.
Suara tawa yang terdengar lirih dan dingin, tidak terdengar seperti suara Arum. Suaranya berat, seperti ada suara lain yang menumpang di balik kerongkongannya. Dan anehnya, mereka merasa familiar dengan suara itu.
“Kenapa wajah kalian jadi seperti orang bodoh begini? Apa kalian lupa dengan suara ku? Kalian melupakan aku?” desis Arum.
Arum mengangkat sebelah bibirnya, lalu ia berjalan perlahan mendekati tungku api. Di atasnya, air mendidih yang sedang direbus di wajan besar, meletus-letus.
“Tapi, kalian bertiga tidak mungkin melupakan adegan ini, ‘kan?” Larasmi yang merasuki raga Arum, memasukkan telapak tangannya ke dalam rebusan air mendidih.
CESSHHHH!
Merasa dejavu, ketiga gundik kini saling pandang. Mereka ingat betul pernah menyiksa gundik istimewa di sepuluh tahun silam.
“La-rasmi?” Suara mereka kompak terbata-bata.
Larasmi tertawa menyeringai. Lalu tiba-tiba saja ia menjerit. “JURAGAAAAN! TOLOOOONG!”
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