Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sehari di Selatan Jakarta
Hari sudah gelap ketika Hendrik pamit pada Dion. Seharian ia membantu Dion pindah ke indekos barunya dibantu oleh Andi. “Hati-hati bawa motor,” imbau Dion pada sahabatnya yang sudah duduk di atas sepeda motor dengan mesin menyala. Sementara Andi sudah lebih dahulu pamit karena sudah ada janji dengan pacarnya Nita.
Sabtu, 30 Juni 2001.
Dion akhirnya pindah ke indekos barunya. Dion menempati paviliun berukuran 4 x 5 meter, dan memiliki kamar mandi di dalam. Kamar itu terpisah tak jauh dari dua gedung utama yang memiliki puluhan kamar.
Kedua gedung utama membentuk huruf ‘L’ sementara paviliun Dion berada di seberangnya, dipisahkan lapangan kecil dan gazebo yang merupakan tempat para penghuni bercengkerama.
Kos-kosan itu terletak di sekitar kampus salah satu perguruan tinggi swasta membuat mayoritas penghuninya adalah mahasiswa yang berkuliah di kampus itu.
Hendrik mulanya ingin menemani Dion di kamar kos barunya pada malam pertama. Tapi permintaan Hendrik ditolak karena Dion tahu malam itu adalah jadwal kunjungan Henrik ke rumah pacarnya Atik.
“Bro, katanya di sini banyak mahasiswi cantik,” goda Hendrik sebelum meninggalkan Dion.
“Halah! Sana pergi cepat sebelum Atik marah-marah,” tukas Dion tak ingin meladeni candaan Hendrik.
“Aku pergi dulu! Oh ya, bilang-bilang kalau ada cewek yang lebih cantik dari Atik di sini,” pungkas Hendrik sambil tertawa dan melajukan sepeda motornya tanpa menunggu reaksi Dion.
“Lho, temannya itu nggak tinggal di sini?” tanya Anton, seorang pria paruh baya yang bertugas menjaga keamanan indekos sambil menutup pagar.
“Nggak. Yang ngekos aku sendiri. Oh ya, biasanya pagar dikunci jam berapa, Pak?”
“Biasanya lewat tengah malam. Ini ditutup lebih awal karena hampir semua penghuni kos sedang pulang kampung karena libur semester.”
Dion lalu menceritakan perihal pekerjaan yang membuatnya akan selalu pulang lewat tengah malam.
“Oh tidak masalah. Aku berjaga di pos hingga subuh. Aku akan memberimu kunci pagar agar bisa membuka sendiri seandainya aku tak berada di pos jaga,” jelas Anton.
Setelah berbincang beberapa saat, Dion pun meninggalkan pos penjagaan itu.
Di kamarnya, Dion duduk memandangi ruangan itu. Ia merasa kamar itu memang lumayan luas dibanding kamar sebelumnya. Dion yang nyaris tak memiliki barang-barang selain meja dan lemari serta beberapa kardus berisi buku-buku dan pakaian membuat kamar tampak melompong.
“Kamar baru, pekerjaan baru, kawan baru. Mudah-mudahan ini adalah permulaan untuk sesuatu yang baru,” pikir Dion.
Tapi semangat baru itu tak bertahan lama. Lamunan Dion kemudian teralih akan kenangannya selama dua tahun belakangan. Kenangan terindah dalam hidupnya tapi juga menyakitkan dan mengecewakan.
“Aku tidak bisa begini terus-terusan. Mungkin aku harus menyetujui saran Oppung untuk menemuinya,” pikir Dion yang tak ingin terus menerus terjerat oleh kenangan dan harapan hampa.
Tak ingin berlarut-larut dengan pikiran kalut, Dion lalu membuka dus-dus yang berisi barang-barang serta pakaian dan mulai menata kamarnya. Hal itu ia lakukan hingga tengah malam sampai ia tertidur karena rasa kantuk.
Baru tertidur beberapa saat, ia sudah kembali terbangun oleh derit pintu lemari. Dion mendapati Melati sedang meletakkan beberapa pakaian yang sudah terlipat rapi ke dalam lemarinya.
“Kakak sudah lama sampai?” tanya Dion.
Melati melirik sekilas sambil tetap melipat pakaian. “Sudah. Sejak teman-temanmu pergi tadi.”
“Kak, biarkan saja pakaian itu. Biar Dion nanti yang melipat,” ujar Dion tapi Melati tak menghiraukannya.
