NovelToon NovelToon
Shan Tand Dan Tahu Ajaib

Shan Tand Dan Tahu Ajaib

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Epik Petualangan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern
Popularitas:284
Nilai: 5
Nama Author: Fauzy Husain Bsb

Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?

padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.

Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?

ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perang Tanding

MEDAN PERTEMPURAN – API PERANG MANGUNTIRTO

Begitu matahari mencapai puncaknya, komando perang dari Pak Lanselod Suroso dikirim lewat sinyal peluit panjang dan gerakan bendera kain merah dari puncak menara bambu.

"Maju... formasi trisula!" teriaknya.

Pasukan Garuda—seratus prajurit elit bersenjata tombak ringan, tameng besar rotan baja, dan pedang lurus dua sisi—bergerak bagaikan gelombang berirama. Formasi trisula mereka menyebar dengan tiga sayap, menyisir medan yang telah porak poranda oleh kekacauan pasukan Blitix.

Namun, dari balik bukit kecil dan barikade kayu... muncul pasukan pendobrak Sonderlicht .

mereka akhirnya bergerak tanpa pasukan John Blitix yang sedang dilanda kekacauan mabuk kecubung.

Langkah mereka berat dan mantap. Tubuh-tubuh tinggi besar itu mengenakan zirah baja mengkilap, helm penuh, dan membawa perisai bundar besi serta kapak perang besar. Tinggi mereka rata-rata setengah kepala di atas prajurit Garuda, dan dada mereka selebar pintu rumah desa. Mereka bukan sekadar pasukan—mereka badai baja berjalan.

Dentuman kaki mereka seperti guntur: duum... duum... duum...

Pak Lanselod melihatnya dengan serius.

“Jaga mental kalian! Jangan terpukau oleh ukuran mereka! Mereka besar, tapi mereka juga lamban!”

Pasukan Garuda melesat terlebih dahulu, tombak-tombak ringan mereka mencoba menghantam celah antar zirah. Namun pasukan Sonderlicht punya formasi bertahan yang solid. Mereka membentuk dinding perisai, lalu bergerak seperti kura-kura raksasa. Begitu barisan Garuda mendekat, kapak-kapak besar melayang ke udara, menghantam dengan kekuatan brutal.

Beberapa prajurit Garuda terpental, perisai mereka patah, dan tanah terwarnai darah. Tapi...

“Sayap kiri mundur! Sayap kanan menutup! Tombak dari belakang, tiga baris! SEKARANG!!”

Tiba-tiba, dari celah bukit belakang, muncullah 30 pemanah ringan dan 10 pelontar jebakan api. Mereka bukan bagian dari pasukan utama, melainkan pelapis cadangan yang diposisikan sejak pagi buta oleh Lanselod.

HWUUUUUUUSSSHH!! sing!! srat!!

Anak panah menyambar dari arah timur dan barat, menghantam sisi formasi pendobrak yang tidak tertutup perisai. Beberapa tumbang, dan mereka mulai bergerak kacau.

Lanselod bergerak cepat.

“Barisan tengah! Maju dengan formasi kunci! Bidik bagian lutut dan engsel zirah mereka!”

Pasukan Garuda mengganti gaya bertempur. Tombak diarahkan lebih rendah, menarget lutut, tumit, dan persendian. Kapak besar tidak bisa digunakan jika musuh mendekat terlalu rapat dan menusuk dari bawah.

Formasi padat Sonderlicht mulai retak.

Para prajurit besar itu memang tangguh dalam duel satu lawan satu, namun dalam medan tempur berstrategi tinggi dan serangan terkoordinasi, mereka mulai goyah. Barisan Garuda yang lincah dan cekatan terus menekan dengan kombinasi tombak cepat dan tusukan pendek.

Dari menara pandang, Shantand dan Bhaskara menyaksikan dengan mata tajam.

“Pasukan Garuda benar-benar seperti hujan badai yang teratur,” gumam Shantand.

PERTEMPURAN MEMUNCAK.

Dari kejauhan, terdengar ledakan kecil dan kobaran api mulai naik dari bukit sebelah selatan. Itu jebakan lain dari Strategi Pasukan Garuda—yang ditaruh tepat di rute mundur para pendobrak.

Pasukan Sonderlicht kini terjebak dari tiga sisi.

John Blitix sendiri, dengan wajah penuh amarah dan tubuh babak belur karena efek malam sebelumnya, berdiri di tengah barisan dengan pedangnya terhunus.

“KALIAN SEMUA MAJU!! HABISI MEREKA!!” teriaknya.

Namun suara itu tenggelam oleh teriakan Garuda, desingan anak panah, dan dentuman tanah oleh tubuh-tubuh baja yang tumbang satu per satu.

