Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 35 - Luka Mahanta
Di hari kelima Murni dikurung.
Malam begitu senyap, seolah waktu sendiri enggan bergerak. Angin malam hanya berdesir pelan, membawa aroma lembap dan kayu tua dari sekitar warung.
Mahanta duduk sendiri di warung. Memandang lilin yang hampir padam. Tidak ada yang datang malam ini. Di hadapannya, sepiring sup dingin yang tak ia sentuh.
Kepalanya dipenuhi wajah Murni.
Murni yang pertama datang dengan penuh rasa takut, tetapi selalu kembali. Murni yang matanya selalu mencari jawab. Murni yang tak tahu siapa dirinya sebenarnya.
Tetapi ia tahu. Ia selalu tahu.
Dan setiap malam, setiap kali gadis itu melangkah pergi, pertahanannya semakin longgar. Bahkan beberapa kali ia hampir gagal.
Terdorong untuk menyentuh, meskipun hanya sekilas.
Terdorong untuk menatap, meskipun hanya sekejap.
‘Obitus…’ bisik suara samar di pikirannya. ‘Jangan ulangi kesalahanmu.’
“Mantra” itu selalu berhasil membuatnya berhenti. Mengetatkan kembali kendali yang nyaris lepas.
Ia memejamkan mata.
'Cinta ini... terlarang.
Cinta ini... membuat kami dihukum.
Cinta ini... membuat langit dan neraka hancur.'
Meskipun saat ia memandang bibir Murni yang tersenyum, ia tahu satu hal pasti.
*'Jika ini terlarang... maka biarlah aku dihukum lagi. Aku bersedia disiksa. *Asalkan bukan dia.'
Penantian ratusan tahun. Pengendalian diri ketika di dekatnya. Itu adalah bagian dari siksaannya. Asalkan bukan dia.
Karena itu, sejak hari pertama Murni datang, ia sudah mengatakan pada gadis itu agar tidak kembali.
Karena itu, waktu Murni tidak datang selama satu minggu ia mengerti kegelisahannya, bersyukur, meskipun kecewa.
Tetapi ketika Murni kembali datang, ia tahu bahwa gadis itu telah memilihnya. Dan itu bahaya.
Seharusnya sejak awal ia memperlakukan Murni dengan buruk. Agar dia takut padanya, membencinya. Dengan begitu, dia aman.
Tapi bagaimana mungkin ia bisa melakukannya? Dia wanita yang ia cintai.
Itu sebabnya ia menyediakan bubur yang ia katakan “sebagai pengikat”, untuk membujuk agar Murni memakannya. Demi alasan altruis. Karena jika Murni meminum bubur itu, keraguannya akan terhapus. Hatinya akan kembali bulat untuk memenuhi panggilan awalnya. Melayani Tuhannya.
Setelah datang satu kali selepas absen satu minggu, Murni kembali tidak datang.
Mahanta agak heran karena waktu itu Murni sudah kembali. Namun hari berikutnya dia tidak datang, dan malam berikutnya lagi. Ini adalah malam kelima. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang salah.
Ia memandang ke dalam sup. Dan melihat Murni meringkuk di tempat tidur. Tidak lagi memiliki semangat hidup.
Mahanta tersentak berdiri, sampai kursi yang didudukinya hampir terjatuh. Ia melesat ke luar. Hanya dalam waktu sekejap sudah ada di depan biara.
Ia harus menyelamatkan kekasihnya. Ia melangkah mendekat.
Namun…
Ia adalah iblis. Bukan. Ia bahkan sudah bukan iblis. Tetapi ia juga bukan manusia. Ia sendiri tak tahu apa dirinya. Mungkin iblis setengah manusia, atau manusia setengah iblis.
Yang jelas, ia tidak bisa mendekat ke tempat suci.
Petir api mencambuk punggungnya. Setiap kali ia melangkah, petir api itu mendera kulit dan dagingnya.
Itu bukan petir api biasa. Itu adalah petir api Surgawi. Mata awam tidak bisa melihatnya, tidak bisa mendengarnya. Di mata manusia normal, dunia baik-baik saja.
Tetapi Mahanta tidak menyerah. Punggungnya telah tercabik-cabik. Luka terbuka malang melintang, dagingnya yang robek mengucurkan darah. Bahkan tulang-tulangnya remuk. Sakitnya tak tertahankan.
Ini bukan apa-apa. Ia pernah mengalami sejuta kali lebih sakit.
Ia jatuh tersungkur. Kakinya sudah tidak kuat berdiri, tetapi ia masih bisa merangkak, terus berusaha mendekat ke pintu biara. Petir api tidak berhenti menghantam punggungnya.
Ia bukan manusia biasa. Tetapi ia juga tidak lagi memiliki kekuatan penuh iblis. Ia memiliki keterbatasan.
Setiap malam ia kembali. Setiap malam tubuhnya hancur luluh lantak. Setiap malam, ia gagal mendekat.
Di malam kelima sejak ia ke biara, atau malam kesepuluh Murni dikurung, ketika ia baru akan pergi lagi, di dalam sup ia melihat Murni dilepaskan.