Dion beranjak dan menarik kasur lipat biru muda yang baru dibelinya. Ia merentangkannya di sudut kamar. “Aku belikan ini buat Kakak. Lumayan nyaman, loh,” ujarnya, coba membuat Melati merasa lebih betah.
Melati berhenti sejenak, menatap kasur itu. “Dion nggak suka kalau aku tidur di kasurmu?” tanyanya lirih.
“Bukan begitu. Aku cuma nggak tega Kakak harus mencium bau keringatku tiap hari.”
“Kakak nggak pernah merasa terganggu kok,” balas Melati, kembali melanjutkan pekerjaannya.
Dion memperhatikan raut wajah Melati. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. “Kakak butuh sesuatu supaya lebih nyaman di sini?” tanyanya lagi.
Melati menggeleng. “Aku pikirkan dulu. Kalau butuh sesuatu, Kakak pasti bilang.”
“Aku berharap mampu mengontrak rumah, agar kakak bisa memiliki privasi,” ujar Dion yang merasa Melati memikirkan sesuatu karena raut wajahnya tak terlihat antusias.
“Hah, aku tidak apa-apa begini. Lagipula kita saling melihat hanya beberapa saat, bukan?” sahut Melati yang tak begitu tertarik dengan usul Dion.
Tapi Dion masih merasa ada sesuatu yang mengganggu perasaan Melati. “Sepertinya Kakak kecewa dengan tempat ini,” tebaknya.
Melati menghentikan kegiatannya sejenak sebelum akhirnya berkata, “Bukan tempat ini yang membuatku berpikir. Aku hanya melihatmu tadi termenung lama. Kamu masih belum bisa melupakannya, ya?”
Dion terdiam. Ia tak bisa membantah bahwa ia belum bisa merelakan hubungannya dengan Wina.
“Aku ingin ke Jakarta menemuinya untuk mendapatkan kejelasan. Aku merasa ada yang salah dengan semua ini. Tak mungkin ia memutuskan hubungan kami begitu saja,” Dion mengungkapkan rencananya.
“Pikirkanlah baik-baik. Alih-alih mendapatkannya kembali, Dion mungkin akan kembali tersakiti,” Melati mewanti-wanti.
“Biarlah, Kak. Kalau memang ia sudah bersama orang lain aku akan merelakannya,” Dion sudah merasa mantab dengan rencananya.
Melati pun tersenyum ke arah Dion. Bagaimana pun, wanita itu lebih setuju Dion melakukan sesuatu daripada sering termenung. “Itu keputusanmu Dion. Cinta memang pantas diperjuangkan.”
Dion merasa senang dengan kalimat terakhir Melati dan senyuman itu. Senyuman yang selalu mengingatkannya pada ibunya ketika terakhir kali memeluknya sebelum pergi mencari ayahnya di Pulau Jawa.
...***...
Pagi harinya Dion terbangun dengan rasa heran ketika mendapati pakaiannya telah dengan rapi tertata di dalam lemari pakaian.
“Berarti tadi malam itu tak sepenuhnya mimpi. Melati bisa berinteraksi dengan dunia nyata. Dia betul-betul melipat pakaian-pakaianku,” pikir Dion.
Dion yang mulai terbiasa dengan keanehan itu tak ingin berlama-lama memikirkannya. Ia mengganti pakaian dan mengenakan sepatu untuk lari pagi.
...***...
Senin berikutnya, usai seharian mewawancarai calon karyawan unit produksi Dion menemui Amri, pemimpin redaksi di kantornya.
“Bang urusan perekrutan akan kelar minggu ini. Minggu depan kita bisa memulai simulasi. Kupikir waktu tiga minggu lebih dari cukup untuk menemukan ritme dalam mengejar deadline,” kata Dion yakin.
Amri mengangguk, senang melihat optimisme yang ditunjukkan Dion. “Bagus. Trus, gimana dengan semester pendekmu?” tanyanya.
“Aku sudah mendaftar tadi pagi. Mulai dua minggu lagi dan selesai akhir September.”
Amri mengangguk lagi, lalu menatap Dion yang tampak ragu-ragu sebelum akhirnya berbicara.
“Bang, aku mau minta izin ke Jakarta beberapa hari.”
Kening Amri berkerut. “Ada urusan apa? Nggak bisa ditunda?”
“Ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku perlu menyelesaikannya secepatnya, supaya bisa fokus pada persiapan peluncuran dan kuliah nanti,” jelas Dion.
Amri menyandarkan punggung ke kursi, tersenyum tipis. “Kalau bukan urusan keluarga, pasti urusan hati.”
