Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 | Ternak Bebek
Mereka melewati beberapa ruangan, hingga akhirnya tiba di ruang kerja tim ekspor, ruangannya nggak begitu luas, sudah tampak terang dengan pencahayaan alami dari jendela besar yang menghadap ke halaman belakang gedung.
“Ini ruangan kita, Pak,” ucap Pak Andi penuh semangat. “Dan ini...” Ia berhenti tepat di dekat jendela besar. “Meja kerja Bapak. Tempat paling terang, biar wajah ganteng Bapak bisa kelihatan jelas sama kami.”
Yuto tersenyum, perlahan mendekat. Sejenak, pandangannya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya tertuju pada meja yang ditunjukkan Pak Andi. Tapi langkahnya terhenti begitu matanya tertuju pada sebuah meja lain yang berada tepat di depannya, dalam posisi menyamping dari mejanya.
Ia langsung tahu, tanpa perlu bertanya, siapa pemilik meja itu.
Pernak-pernik serba bebek yang menumpuk di atas meja membuatnya tak mungkin salah tebak. Ada keyboard putih dengan beberapa keypad berwarna kuning, beberapa berbentuk kepala bebek. Gelas warna kuning bergambar bebek, bersebelahan dengan pulpen-pulpen aneh berkepala bebek yang ditaruh dalam tempat pensil bening. Bahkan mouse pad-nya pun gambar bebek.
Ia melihat sebuah kotak makanan berwarna krem tergeletak di atas meja itu. Tutupnya terbuka sedikit, cukup untuk menampakkan isi dalamnya yang berupa beberapa potong bakwan lengkap dengan cabai rawit.
Ia melirik ke arah Fara yang baru saja masuk bersama Imah dan lainnya, lalu kembali menatap meja itu dengan senyum yang belum reda.
“Pak? Kok bengong?” tegur Pak Andi. “Ini meja Bapak, bukan itu. Kalau itu sih meja si Fara. Ternak bebek dia. Jadi jangan heran kalau banyak ternaknya di atas meja.”
Yuto tersenyum kecil sambil mengangguk dan lekas melangkah menuju mejanya. Ia mulai mengeluarkan laptop dari dalam tas, menyalakannya. Satu per satu email dari kantor Tokyo mulai berdatangan.
Di sekelilingnya, anggota tim juga mulai sibuk di meja masing-masing.
Pak Andi berdiri di meja ujung, berbicara di telepon membahas opsi pengiriman dengan agen pelayaran alternatif. Sesekali ia mencatat sesuatu di buku catatannya yang penuh dengan coretan.
Bu Lia duduk dengan posisi tegak, membuka file laporan batch produksi, mulai membandingkannya dengan hasil inspeksi lapangan. Ia tampak fokus kali, hanya sesekali berdeham kecil sambil mengetik data.
Sisi dan Imah tampak duduk berdampingan, membahas desain grafis di layar komputer. Sisi menunjukkan revisi terbaru poster promosi digital sambil memutar video preview, sedangkan Imah sesekali memberi masukan sambil mengelola dokumen invoice yang harus dikirim hari itu.
Fara… seperti biasa yang selama ini dia lakukan di sana, sudah menyalakan musik pelan dari earphone-nya, memilih lagu ballad dari EXO, boyband favoritnya, sambil menatap layar laptop dengan alis sedikit berkerut. Tangannya sibuk menyusun urutan storyboard, sementara sticky notes warna kuning menghiasi pinggiran monitornya. Kotak bakwan di atas mejanya belum tersentuh lagi, mungkin masih menunggu jam istirahat.
Yuto memandangi sekeliling ruangan. Suasana kerja di tim ekspor ini terasa hidup, tapi tidak berisik. Semua bergerak sesuai tugasnya masing-masing.
Ia menarik napas pendek dan mulai mengetik, membalas email dari kantor Tokyo yang menanyakan jadwal kirim batch produk berikutnya, lalu membuka laporan kualitas yang dikirim Bu Lia via Google Drive. Ia menambahkan komentar langsung di file itu, menandai bagian-bagian yang butuh evaluasi lanjutan.
Pintu ruang kerja mereka diketuk seseorang, yang sedetik kemudian seorang wanita paruh baya tampak melangkah masuk, sudah tersenyum lebar kepada Yuto.
“Peluk dulu, dong… tadi pagi Onti nggak sempat ketemu sama Yuto.”
Itu Endah, tantenya Yuto, istri Yuki si kepala cabang. Endah juga bekerja di sana sebagai Manager Pemasaran.
