"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Langkah kaki Lingga dan Mitha semakin dekat dengan batas desa Jarwadhi. Pepohonan mulai jarang, digantikan oleh rumah-rumah kayu sederhana yang mulai terlihat. Suara ayam berkokok dan denting alat pertanian terdengar samar-samar dari kejauhan. Aroma tanah dan kayu bakar perlahan menguar menyambut pagi yang kian terang.
"Kalau dilihat-lihat, desa ini cukup besar yah... mirip kota kecil," ucap Lingga tiba-tiba seraya memandang ke arah sekeliling.
Mitha menoleh dengan senyum manis yang tersungging. "Yah, begitulah. Suasananya juga cukup damai. Namun, kalau aku boleh bilang... suasananya tak sedamai yang terlihat."
"Apa maksudmu?" tanya Lingga seraya menyipitkan kedua matanya. Penasaran dengan ucapan Mitha.
Mitha hanya tersenyum penuh maksud tersembunyi dan tak menjawab pertanyaan Lingga.
Namun sebelum mereka benar-benar menapakkan kaki di jalan utama desa, langkah mereka terhenti.
Seorang pria bertubuh kekar berdiri menghadang di tengah jalan tanah. Ia bertelanjang dada, tubuhnya penuh guratan otot dan luka lama. Rambut panjangnya diikat ke belakang dengan kain merah pudar, wajahnya keras, dagunya berjenggot tipis dan sorot matanya tajam seperti elang yang menilai mangsanya. Ia memakai celana hitam yang dibalut kain mirip batik berwarna kecoklatan. Di pinggangnya tergantung pisau kecil, tampak lebih sebagai simbol dominasi daripada alat berguna.
"Mitha…" suara pria itu dalam dan tajam.
Ia menunjuk Lingga tanpa basa-basi. "Aku mencarimu sedari tadi! Tapi, sekarang kau malah datang bersama seorang pria misterius! Siapa dia?!"
Nada suaranya penuh curiga, bahkan marah.
Mitha mendesah pelan, jelas tidak terkejut. Ia sudah menduga pertemuan ini.
"Antawirya… kumohon jangan mulai lagi. Kami cuma lewat." jawab Mitha, mencoba tetap tenang. "Lagipula bukan urusanmu kalu aku sedang bersama siapapun!"
Lingga melirik ke arah Mitha, lalu membisik, "Mitha, siapa dia sebenarnya?"
Mitha menoleh sedikit, suaranya nyaris tak terdengar. "Namanya Antawirya. Anak kepala desa. Dia…" Mitha menarik napas sejenak. "…orang yang terus mengejarku. Terobsesi ingin memiliki dan menikahiku."
Lingga mengangguk pelan, memahami situasinya. Ketegangan mulai terasa di udara, seperti udara sebelum badai.
"Hei pemuda! Kau pikir kamu siapa bisa berjalan santai dengan Mitha begitu saja?" Wirya melangkah maju. Matanya memicing penuh api kemurkaan.
Mitha segera menarik tangan Lingga, "Ayo, kita jalan saja. Jangan diladeni."
Namun Wirya tak tinggal diam. Dengan kasar, ia mencengkeram pundak Lingga dari belakang.
"Jawab, bajingan! Siapa kau sebenarnya?!"
Refleks, Lingga menepis tangan itu keras. Tubuh Wirya terhuyung sedikit.
"Jangan sentuh aku." ucap Lingga, tenang namun tegas. "Kau tidak berhak memperlakukan orang seperti itu. Apalagi orang yang tak mengenalmu!"
Sorot mata Lingga berubah. Tidak ada lagi keramahan. Ada bara di balik ketenangannya.
"Kau pikir bisa sok jagoan di sini?" hardik Wirya.
Dan sebelum ada yang sempat mencegah, Wirya mengayunkan tinjunya ke wajah Lingga.
Bughh!
Satu pukulan keras mendarat di pipi Lingga, membuatnya sedikit mundur. Tapi Lingga bukan orang yang lemah.
"Bangsat!" teriak Lingga. Ia langsung membalas. Tinju kanannya menghantam rahang kiri Wirya dengan cepat dan penuh tenaga.
DUGHH!
Wirya terhuyung mundur beberapa langkah, menahan rasa sakit sambil meludahkan darah dari bibir pecahnya.
"Berani juga kau, bajingan!" hardik Wirya dengan tampang angkuh.
Suara orang-orang mulai terdengar. Beberapa warga desa berlarian mendekat, membentuk kerumunan di pinggiran jalan.
"Astagaaa, ada apa ini?"
"Antawirya berkelahi lagi?"
"Duh, anak itu... lagi-lagi dia berbuat ulah!"
Lalu, dari balik kerumunan, muncul seorang lelaki tua. Jubah putihnya mengalir mengikuti langkah pelan namun tegas. Rambutnya memutih sepenuhnya, digelung tinggi mirip puncak stupa. Tongkat kayu cendana ada di tangannya, tapi tidak tampak dibutuhkan untuk berjalan.
"Cukup! Hentikan!"
***