Hari itu, di tanah Manguntirto, langit menjadi saksi pertempuran yang tidak hanya soal otot dan senjata, tapi juga otak, keberanian, dan tekad mempertahankan tanah kelahiran.

KOBARAN API MASIH BERASAP — TIBA-TIBA LANGIT TERGELAPKAN

Di balik bukit barat, muncul kabut gelap dan suara seperti geraman hewan buas. Tanah seolah bergetar, dan dari balik bayangan pepohonan, muncullah gelombang baru pasukan musuh—PASUKAN BREW ORC.

Mereka bukan manusia.

Makhluk-makhluk tinggi hampir dua meter, kulit legam kehijauan, mata merah menyala, mengenakan baju zirah hitam pekat berukir tengkorak. Senjata mereka tak lazim—kapak raksasa, gada besi dua kepala, dan pedang gerigi yang meneteskan racun ungu.

Brew Orc adalah unit khusus dari pasukan Sonderlicht.

Dan kali ini, jumlah mereka lebih dari lima puluh.

John Blitix berteriak puas, darah segar menetes dari dagunya, “INILAH KEKUATAN SEJATI KAMI! HANCURKAN MEREKA!!!”

Formasi mulai kacau. Barisan depan terpental seperti boneka. Tubuh-tubuh Brew Orc tidak hanya besar, tetapi kekuatan dan kecepatan mereka mengerikan.

Tameng Garuda pecah seperti kayu rapuh.

Tombak patah.

Para prajurit berteriak mundur.

"Mundur!! Pertahanan melingkar! Lindungi barisan belakang!!"

teriak salah satu kapten Garuda dengan suara gemetar.

Dalam waktu singkat, pasukan Garuda mulai terdesak. Aroma kekalahan menyelimuti udara seperti kabut hitam. Banyak yang terluka parah. Beberapa bahkan mulai kehilangan harapan.

Lanselod menggertakkan gigi.

Matanya menatap Brew Orc yang berhamburan seperti iblis dari neraka.

Tanpa berkata apa pun, ia menarik pedang pusakanya—“Guntur Cakra”—dan melompat ke medan.

"JANGAN MUNDUR!! SELAMA AKU MASIH BERDIRI, KITA BERTEMPUR!!"

Pak Lanselod melesat seperti badai perak.

Dalam satu kilatan, leher Brew Orc pertama tertebas.

Yang kedua dihantam lutut ke dada, mental dan tewas seketika.

Yang ketiga—dengan kapak besar—berusaha menyerang, tapi Lanselod melompat dan membelah helmnya jadi dua.

TIGA BREW ORC RUNTUH DALAM HITUNGAN DETIK.

Pasukan Garuda terpaku melihat keajaiban itu.

Namun...

Gelombang serangan datang semakin brutal.

Lanselod kini dikepung dari segala sisi. Lima, enam, tujuh Brew Orc sekaligus menyerangnya.

Tamengnya terhantam, pecah. Bahunya berdarah. Napasnya berat. Tapi tatapan matanya tak gentar.

“Kalau memang ini akhirku,” gumam Lanselod, “setidaknya aku akan melawan sampai akhir!”

Prajurit Garuda, yang melihat komandannya bertarung habis-habisan, mulai bangkit lagi.

Beberapa yang masih bisa berdiri bergabung dan mengepung balik.

Suara teriakan pertempuran masih menggema. Tubuh-tubuh tergeletak, darah menyatu dengan tanah. Lanselod masih bertarung dengan napas tersengal, luka di tubuhnya mulai melemahkan langkahnya. Pasukan Garuda hampir habis, dan Brew Orc terus menggila.

Tapi tiba-tiba...

Whoooshhh...

Sebuah angin aneh berputar dari arah barisan pasukan Garuda.

Tanah bergetar pelan. Angin seperti membawa aroma dingin dan... salju?

Sosok seorang pemuda tampak melayang perlahan di udara.

Shantand.

Tubuhnya mengambang setinggi pohon palem, dikelilingi oleh pusaran butiran putih kecil tahu—seperti salju, tapi memantulkan cahaya. Tenang. Hening. Tapi juga… mengintimidasi!

Pakaian sederhananya berkibar. Mata tertutup.

Tangan Shantand bergerak perlahan, seperti penari memanggil badai.

Butiran putih yang mengelilinginya mulai berputar semakin cepat—membentuk lingkaran badai mikro di sekitarnya.

Bhaskara di dalam labunya mengangguk puas, “Ayo, muridku… waktunya pelajaran terakhir.”

Siuuuuuuut—CLEP! CRACK! CRACK!

BUTIRAN TAHU ITU MELUNCUR!!

Bukan sembarang tahu! —ini adalah proyektil nano dari sari tahu kecubung, diformulasi Bhaskara untuk menembus apapun, bahkan baja lapis tiga pasukan Brew Orc.

Jeritan meledak di segala arah!!

