Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18
Bel istirahat bergema nyaring di seluruh penjuru sekolah, menandai jeda dari pelajaran yang menguras pikiran. Suara kursi bergesekan dan langkah-langkah terburu-buru memenuhi lorong kelas. Arga langsung bangkit dari duduknya, tanpa menoleh, tanpa menghiraukan teriakan teman-teman sekelasnya yang memanggilnya untuk nongkrong bersama.
“Ga, ke kantin bareng, yuk!” seru salah satu temannya.
Namun Arga terus melangkah cepat, nyaris berlari kecil, seperti ada yang lebih penting dari sekadar bercanda di kelas. Perutnya sudah bernyanyi sedari pagi. Roti tawar dan selai kacang yang sempat ia lahap tadi pagi jelas tidak cukup untuk menahan rasa lapar yang mulai menyerang.
Di belakangnya, suara langkah kecil dan cepat terdengar menyusul. Celine, gadis berambut ikal sebahu yang selalu terlihat rapi dan anggun, mengejar dengan napas teratur. Meski berseragam sama, caranya membawa diri membuatnya tampak seperti bukan siswa biasa. Ada aura berbeda dari caranya berjalan dan menatap sekeliling.
“Arga, tunggu!” serunya lembut namun penuh tekad.
Arga menoleh sekilas, lalu mengendurkan langkahnya. “Ngapain sih ngejar-ngejar kayak gitu?”
Celine tersenyum, menyesuaikan langkahnya dengan Arga. “Ya ikut ke kantin lah. Kamu pikir aku nggak lapar?"
Mereka melangkah berdampingan melewati koridor menuju kantin sekolah yang sudah mulai dipenuhi siswa lain. Aroma makanan menggoda tercium bahkan sebelum mereka sampai di ambang pintu kantin. Arga langsung mengantre di salah satu gerobak makanan favoritnya.
“Satu nasi soto komplit, Bu. Pake sambal, ya,” katanya antusias.
Penjual soto itu mengangguk dan mulai meracik pesanan. Sementara itu, Celine berdiri di sisi lain, meneliti etalase makanan dengan teliti. Tatapannya berhenti pada satu menu yang tampak paling aman menurut standar makannya.
“Salad sayur aja, ya, Bu. Tanpa dressing,” ucapnya sopan.
Arga melirik ke arah Celine dengan alis sedikit terangkat. “Kamu yakin kuat cuma makan rumput kayak gitu?”
Celine terkekeh pelan. “Ini bukan rumput, Arga. Ini sayur. Dan sebagai model, aku harus jaga berat badan. Nasi soto kamu itu bisa bikin aku gagal tampil minggu depan.”
Arga mencibir pelan, tapi tersenyum. “Kalau aku jadi kamu, aku lebih milih bahagia daripada lapar.”
Celine mengangkat bahu. “Kebahagiaan bisa ditunda demi tujuan.”
Pesanan mereka selesai. Mereka pun duduk di meja pojok kantin yang agak sepi. Arga langsung menyantap sotonya dengan semangat, sementara Celine menyuap potongan wortel dan selada dengan penuh kesabaran. Di antara suapan dan obrolan ringan, keduanya terlihat berbeda, namun ada benang halus yang membuat mereka tetap nyambung.
"Cel, aku rasa kamu harus bisa jaga jarak. jangan mendekati akh terus, aku sudah menikah." Arga kembali mengingatkan agar Celine tidak terlalu berharap padanya.
Celine tersenyum tipis, namun di balik senyum itu tersimpan keteguhan yang sulit dipatahkan. Matanya menatap Arga dengan sorot yang tak bisa diabaikan—tatapan yang menyimpan kenangan, harapan, dan tekad yang membara.
“Aku nggak akan berhenti, Ga…” ucapnya lirih tapi mantap, “sampai kamu jadi milikku lagi.”
Kalimat itu meluncur begitu saja, seolah bukan ancaman, tapi janji yang akan ia tepati dengan segala cara. Suasana kantin yang tadinya penuh riuh tiba-tiba seolah meredup di telinga Arga. Ia terdiam, sendok sotonya menggantung di udara. Satu tarikan napas panjang keluar dari hidungnya sebelum ia meletakkan sendok itu kembali ke dalam mangkuk.
“Celine…” Arga menghela napas, mengalihkan pandangannya ke arah jendela kantin yang terbuka. Angin sore yang menerobos perlahan pun tak cukup menenangkan kepalanya yang mulai panas.
