NovelToon NovelToon
PICCOLA PERDUTA

PICCOLA PERDUTA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dark Romance
Popularitas:30.4k
Nilai: 5
Nama Author: Vebi Gusriyeni

‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️

Series #3

Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.

Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.

Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.

Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 : Keyakinan Dia Ada di Hutan Itu

...•••Selamat Membaca•••...

Maula yang yakin bahwa Rayden datang justru dipatahkan oleh Rachell.

“Pasti itu helikopter milik Mavros, kamu mau dia bawa kamu?” Maula terhenti sejenak.

“Mungkin saja bukan, mana tahu itu suamiku,” kelah Maula.

“Mau, benar apa kata Rachell, soalnya yang berencana untuk pergi dengan helikopter hanya Mavros dan Anna.” Maula berlutut, dia menangis karena begitu merindukan Rayden. Sofia ikut berlutut dan menangkup wajah sahabatnya.

“Dengar, kemarin Reba sudah pergi ke atas bukit di sekitar hutan ini. Bukit itu cukup pas untuk kita mengirim sinyal bantuan. Lebih baik kita tunggu saja sinyal dari Reba ya,” kata Sofia menenangkan.

“Reba masih hidup?”

“Iya Maula, Reba masih hidup dan dia menuju bukit sore kemarin. Sebenarnya, waktu kamu pingsan, Reba dan Anna bertengkar mengenai Nicholle. Reba memilih untuk pergi mencari bantuan ke puncak bukit sendirian, kami masih di sini karena Reba bilang ada yang aneh dengan Anna. Sekarang kita akan menuju arah tempat di mana Reba sekarang,” tutur Rachell dengan tepat.

Flashback Sore Kemarin...

“Kau meninggalkan Nicholle begitu saja, kau yang berlari dengannya, tidak mungkin kalau kau tidak tahu, Anna,” hardik Reba pada Anna.

“Aku benar-benar tidak tahu, dia berlari di belakangku dan aku tidak peduli apapun karena memikirkan keselamatan diriku sendiri. Apa itu salah?”

“Jelas salah. Aku yakin kalau kau tahu apa yang terjadi pada Nicholle.”

“Terserah, aku tidak peduli mau kau percaya atau tidak. Yang pasti, aku tidak mengetahui apapun.”

“Sudah, lebih baik kita fokus pada keselamatan kita sendiri.” Rachell memisahkan mereka dan menarik Reba menjauh.

Saat tidak ada siapa pun, Rachell berkata, “Aku merasa ada yang aneh dengan Anna dan Mavros, selama kita di desa ini, mereka seakan menyodorkan kita pada kanibal itu. Aku tidak mau menuduh, ada baiknya kita lebih berjaga dari mereka.”

“Aku juga merasakan hal yang sama, begini saja, tetaplah kalian di sini dan aku akan ke atas bukit waktu itu untuk memberikan sinyal bantuan. Mana tau ada pesawat militer atau apapun itu yang bisa membantu kita. Kita tidak bisa di sini lama-lama.” Rachell memegang kedua bahu Reba.

“Kau yakin?”

“Aku yakin, jika nanti kanibal itu datang lagi, aku akan coba melawan. Aku memegang pisau dan scalpel milik Maula juga.”

“Hati-hati, bagaimana kami tahu kalau bantuan datang?”

“Mungkin kalian akan mendengar suara tembakan atau apapun, yang jelas, aku harus memberi sinyal.”

“Tapi ini sudah mau malam.”

“Biarkan saja, aku tidak takut.”

“Kalau begitu hati-hati.”

Flashback Off

“Dari semalam Reba pergi dan kita tidak tahu dia masih hidup atau tidak,” keluh Maula.

“Kita berusaha dan ada baiknya kita langsung ke bukit itu.” Maula mengangguk mendengar perkataan Rachell.

Mereka melanjutkan langkah menuju ke bukit tempat saat Maula jatuh malam itu. Kondisi mereka saat ini jauh dari kata baik, secara, mereka tidak makan apapun dari kemarin ditangkap para kanibal.

Sisi lain hutan, Anna dan Mavros sedikit kaget mendengar suara deru helikopter.

“Secepat itu mereka datang?” tanya Anna heran.

“Ya mungkin mereka ada di sekitar sini, ayo kita lihat ke sana.” Anna berusaha bangun dengan kondisi babak belur, begitu juga dengan Mavros.

Mereka berdua berjalan mendekati bunyi helikopter sedangkan Maula dan yang lain justru menjauh dari sana.

...***...

