"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Kilatan petir membelah langit di atas istana Agniamartha, diiringi gemuruh halilintar yang menggetarkan menara-menara batu purba. Hujan turun deras, menampar jendela-jendela kaca berbingkai ukiran naga dan garuda. Di dalam aula utama istana, suasana tak kalah mencekam dari cuaca di luar.
Ratu Kadita Sakahiyang berdiri tegak di atas singgasananya yang terbuat dari batu obsidian dan ukiran permata merah. Mata tajamnya bersinar seperti bara api, menyapu seluruh aula, mengabaikan para penjaga yang menunduk dengan tubuh gemetar.
"LIRA!" seru Ratu dengan suara menggema. Nada suaranya membelah udara seperti cambuk halus, penuh ancaman.
Lira melangkah masuk dari pintu timur aula, langkahnya ringan tapi hati berdegup tak beraturan. Ia tahu saat sang ratu memanggil dengan nada seperti itu, tak ada yang baik akan terjadi.
"Paduka memanggil hamba?" Lira berlutut dengan satu tangan menempel di dada.
Kadita memutar tubuhnya perlahan, jubah hitam kebesarannya mengepak seperti sayap kelelawar raksasa. Ia menatap lurus ke arah Lira, matanya menyala dalam kemarahan yang ditahan.
"Apakah Lingga sudah ditemukan?"
Lira mengangkat wajahnya sedikit. "Ishika telah mengerahkan seluruh ilmunya, Paduka. Tapi... hingga kini belum ada jejak. Dunia ini terlalu luas, bahkan bagi pembunuh bayaran sekelas Ishika."
Seketika, aura panas menjalar dari singgasana. Udara di aula mengering. Api di obor yang tergantung meredup sejenak lalu berkobar dua kali lipat lebih besar.
"Kalau begitu, aku ubah perintahku," ujar Kadita, suaranya rendah tapi tegas. "Temukan Lingga. Dan jika kau menemukannya... bunuh dia."
Lira membeku. Matanya membesar sedikit, namun ia segera menunduk lagi. "Hamba... mengerti."
Namun di balik kepala yang tertunduk, pikirannya berkecamuk. Apa yang terjadi dengan Ratu? Bukankah dua hari lalu beliau berkata membiarkan Lingga pergi? Kenapa sekarang... berubah drastis?
Kadita berdiri, membalikkan punggungnya dan melangkah menuju jendela kaca patri berwarna merah darah. Matanya menatap ke luar, ke pekatnya malam dan hujan deras yang terus mengguyur halaman istana.
"Keluar, Lira. Aku tak ingin mendengar alasan."
"Hamba mohon diri, Paduka." Lira bangkit dan melangkah cepat, tak ingin menyulut kemarahan lebih lanjut.
Begitu pintu aula tertutup kembali, Kadita memejamkan mata. Bibirnya bergetar menahan kutuk, kedua tangannya mengepal di balik jubah.
"Berani-beraninya dia..." batinnya. "Masuk ke ruang penyimpanan... mencuri tanpa jejak. Jubah itu... dan emas-emasku... tak mungkin hilang tanpa campur tangan orang dalam."
Kilatan petir lain menyambar langit. Suara guntur membaur dengan lolongan angin yang menerobos celah menara. Tapi suara itu tak sebanding dengan gejolak dalam diri Kadita.
Di balik pilar-pilar batu raksasa yang menopang aula, di sudut tergelap istana, sesosok bayangan tak kasat mata melayang tenang. Dia adalah Salma, roh penjaga ruang bawah tanah—yang beberapa malam lalu membantu Lingga melarikan diri lewat terowongan rahasia.
Salma mengamati ratu dengan sorot penasaran di matanya yang berpendar biru lembut. Ia bisa merasakan kekacauan dalam jiwa Kadita, namun tak sepenuhnya memahami alasan sebenarnya.
"Kenapa sekarang dia ingin Lingga mati? Padahal dialah yang memanggil Lingga ke dunia ini... Lagipula, Lingga tak tahu apa-apa. Dasar ratu bengis!" Salma membatin, tubuh halusnya melayang setengah transparan di balik tirai bayangan.
Tiba-tiba, Kadita berbalik, seolah menyadari sesuatu. Matanya menyapu ke arah tempat Salma berada. Roh itu membeku, walau ia tahu tak sembarang mata bisa melihatnya.
Kadita bergumam lirih, "Siapa di sana?"
Tak ada jawaban.
Kadita mengepalkan tangan. Aura sihirnya melonjak seketika, membentuk pusaran panas di sekeliling tubuhnya.
