"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 19
"Kamu gila, Yohana! Kamu nggak masuk akal!" seru Yoga, suaranya meninggi. "Mana mungkin Dika yang mencurinya?!"
Yohana tetap tenang. Ia memiringkan kepala sedikit, seperti hendak mengajari murid yang keras kepala.
"Oke. Sekarang, menurutmu lebih masuk akal mana: menuduh Rojali… atau Dika?"
Rojali mengangkat alis, memperhatikan dengan seksama. Dalam hati ia bergumam, “Perempuan ini pintar menjebak lewat pertanyaan. Bukan kaleng-kaleng.”
"Jelas Rojali," jawab Yoga cepat. "Dia orang baru. Dan yang lebih penting… dia anak buah Harsono."
Rojali hanya menyipitkan mata. Ia tidak perlu membela diri, karena Yohana sudah mengambil alih pertempuran.
"Dia tidak tahu bentuk barangnya. Tidak tahu lokasi penyimpanan. Bahkan tidak tahu jumlah baja beton kita," ucap Yohana datar. "Sedangkan Dika..."
Tatapannya menusuk.
"Dika membuat pernyataan yang tidak konsisten sejak awal."
Andika mulai menunjukkan ketegangan. Tapi dia mencoba melawan.
"Ibu… jangan menuduh saya tanpa bukti!" suaranya mulai naik.
Rojali menatapnya dengan ekspresi santai tapi penuh minat. Pertunjukan ini semakin menarik.
"Kalau begitu..." ucap Yohana pelan, "Kamu punya bukti kalau Rojali yang mencuri?"
Hening sesaat.
"Kamu melihat dengan mata kepala sendiri dia mencuri?"
Andika menggeleng cepat, lalu berseru, "Tapi dia anak buah Harsono! Sudah jelas dia pengacau, Bu!"
"Iya, dia orang pertama yang kami curigai!" sela Yoga. "Kejujuran Dika sudah teruji. Dia karyawan pertama di proyek ini!"
Yohana mendekat selangkah. Tatapannya menusuk Andika.
"Kamu tahu dari mana kalau Rojali anak buah Harsono?"
Andika langsung menjawab, "Karena semalam saya lihat dia keluar dari rumah Harsono. Tidak sembarangan orang bisa masuk rumah itu. Kalau bukan keluarga, ya pasti orang dalam."
Yohana mengangguk kecil. Lalu bertanya:
"Kapan kamu melihat dia?"
"Semalam, Bu."
"Kamu yakin melihat sendiri?"
"Iya! Saya lihat sendiri!" jawab Andika dengan bangga, mulai percaya diri lagi.
Yohana tersenyum samar. "Hebat sekali kamu, Dika."
Andika membusungkan dada. "Tentu saja Bu. Saya ini karyawan teladan!"
Yohana menatap lurus ke matanya.
"Ya, kamu memang hebat... Bisa berada di dua tempat sekaligus. Di rumah Harsono, dan di gudang penyimpanan pada waktu yang sama."
Jebakan mental itu menjerat tepat sasaran.
Semua orang menoleh ke Andika. Wajahnya membeku.
Yohana melangkah pelan ke tengah ruangan. Suaranya tenang, tapi seperti pisau bedah—dingin, presisi, dan tanpa ampun.
"Karakter seseorang ditentukan oleh konsistensi dalam tindakan dan ucapan."
"Rojali dari awal konsisten. Dia tidak tahu apa-apa soal proyek ini. Dia bahkan tidak tahu letak gudang."
"Sedangkan kamu, Dika... kamu terlalu banyak tahu. Tapi tidak bisa mengatur kebohonganmu sendiri."
Andika mundur selangkah. Wajahnya kini pucat.
Yohana mengangkat dagunya sedikit. Tatapannya seperti vonis dari hakim agung.
"Kamu pembohong. Kamu licik. Dan kamu… pembuat kekacauan."
"Aku putuskan… kamulah pencurinya."
..
"Ibu tidak bisa menuduh saya tanpa bukti!" seru Andika, nada suaranya meninggi, mulai kehilangan kendali.
"Benar itu," tambah Yoga cepat, "Paman Hermawan sangat tidak suka orang yang berlaku tidak adil."
Yohana menoleh. Tatapannya tajam, dingin.
"Oh, jadi begini aturannya menurut kalian: aku tidak boleh menuduh kalian tanpa bukti, tapi kalian boleh bebas menuduh Rojali hanya karena dia orang baru?"
Yoga menggertakkan gigi. "Yohana, kamu ini nggak masuk akal!" bentaknya.
"Akan aku laporkan kamu ke Paman Hermawan karena sudah menuduh orang sembarangan tanpa bukti!"
Yohana mengangkat tangannya, menghentikan omongan Yoga. Suaranya tegas dan menggema:
"Cukup, Yoga!"
"Sekarang aku beri dua pilihan—kamu dan Dika pergi dari proyek ini… atau kalian berdua akan kulaporkan ke polisi!"
"Apa-apaan ini, Yohana!" seru Yoga, masih berani. "Jangan asal menuduh! Aku tidak terlibat pencurian apapun!"
Andika juga menyahut cepat, sok percaya diri:
"Iya, Bu! Kalau memang Ibu punya bukti saya mencuri, tunjukkan sekarang! Kalau tidak, saya tidak akan segan menuntut balik!"