Dion hanya tersenyum kecil, tak menyangkal.
“Asal bisa pastikan simulasi minggu depan berjalan sesuai rencana, aku nggak keberatan,” tambah Amri.
“Terima kasih, Bang. Kalau begitu, besok pagi aku berangkat,” Dion senang karena permintaannya disetujui. Ia pun bangkit dari kursinya.
Amri mengangkat tangan, memberi isyarat agar Dion berhenti sejenak. “Hati-hati di jalan. Kabari aku kalau butuh sesuatu.”
Dion mengangguk mantap sebelum keluar dari ruangan itu.
Sudah hampir magrib ketika Dion meninggalkan kantornya. Bukannya pulang ke rumah, Dion malah pergi ke rumah Andi. Dia ingin menemui sahabatnya itu untuk menceritakan rencananya.
Andi terkejut ketika Dion mengungkapkan rencana bepergian ke Jakarta. “Aku dukung, tapi kenapa mendadak?” tanyanya heran.
Dion menatap kosong ke arah jalan. “Aku sudah lelah terus-terusan memikirkannya. Aku ingin ini segera selesai, bagaimanapun akhirnya.”
Andi lalu mengajak Dion menuju sebuah agen perjalanan di sekitar rumahnya untuk membeli tiket pesawat. Beruntung, Dion mendapatkan harga tiket yang relatif murah. Hanya saja ia harus berangkat dengan pesawat pertama yakni pukul 4 pagi.
“Artinya paling lambat aku harus sudah ada di bandara pukul 3 nanti. Ndi, antar aku ke bandara saja malam ini. Biar aku menunggu di bandara, daripada kau harus bangun pagi-pagi sekali,” usul Dion.
Akhirnya keduanya pergi ke kos Dion. Setelah mandi, Dion berkemas dan mengganti pakaiannya.
“Yuk, kita cari tongkrongan saja, jam 11 nanti baru antar aku ke bandara,” ajak Dion yang sudah siap dengan tas ranselnya.
“Lho, cuma begini?” tanya Andi yang heran karena Dion hanya membawa ransel yang tidak terlalu berisi.
“Mau bagaimana lagi, Bro? Aku cuma bawa satu jeans dan dua t-shirt. Kemungkinan di sana juga paling lama dua hari,” jelas Dion.
Dion dan Andi kemudian menghabiskan waktu untuk mengobrol di sebuah warung kopi. Hampir tengah malam, Andi pun mengantarkan Dion ke bandara.
...***...
Pukul 6 pagi, pesawat yang ditumpangi Dion mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Dion memutuskan beristirahat sejenak untuk sarapan dan menikmati kopi sebelum pergi menuju rumah Wina.
Lagipula ia ingin mempersiapkan diri, mengumpulkan keberanian dan menyusun kata-kata yang akan ia ucapkan pada Wina.
Beberapa kali Dion membaca alamat yang tertera di sebuah amplop surat yang dikirim Wina tahun lalu. Hatinya berdebar tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Cinta telah mendorongnya untuk nekad menemui gadis yang telah mengakhiri hubungan keduanya.
“Apa sebaiknya aku menghubungi ponselnya? Tidak! Aku sudah berjanji untuk tidak pernah menghubunginya,” pikir Dion.
Mendekati jam 9 pagi, Dion memutuskan meninggalkan bandara dengan menumpangi taksi menuju rumah Wina di selatan Jakarta.
Setelah hampir dua jam merayapi kemacetan ibukota, taksi yang ditumpangi Dion pun sampai di kawasan alamat Wina. “Pelan-pelan saja, Mas, biar saya liatin nomor rumahnya,” ujarnya pada sopir.
Dion mencondongkan tubuhnya, matanya menelusuri nomor-nomor rumah di sepanjang jalan.
Ketika menemukan rumah bernomor sama dengan alamat yang tertulis di amplop, Dion pun meminta taksi berhenti. Ia segera menjauh dari depan rumah Wina. Bagaimanapun ia tak ingin ibu Wina melihat kedatangannya.
Buru-buru Dion mengenakan topi baseball hitam yang ia keluarkan tas ransel untuk menyamarkan wajah. Dion melangkah ke seberang jalan, mencari posisi strategis untuk mengamati rumah tersebut.
Ia menatap rumah besar dengan cat krem beraksen coklat tua itu. Keadaannya tampak sepi.