Salma memilih mundur pelan, menjauh dari area utama aula, menyelinap masuk kembali ke dinding-dinding batu kuno. Sebelum menghilang sepenuhnya, ia sempat menatap ke langit yang gelap dari celah dinding istana, membatin:
"Lingga... cepatlah temukan kekuatanmu. Waktumu tak banyak. Sang ratu... mungkin akan membahayakanmu!"
*
Langit di atas Istana Agniamartha membentang kelam, dihiasi gurat merah pucat dari bulan yang menggantung tak wajar. Udara malam menebar hawa ganjil—seolah para arwah leluhur menahan napas mereka.
Lira melangkah cepat melewati pilar-pilar batu di halaman istana. Di balik ketegasannya, pikirannya kacau. Kata-kata Ratu Kadita tadi masih menggema kuat.
"Temukan dia... dan bunuh."
Bunuh Lingga? Tapi mengapa? Bukankah sebelumnya... beliau sendiri berkata, biarkan dia pergi?
Lira menggigit bibirnya, menahan gejolak emosi yang belum sempat ia pahami. Kakinya membawanya ke sisi luar tembok istana, ke area pelatihan pengintai, di mana Ishika menunggunya. Sosok berjubah kelam itu berdiri diam di bawah pohon Kamalasa yang menghitam terkena kutukan masa lalu.
"Guru," sapa Ishika begitu Lira mendekat. Suaranya datar, namun nadanya menyiratkan kegelisahan. "Apakah kau berhasil menemui Ratu?"
Lira mengangguk singkat. "Kadita memerintah... untuk membunuh Lingga bila kita menemukannya."
Ishika mengangkat alis. "Membunuh?" Ia menunduk sesaat, lalu kembali menatap Lira. "Maaf, Guru... bukankah sebelumnya beliau sendiri mengatakan agar kita membiarkan pria itu pergi dan tidak perlu dicari?"
"Itulah yang membuatku tak tenang..." bisik Lira, pandangannya menerobos ke kegelapan pepohonan. "Ada sesuatu yang berubah dari beliau. Tatapannya malam ini... tajam dan penuh murka."
Ishika menoleh pelan ke arah istana. "Apakah kau tahu penyebabnya?"
Lira menggeleng. "Tidak ada yang pasti. Tapi kudengar desas-desus di dapur istana—ada barang-barang di ruang penyimpanan harta istana yang hilang. Mungkin... Kadita mengira Lingga pelakunya."
Ishika terdiam beberapa detik. Lalu ia menghela napas berat. "Lalu apa rencanamu, Guru?"
"Aku akan patuh... sejauh yang kubisa." Lira menatap Ishika. "Tapi jika benar-benar bertemu dengan Lingga, aku ingin bicara dengannya dulu. Menanyai. Menatap matanya... sebelum menebas lehernya."
Ishika memiringkan kepalanya sedikit. "Itu... bisa dianggap pembangkangan terhadap perintah langsung Ratu."
"Aku tahu," jawab Lira tegas. "Tapi aku tak akan membunuh seseorang hanya karena firasat atau kemarahan. Jika dia memang bersalah, aku sendiri yang akan menuntaskan tugas itu."
Ishika menunduk hormat. "Aku akan mengikutimu, Guru. Tapi izinkan aku memberi saran... Jika malam ini benar-benar berubah darah, sebaiknya kita tak bergerak terlalu jauh. Aku mencium aura lain di sekitar istana. Ada sesuatu... atau seseorang... yang mengintai."
Lira menajamkan indra magisnya. Sekilas, ia merasakan desiran energi tua dari arah sumur tua yang terlarang. Namun ketika ia mencoba mengaitkan sihir pelacak, jejak itu lenyap seperti asap disapu angin.
"Roh..." gumamnya. "Atau... sesuatu yang lebih tua."
Di tempat lain, jauh di dalam ruang bawah tanah yang tersegel, sesosok kabur melayang pelan. Salma, sang roh penjaga, mengamati dari balik dinding gaibnya.
"Jadi ini murkamu, Kadita..." bisiknya. "Kemarahanmu mengaburkan hati, membuatmu lupa siapa musuh sesungguhnya... dan siapa yang harus dijaga."
Ia menatap ke atas, ke arah aula tempat Ratu Kadita baru saja menyampaikan titahnya. Lalu ia membelokkan arah, menatap ke timur—arah di mana ia terakhir kali melihat Lingga lenyap bersama kabut.
"Bersiaplah, Lingga. Dunia ini tak akan berdamai denganmu... kecuali kau berdiri di atas kekuatanmu sendiri."
***