Ia tahu Murni pasti datang ke warung. Karena itu, ia bersembunyi, tidak ingin Murni melihatnya dalam keadaan semenyedihkan ini.
Biarlah Murni mengira ia menghilang. Saat kekasihnya dikurung, ia bahkan sama sekali tidak muncul.
Biarlah Murni membencinya. Menganggapnya pengecut. Mengira ia tak peduli padanya.
Dengan sisa-sisa tenaga, Mahanta melangkah pelan ke kamarnya.
Pintu ditutup pelan. Klik.
Ia berjalan ke cermin retak di sudut ruangan. Meja kecil di sampingnya menampung lilin-lilin yang nyaris habis. Ia menyalakan satu. Cahaya temaram itu menari-nari di permukaan kaca, memantulkan siluet tubuh Mahanta dengan samar.
Tubuhnya tetap tegap, langkahnya tetap kokoh, tapi jiwanya koyak. Terbakar oleh kerinduan dan sesuatu yang lebih mematikan: harapan yang ia tahu tak boleh ada.
Ia duduk di kursi, mengembuskan napas panjang. Keheningan yang dulu menenteramkan, kini membuatnya merasa tak berdaya. Punggungnya membungkuk, tangan menggenggam ujung kemejanya.
Dengan gerakan perlahan, ia melepaskan kemeja, lalu melemparkan kemeja yang telah compang camping dan dipenuhi warna merah kehitaman.
Punggungnya telanjang. Dan di sana, dua garis luka membelah dari tulang belikat ke bawah. Bekas luka itu tidak baru, tetapi juga tidak lama. Seperti sesuatu yang terus menerus dibuka, dikorek tanpa sempat mengering.
Ia memandangi bayangan itu.
Bukan luka fisik yang menyakitkan. Melainkan luka batin, yang membusuk diam-diam. Luka karena menahan sesuatu yang ia tak bisa miliki, meski seluruh jiwa merindukannya.
Jemarinya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena dilema yang tak kunjung habis.
Ia telah melihat binar itu di mata Murni.
Binar cinta.
Padahal itu yang ia hindari. Yang ia cegah.
Ia boleh mencintai Murni. Tetapi Murni tidak boleh mencintainya.
“Kau mencintaiku… tapi kau bahkan tak tahu siapa aku.”
Ia memejamkan mata. Murni tak ingat apa pun. Tapi ia ingat segalanya.
Hari-hari penuh darah, malam-malam penuh bisikan larangan, hingga perjumpaan kembali yang membuat dunia bergetar.
Tapi Murni? Dia datang ke warung dengan mata yang jernih, polos, tanpa beban kenangan.
Dia bahkan memperkenalkan diri dengan nama baru. Nama yang diberi oleh manusia. Nama yang suci. Murni.
Dan itu membuat Mahanta semakin tersiksa.
Ia menunggu ratusan tahun, percaya mereka akan dipertemukan lagi. Tapi tidak dengan cara seperti itu. Tidak sebagai seseorang yang telah memilih jalan Tuhan, hidup dalam ikatan yang tak bisa diganggu gugat.
'Kini kau adalah pengantin Tuhan…' bisiknya dalam hati setiap kali Murni datang. Sebuah kalimat pahit yang terpaksa ia telan.
Ia bisa menerima disiksa. Dibuang. Dibenci. Tapi satu hal yang tak bisa ia terima: membuat perempuan itu menderita karena cinta padanya.
Ia tahu… jika Murni melangkah lebih jauh, dunia tidak akan diam. Orang-orang akan mencemooh. Menuding. Mengutuk.
Murni bukan hanya akan kehilangan posisinya… dia akan kehilangan dirinya. Bahkan sudah jelas, akan kembali hancur.
Itu ancaman yang diingatkan kembali oleh tamu wanita yang datang malam itu.
Mahanta tidak bisa membiarkan itu.
Murni, tidak boleh mencintainya.
Karena itu ia bersembunyi. Bukan karena tak mencintai. Sebaliknya, justru karena terlalu mencintai. Terlalu. Amat. Sangat. Mencintai.
Mahanta yakin Murni akan mencarinya, karena itu ia sengaja ‘membuka’ akses ke dapur. Jika tak menemukannya, ia berharap Murni kecewa, marah, lalu kembali ke dunia. Karena itulah yang seharusnya.
“Kau mungkin tidak mengingatku… tapi aku tetap akan menjagamu dari jauh.”
“Biarlah aku mencintaimu dalam diam. Jika hanya itu caranya kau bisa tetap utuh.”
Ia hanya meletakkan satu kuntum bunga lili putih segar di dapur, setelah menciumnya lama sepenuh perasaan.
Karena…
Bunga itu kesukaan Murni.
Itu memiliki makna seperti namanya.
Mahanta berharap, meskipun Murni tidak menemukannya, ketika melihat bunga itu dia akan terhibur.
Ia tidak mengira, ‘takdir’ juga akan membukakan pintu ke dunia lain bagi Murni. Pintu yang akan membawa dia kepadanya.
Dan menemukan kebenaran.