“Bagaimanapun, seseorang yang bukan ibunya Wina akan keluar juga dari rumah itu. Sebaiknya tunggu di sekitar sini saja,” pikir Dion sembari memperhatikan keadaan sekitar.
Berhadapan dengan rumah Wina, terdapat sebuah rumah tak kalah megahnya. Di samping rumah megah itu, terlihat beberapa pekerja sedang mengerjakan pembangunan rumah lainnya.
“Pak, minta izin duduk di sini, ya! Aku sedang menunggu seseorang di rumah seberang itu,” katanya sopan pada seorang pekerja tua yang sedang beristirahat menikmati sebatang rokok.
Pria itu hanya mengangguk singkat. “Silakan, Mas!”
Satu jam, lalu dua jam berlalu. Dion masih tidak melihat aktivitas di rumah Wina. Tidak ada orang yang keluar maupun masuk ke rumah itu. Dion pun mengobrol dengan beberapa pekerja untuk mengisi waktu menunggunya.
Tengah hari, para pekerja membongkar bekal makan siang mereka. Salah seorang menawari Dion untuk ikut bergabung makan siang. Ia hanya tersenyum kecil, menolak dengan halus.
Perutnya mungkin lapar, tapi pikirannya terlalu terpaku pada rumah di seberang. Ia berharap Wina menampakkan diri dan memberinya kesempatan bicara.
Jarum pendek di jam tangan Dion sudah menujuk angka dua ketika ia menghabiskan air dari botol minuman mineral kedua sejak ia menunggu. Sejenak Dion ingin memberanikan diri untuk mendatangi rumah Wina tapi kemudian memutuskan untuk menunggu satu jam lagi.
Benar saja, ketika hampir jam tiga, sebuah mobil sedan mewah hijau tua berhenti di depan rumah Wina.
Dion menegakkan tubuhnya, jantungnya berdegup cepat melihat Wina di dalam mobil itu melalui kaca depan yang transparan. Sementara seorang pria muda bertindak sebagai pengemudi tampak tersenyum ke arah Wina.
Yang terjadi setelahnya menghantam Dion tanpa ampun.
Dion bisa melihat jelas ketika Wina menunjuk ke pipinya dan pria itu kemudian memberi ciuman. Keduanya saling tertawa. Wina terlihat seperti mengatakan sesuatu sambil membuka pintu dan keluar dari mobil.
Beberapa pekerja yang juga memperhatikan aktivitas di dalam mobil yang terparkir itu pun bersorak. “Aduh, pacaran zaman sekarang, siang bolong ciuman,” celetuk seorang pekerja.
Wina membukakan pintu pagar sembari melambaikan tangan ke arah mobil yang mulai bergerak meninggalkannya.
Dari seberang jalan, Dion memandangi gadis yang pernah menjadi kekasihnya itu. Wina terlihat mengenakan kemeja lengan pendek putih dan jeans biru tua sambil menenteng tas jinjing cokelat muda.
Hatinya dilanda gelombang emosi yang bertubrukan. Cemburu, sakit hati, rindu, dan kesadaran pahit bahwa ia tak lagi memiliki tempat di dunia Wina.
Ia sempat bergerak ke arah Wina yang juga mulai bergerak meninggalkan pagar rumah yang dibiarkan terbuka. Tapi baru beberapa langkah, Dion berhenti.
Ia juga membatalkan niatnya yang ingin memanggil nama gadis itu. Bagaimanapun, ia melihat betapa Wina tampak bahagia bersama pria tadi.
“Dia sudah punya kehidupan baru,” batinnya getir. “Dan pria itu… pastilah kekasihnya.”
Dion menatap punggung gadis yang sangat ia rindukan itu hingga bayangannya menghilang di balik pintu.
Untuk beberapa saat ia masih terpaku pada tempatnya berdiri hingga mobil lain memasuki rumah Wina, sebuah SUV impor berwarna coklat tua.
Sibuk dengan pikirannya sendiri, Dion tak memedulikan lagi siapa yang memasuki rumah Wina. Baginya semuanya sudah jelas. Kehadirannya di tempat itu sia-sia belaka.
Harapannya kandas dan punah.
“Setidaknya semuanya sudah jelas. Aku tak perlu menemuinya lagi. Semuanya sudah berakhir dan berlalu,” batin Dion. Ia lalu pamit pada beberapa pekerja.
Dengan langkah gontai, Dion berjalan menuju jalan utama yang tak jauh dari rumah Wina mencari taksi menuju bandara, selanjutnya terbang kembali ke Kota Medan.