Yuto bangkit dari duduknya, lekas memeluk Onti-nya. Tak hanya sebagai Onti, dulu, sebelum Endah menikah dengan Yuki, Endah adalah sahabat ibunya hingga akhirnya Endah menikah dengan Yuki, adik ibunya.
“Tadi waktu Yuto ke rumah, kata Esha, Onti lagi ke kedai Kek Fuad,” kata Yuto dalam pelukan mereka.
“Iya, tadi Onti beli telur. Soalnya si Esha Onti suruh gamau. Om Yuki lagi repot kali ngurus lukisannya, nggak bisa diganggu.” Esha anak Endah dan Yuki. Ada satu lagi anak mereka, namanya Yumi dan saat ini sedang berkuliah di Kyoto bersama Dava, adik Yuto.
Saat Yuto masih melepas rindu dengan tantenya, diam-diam Fara memperhatikan mereka. Ada rasa iri melihat kedekatan mereka, seakan hal seperti itu adalah hal yang sulit untuk Fara rasakan.
Ia… ingin sekali merasakan itu. Dipeluk seseorang. Tapi, keadaan membuatnya sulit untuk mendapatkan pelukan.
Mengapa sulit? Bukankah dia anak bontot? Orang tuanya juga masih ada. Bukankah anak bontot selalu dimanja?
Tidak. Meski bontot, Fara justru memeluk lukanya sendiri. Dimanja? Yang dimanja malah bukan dirinya, melainkan Shella, kakaknya yang sudah berumah tangga dan kini menetap di Bandung, ikut sang suami.
Fara tersenyum kecut dan kembali fokus pada pekerjaannya. Menelan kekecewaan sudah menjadi santapannya setiap hari. Tapi bukan berarti ia tidak senang melihat momen bahagia orang. Dia justru merasa senang. Bahkan ia pernah berpikir, tak masalah jika hanya dirinya yang merasakan kekecewaan seperti ini, karena ia sudah terbiasa dan orang-orang di sekitarnya belum tentu mampu menghadapinya.
Endah melepaskan pelukannya dari Yuto, mengusap lengan keponakannya dengan lembut, lalu matanya melirik cepat ke sekeliling ruangan, hingga pandangannya berhenti pada sosok Fara yang berusaha sibuk di depan layar komputer.
Senyum Endah mengembang. Ia melangkah ringan ke arah meja Fara, tanpa basa-basi menepuk pelan bahu gadis gemoy itu.
“Fara, bawa bakwan lagi? Nggak bosan?”
Fara tersentak kecil, lalu tersenyum malu. “Ganti-ganti sayurnya, Bu...”
Selama di kantor Fara memang akan memanggilnya Ibu. Jika tidak di kantor, tentu memanggil Onti seperti Yuto tadi.
“Memangnya kemarin sayurnya apa dan hari ini apa?” Cara Endah bertanya tampak jelas kalau dia gemas kali dengan Fara.
Fara menjawab, “Kemarin kol sama wortel, hari ini jagung sama kornet, Bu…” Lalu dia tertawa kecil, merasa canggung, dan menunduk sedikit.
Endah dan Yuto tertawa pelan, begitu juga semua staf yang ada di sana.
Tanpa bertanya lagi, Endah membuka tas jinjingnya yang dari tadi menggantung di pundak dan mengeluarkan sebungkus risol goreng. “Nih, cobain risol mayo buatan Onti. Itu mayo-nya pakai thousand island, mustard, lada, saus cabe, minyak wijen, sama kecap ikan. Langsung Onti campur sama sosis dan telur yang udah Onti orak-arik.” Endah cepat-cepat menambahkan. “Onti tahu Fara suka masak, kan? Makanya Onti kasih tahu resepnya. Kalau suka, bisa dicoba di rumah.”
Senyum Fara merekah sambil meraih risol dari tangan Endah, lalu mengatakan, “Makasih, Bu…”
Endah hanya tertawa ringan, melirik Yuto yang kini kembali duduk di kursinya, lalu kembali menatap Fara.
Diam-diam Yuto mencuri pandang ke arah mereka. Tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang menghangat di dadanya saat melihat Fara tersenyum kecil kepada Ontinya, dan dia juga merasa senang, melihat bahwa ternyata Fara begitu diperhatikan oleh Ontinya.
.
.
.
.
.
Continued...
.
.
.
Jangan lupa like, komen, dan follow ya kakak...
Maaciw!