Rayden, Advait, Ford, dan anggota mereka yang lain siap dengan senjata menyusuri hutan tersebut. Sejauh ini masih aman dan belum ada tanda-tanda bahwa para kanibal muncul.

Mereka menajamkan indera penciuman, pendengaran, serta penglihatan untuk mencari keberadaan manusia.

Matahari sudah menampakkan diri, cahayanya mulai masuk dan menerangi hutan yang lebat itu, hanya saja tak sepenuhnya karena pepohonan dengan daun yang rimbun tetap menghalangi cahaya matahari untuk masuk.

Rayden dan timnya terus menelusuri hutan hingga beberapa anak panah mulai menghujani dan mereka berlindung dan merunduk di balik akar pohon kapok yang menonjol, napasnya tertahan.

Desing anak panah masih menggantung di udara, menyisakan bau getah dan serbuk mesiu dari senjata tim yang baru saja membalas dengan tembakan terkendali. Di sampingnya, Advait berisyarat tiga jari, tiga penyerang di arahkan ke arah jam dua belas. Ford mengangguk, menyiapkan peluru berujung baja. Hutan ini seakan hidup, memuntahkan suara gemerisik yang sulit dibedakan antara gesekan daun atau langkah kanibal yang mengintai.

Rayden menajamkan pendengaran. Di belakang lapisan dedaunan, ia menangkap dengus napas pendek, lalu derak dahan patah. Ia mengangkat tangan, memberi aba-aba “diam”. Tim kompak menahan posisi.

Terlihat sekelebat sosok bertelanjang dada, kulitnya dilumuri abu, rambut dicampur bulu unggas. Sosok itu berjongkok, menarik busur lagi. Rayden menunggu sepersekian detik, lalu menembakkan satu peluru senyap yang mengenai bahu. Sosok itu terhuyung, panah meleset, hanya mencabik lengan Ford sekilas.

Ford menekan darah dengan kain steril. “Racun?” tanya Rayden singkat, Ford mengangguk karena lengannya langsung membiru.

Ford menggigit bibir, membiarkan Advait menorehkan pisau tipis, menyedot racun dangkal, lalu menempelkan salep chelator yang sudah dipersiapkan. Semua gerak dilakukan tenang, nyaris tanpa suara.

Mereka kembali maju perlahan, formasi segitiga terbuka. Rayden di depan, ujung larasnya menyibak pakis yang berembun. Setiap langkah diukur; ranting yang patah bisa berarti sergapan panah lagi. Matahari merayap lebih tinggi, namun lantai hutan tetap remang. Kabut tipis bagai tirai, membelokkan sinar jadi corak keperakan.

Setengah jam kemudian, mereka menemukan jejak sepatu perempuan, bekas lumpur kering di atas daun pisang rebah. Di sampingnya, sehelai kain kasa bernoda darah cokelat, dilipat rapi seolah diletakkan sengaja. Rayden memeriksa dan bau khas antiseptik ringan yang biasa dipakai oleh rombongan Maula.

Dadanya mengencang, tetapi ia memaksa diri tetap rasional. “Ini baru kemarin sore,” gumamnya. Semangat tim kembali terangkat, jejak menunjukkan kalau rombongan kedokteran itu memang di sini dan masih bergerak, masih bertahan.

Tiba-tiba, lolongan rendah menggema. Bukan binatang, terdengar manusia, bertalu-talu, seakan aba-aba. Rayden berjongkok di balik rumpun bambu liar saat belasan kanibal menyebar di lereng kecil di depan. Masing-masing memegang tombak runcing, beberapa mengenakan kalung tulang jari manusia.

Mereka berbicara dalam dialek gagap, memberi isyarat tangan ke arah bukit utara, bukit yang sama yang disebut Sofia.

Kali ini, Maula dan tiga lainnya menuju arah yang salah, sedangkan Anna dan Mavrov menuju ke arah Rayden.

Rayden menilai cepat. “Mereka patroli. Target kita di bukit itu,” bisiknya. Advait mengeluarkan granat flashbang, tapi Rayden menggeleng. Ledakan akan menarik kawanan lebih besar. Ia memilih jalur memutar, menurun ke lembah sebelum naik lewat punggung bukit lain, memanfaatkan suara air terjun kecil sebagai kedok.

Perjalanan menanjak memeras tenaga. Tanah liat licin, akar terjal, dan serabut sulur menjerat kaki. Beberapa kali Rayden berhenti, membiarkan detak jantungnya selaras dengan alam. Di depan, Ford meletakkan penanda fosfor di batang pohon, jejak pulang bila keadaan memaksa mundur.