"Tunjukkan!" desak Yoga, matanya menatap penuh kemarahan. "Kalau aku terlibat, buktikan!"
Yohana menatap keduanya dalam diam. Lalu menjawab pelan:
"Aku tidak punya bukti kalian mencuri."
Yoga tertawa terbahak-bahak. Tertawanya penuh ejekan.
"Akhirnya ngaku juga! Kamu ini benar-benar nggak masuk akal, Yohana!"
"Kalau begitu, sekarang aku beri pilihan untuk kamu!" katanya sambil menuding.
"Kamu tinggalkan proyek ini… karena sudah menuduhku tanpa dasar… atau aku yang akan melaporkan kamu ke polisi! Dan FYI…"
Yoga mengangkat ponselnya, "Aku sudah rekam semua pembicaraanmu dari tadi!"
Yohana mengangguk pelan. Tapi matanya tajam, dan bibirnya membentuk senyum tipis.
"Aku memang tidak punya bukti kalian mencuri… Tapi aku punya bukti kalau kalian berdua mencoba menggagalkan proyek ini."
"Omong kosong!" bentak Yoga. "Fitnah busukmu tidak akan mempan!"
Yohana tidak membalas. Ia hanya membuka ponselnya, lalu menekan satu tombol.
Rekaman suara mulai terdengar.
> "Kalau Yohana terpancing dan pecat Rojali, maka kita akan laporkan ke Harsono kalau anak buah dia diperlakukan tidak adil di proyek maka Harsono akan semakin sering menganggu proyek ini, dan hanya aku yang bisa meredakan Harsono dan pada saat itu akulah yang akan jadi kepala proyek."
> "Kalau CCTV-nya dia curiga, aku bisa atur supaya sistemnya error, kan aku yang pasang."
Suara Yoga dan Andika terdengar jelas. Jernih. Tidak bisa disangkal.
Yoga terdiam. Wajahnya mendadak pucat.
Andika membeku. Ia bahkan tidak bisa menegakkan kepala.
“Kamu menyadap ruanganku…?” gumam Yoga, tak percaya.
"Aku tahu kalian menyusun sesuatu… tapi tidak menyangka serendah ini," ucap Yohana pelan namun menusuk.
Ia mematikan rekaman, lalu menatap Yoga tajam:
"Kamu berusaha mencelakakanku. Kamu sebarkan teror gaib, kamu rencanakan fitnah, kamu susun konspirasi untuk menjatuhkan aku."
"Dan sekarang kamu mau bilang aku terlalu jahat karena cuma menyuruhmu pergi dari proyek ini?"
Yohana mendekat satu langkah. Suaranya kini dingin seperti baja.
"Kalau bukan karena ibumu yang pernah menyelamatkanku waktu kecil… kamu sudah kutaruh di balik jeruji sekarang."
Tiba-tiba, Yoga tertawa terbahak-bahak. Suaranya bergema di seluruh ruangan, seperti ejekan yang telah lama ditahan.
"Aku akui… kamu orang yang cerdas, Yohana."
Ia melangkah mendekat, senyumnya licik. "Tapi cerdas saja tidak cukup."
Yohana menatapnya tajam. "Apa maksudmu?"
Plak! Plak! Plak!
Yoga menepuk tangannya tiga kali.
Pintu terbuka.
Beberapa pria kekar masuk ke ruangan—security proyek.
Namun bukan sembarang security… mereka semua mengenakan atribut dari yayasan keamanan milik teman dekat Yoga.
Di antara mereka berdiri tegak si ketua security, yang langsung berdiri di sisi Yoga.
"Kenalkan, Yohana," ucap Yoga tenang namun penuh ancaman, "inilah yang disebut realita lapangan."
Ia menyapu ruangan dengan pandangannya, lalu menatap Yohana tajam.
"Di atas kertas, kamu memang pimpinan proyek. Tapi di bawah… di lapangan… akulah yang berkuasa."
Rojali duduk dengan santai, sesekali mengambil kacang dan meminum kopi milik yoga, tentu saja yoga kesal dengan kondisi seperti ini. Mungkin benar rumor yang beredar kalau Rojali adalah gembel gila.
"Kamu benar-benar tidak masuk akal, Yoga," ucap Yohana dengan suara tenang. Tapi sorot matanya penuh kekecewaan.
Yoga mendekat, menunduk sedikit agar sejajar dengan wajah Yohana.
"Kamu memang anak dari Paman Hermawan… Tapi kamu perempuan."
"Dan perempuan tidak pantas memimpin proyek sebesar ini. Apalagi bersikap lebih tinggi dariku."
Yohana menatap langsung ke matanya, dingin.
Tapi Yoga melanjutkan, kali ini dengan senyum melecehkan.
"Kalau aku tidak bisa memimpin proyek ini… maka kamu juga tidak boleh berhasil. Kalau cara halus tidak mempan, maka sekarang saatnya aku main kasar."
Isyarat matanya memberi aba-aba.
Dua security perlahan mulai bergerak ke arah Rojali dan Yohana.
"maju selangkah lagi kupastikan kaki kalian tidak akan berfungsi satu" ucap Rojali sambil melemparkan kulit kacang sembarangan
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
up lg thor masih kurang ini
bg jali bg jali orangnya bikin happy
sehat selalu