Satu per satu Brew Orc mengerang, baju besi mereka berlubang seperti terbakar dari dalam.

“AAAAARGHHH!! APA INI!?”

“KULITKU PANAS!! ADA YANG MERAYAP DI DALAM BAJUKU!!!”

“GATAL!! PANAS!! TOLONG!!”

Beberapa Brew Orc menggila, menabrak sesama, berguling-guling di tanah seperti binatang, mencoba mengelupas baju zirah mereka. Tapi gagal. Mereka mencakar tubuh mereka sendiri, menggaruk-garuk seperti kesurupan. Di dalam baju zirah tubuh mereka seperti digigit ribuan semut api di sekujur tubuh.

Lanselod yang masih berdiri menatap ke atas, pada Shantand yang seperti dewa muda, lalu menarik napas dan tertawa kecil.

“Heh… akhirnya kau menunjukkan diri Shantand... Hebat.”

Lanselod menebas satu musuh terakhir di dekatnya, lalu mundur perlahan sambil menyeret tubuh seorang prajurit yang pingsan.

Bhaskara tertawa keras, penuh kepuasan.

“Lihat itu, Shantand! Hahaha!! Inilah keajaiban kecil dari fermentasi cinta, racun, dan tahu!”

Shantand sedikit pucat melihat hasilnya, bulu kuduknya meremang.

“Guru… bukankah ini terlalu berlebihan dan brutal?”

Bhaskara hanya mengangkat alis dan menjawab dengan santai:

“Itulah perang, muridku. Tak ada keindahan dalam darah, tapi baiklah mari kita kembalikan mereka.. "

Dan kemudian...

PASUKAN BAJU BESI ITU KACAU BALAU.

Mereka berlarian ke arah dermaga. Berteriak. Meringis.

Sebagian bahkan terjun ke laut untuk mendinginkan tubuh mereka yang serasa terbakar dari dalam.

Sang Brew Orc pemimpin bahkan merobek helmnya dan merangkak seperti binatang.

"KEMBALIII!!! KITA HARUS KEMBALI KE KAPAL!!!”

Sorak sorai meledak dari sisi Manguntirto.

Pasukan Garuda berteriak. Penduduk desa menangis bahagia.

Pasukan Shantand memukul-mukul tameng.

Lanselod mengacungkan pedangnya ke langit.

Dan perlahan… Shantand turun menyentuh tanah.

Kabut tipis masih menyelimuti perbukitan di sisi utara Manguntirto. Di kejauhan, suara pelarian pasukan baju besi masih tErdengar... teriakan panik, suara zirah berjatuhan, dan denting logam yang ditinggalkan begitu saja.

Markas besar John Blitix—yang sebelumnya menjadi pusat intimidasi dan teror—kini berdiri sunyi.

Tak ada penjaga.

Tak ada perlawanan.

Pasukan Garuda dan warga Manguntirto, dengan tubuh penuh luka dan darah yang belum kering, melangkah maju dengan hati-hati.

Di depan barisan, Lanselod berjalan tenang—pedangnya meneteskan darah terakhir. Di sebelahnya, Shantand masih berjalan dengan tangan menunduk, kelelahan tapi tetap menyala oleh semangat kemenangan.

“Buka gerbangnya…” ujar Lanselod pelan.

BRAAAK!

Dengan sekali hentakan palu dari barisan depan, gerbang kayu baja itu roboh seperti remah roti.

Ternyata benar. Tak ada satu pun pasukan musuh tersisa.

Markas itu kosong.

Penuh barang rampasan, bendera-bendera pengkhianatan, dan simbol kesombongan John Blitix yang kini teronggok bagai bangkai sejarah.

Shantand berdiri di tengah markas itu dan mengangkat tangannya.

Butiran salju kecil masih jatuh perlahan dari langit—entah dari mana, seperti menyambut akhir dari badai.

“Dengar, semua!!”

Suara Lanselod menggema lantang.

“Hari ini... kita tidak hanya menang! Hari ini… kita rebut kembali harga diri kita, rumah kita, dan masa depan anak-anak kita!”

Sorak sorai pecah.

Para warga bersujud di tanah, menangis, memeluk sesamanya.

Pasukan Garuda mengibarkan kembali bendera merah-putih emas dengan lambang elang mengepak—bendera Manguntirto yang telah lama dilupakan.

1
Guchuko
Cerita yang menarik dan bikin geregetan. Semangat terus thor!
Fauzy Husain Bsb: ashiap.. thanks 😊
total 1 replies
L3xi♡
Jatuh cinta sama plot twistnya, bikin penasaran terus 🤯
Fauzy Husain Bsb: trima kasih kk/Grin//Smile/
total 1 replies
Fauzy Husain Bsb
ini adalah kisah konyol ttg reinkarnasi yg absurd, yok di coret 2 😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!