Saat puncak bukit mulai terlihat —lapang batu karang ditaburi lumut. Rayden mencium bau asap tipis. Ia merayap di bibir lereng, mengintip. Sebuah lingkaran batu dengan tanda bakaran baru; arang masih hangat. Di tengahnya tertancap batang bambu tinggi, di ujungnya terikat sehelai jaket medis, jaket milik Reba. Di bawah tiang, coretan darah membentuk simbol silang diagonal, tebal dan baru mengering.

Seketika, tembakan meletus dari lereng seberang. Ford terjerembap, helmnya terhantam peluru besi cor, beruntung hanya penyok, bukan tembus. Rayden dan Advait meluncur ke balik batu, membalas tembakan ke arah kilatan laras musuh. Denting peluru memantul ke karang, memekakkan telinga.

Perang singkat itu berhenti mendadak. Kanibal penembak ternyata menggunakan karabin tua terbaring tak bergerak. Tetapi sorakan tak jauh bergulung, seperti gelombang suporter haus darah. Dari balik pepohonan, muncul gerobak kayu didorong dua pemuda kanibal.

Di atasnya, tergeletak seorang wanita dengan perban leher kendur—Reba. Perutnya bergerak lemah, matanya terbelalak nanar.

Rayden menahan napas, menimbang, dia semakin yakin bahwa Maula ada di sini.

“Reba,” lirihnya.

Dengan menyelamatkan Reba berarti membuka posisi. Namun Reba bisa menyimpan informasi krusial. Ia menarik napas dalam, memutuskan. “Cover!” serunya.

Advait menembakkan tirai asap. Rayden berlari melintasi lapang, peluru musuh melewati kepul asap, menancap ke tanah sekitar. Ia tiba di gerobak, mengangkat Reba ke bahu, lalu mundur zig-zag.

“Reba, bertahanlah, ini aku, Rayden.” Reba mencoba membuka mata.

“Kami... butuh... bantuan, Ray.”

“Iya. Tetaplah sadar.”

Di balik perlindungan batu besar, Rayden menaruh Reba, Ford menekan luka Reba yang menganga di paha.

Reba meringis. “Maula… di arah timur… gua kapur… ada lorong…” katanya terputus-putus.

...•••Bersambung•••...

1
Latoya
hebat
Frizzy Danuella
Wow amazing thor
Frizzy Danuella
Angkat aku jadi cucumu juga nena
Blade Haruna
Akhirnya hukuman mereka ditetapkan juga, ini nih yg gue suka. Satu masalah selesai baru datang masalah baru, bukan malah belibet yg bikin pala gue makin pusing
Zenia Kamari
Confess sekarang apa gue cepuin lo
Zenia Kamari
gue nonis, tpi gue suka banget sama karya religi kakak ini
Zayana Qyu Calista
sungkem gue ama lo kak
Zayana Qyu Calista
Gue kebagian cucu angkat juga gpp deh, asal neneknya kayak eliza ini
Rihana👒
Saya support kalau memang sofia sama advait
Rihana👒
Begini kalau dapat cinta yang setara, mereka saling jaga
Rihana👒
Thor, bikin novel religi versi kamu lagi dong, saya mau baca dan jangan lupa untuk ilmu pengetahuannya. Ditunggu ya thor (sangat berharap)
Pesillia Lilian
asik tuh klau advait sama Sofia, bakalan besty selamanya Maula
Pesillia Lilian
Author terniat
Miyoji Sweetes
Ngomong jgn dlam hati Advait, ngomong langsung elaahh
Miyoji Sweetes
Seniat itu ya thor🔥🔥🔥
Cherry Berry
Advait kalo gak gercep ya alamat bakalan patah hati
Pedri Alfonso
ini keren banget
Putri vanesa
Kk berapa lama smpe bisa bikin cerita ini sereal mungkin, entah ini memang real life or imagination aku pribadi bukan kyak ngebaca dosng tpi kyak udah nnton ceritanya langsung dalam byang2an fikiran aku, karena emang sedetail itu ceritanyaaa, ini mah kudu di jdiin film sih rame bnget soalnya
Sadohil: setuju banget
Zenia Kamari: Terbaik ini karya
total 5 replies
🐱Pushi Cat🐱
Keren, gak pernah gagal kakak ini masalah detail, baik kedokteran, agama maupun hukum. Pantesan penulis pada bilang kalau menulis bukan hanya tentang merangkai kata
Putri vanesa
SemangatAdvait kita dukung dirinu dan Sofia menuju jannah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!