Dia mendengus, keras dan jelas. “Kamu masih belum ngerti juga, ya?”
Celine tidak menjawab. Ia hanya menatap Arga, menunggu kelanjutan kata-kata yang mungkin akan menyakitinya lagi, tapi tetap ia inginkan. Rasa sakit itu tak seberapa dibandingkan kehilangan Arga—begitulah pikirnya.
“Aku… capek, Celine,” gumam Arga akhirnya. “Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi biar kamu ngerti. Kita udah selesai.”
Tapi gadis itu tetap tak bergeming. Ekspresinya tak berubah. Dia tidak menangis. Tidak memohon. Hanya duduk di seberangnya, tenang, seolah yakin waktu akan berpihak padanya.
Arga memalingkan wajah, pandangannya jatuh ke kerumunan siswa lain yang sedang tertawa dan menikmati makanan mereka tanpa beban. Sementara dia… dia merasa seperti dikepung kenangan yang terus memaksa untuk dibuka kembali.
Mungkin aku harus membangun benteng, pikirnya getir. Tinggi. Kokoh. Supaya dia nggak bisa menjangkauku lagi.
Tapi sekuat apapun niatnya, ia tahu satu hal—Celine bukan tipe gadis yang menyerah hanya karena satu atau dua kata penolakan. Dan entah kenapa, justru itulah yang membuat semuanya jadi lebih rumit.
**
**
Langit mulai memudar menjadi jingga saat senja perlahan turun menyelimuti kota. Cahaya matahari yang hangat kini digantikan oleh bayangan panjang dan udara yang mulai terasa sejuk. Arga memacu motornya melewati jalanan yang lengang, usai menghabiskan waktu di bengkel tempat ia biasa membantu. Tangan dan bajunya masih berbau oli, tapi ia tak begitu peduli. Jam lima tadi bengkel sudah ditutup, dan pikirannya kini hanya tertuju pada satu tempat—butik Viola.
Ia berhenti di depan bangunan elegan bergaya minimalis itu. Di balik kaca besar yang memamerkan beberapa gaun rancangannya, tampak lampu butik mulai diredupkan. Butik Viola memang selalu tampil rapi dan anggun, mencerminkan pemiliknya yang penuh cita rasa. Setelah memarkir motornya, Arga segera melangkah masuk.
Bunyi lonceng kecil berdenting saat pintu dibuka. Di dalam, Risa—asisten butik sekaligus tangan kanan Viola—sedang merapikan beberapa katalog dan menutup laci meja resepsionis.
“Mas Arga,” sapa Risa ramah, sedikit terkejut. “Rajin banget sih."
Arga mengangguk sambil menghapus sedikit keringat dari pelipisnya. “Butiknya udah mau tutup, ya?”
“Iya, Mas. Ini tinggal beres-beres aja. Mbak Viola masih di ruangannya, seperti biasa.”
“Terima kasih, Ris,” ujar Arga singkat.
Tanpa banyak basa-basi, ia melangkah melewati ruang utama butik yang sudah hampir kosong. Gaun-gaun digantung rapi di rak, sebagian sudah ditutup kain pelindung. Aroma parfum ruangan yang khas masih terasa samar, menciptakan atmosfer yang tenang dan elegan. Setiap langkah Arga terasa berat, bukan karena kelelahan, tapi karena ia tak pernah tahu akan disambut dengan apa saat bertemu Viola—istrinya yang kini terasa seperti orang asing.
Ia mengetuk pintu ruang kerja Viola perlahan. Tak ada jawaban.
Arga menempelkan telapak tangannya pada kenop, memutarnya pelan, lalu masuk.
Di dalam, Viola sedang duduk di depan meja desainnya, rambutnya disanggul rapi seperti biasa, wajahnya serius menatap sketsa yang belum selesai. Ia tidak langsung menoleh, meski tahu siapa yang masuk.
“Aku datang sayang, ” ucap Arga pelan, hampir seperti bisikan.
Viola mengangkat wajahnya perlahan, ekspresinya tenang namun tak bisa ditebak. Matanya menatap Arga sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara datar namun lembut, “Ya, ya. aku melihatmu."
Arga berdiri di ambang pintu, ragu melangkah lebih dekat. Ada jarak tak terlihat di antara mereka—jarak yang bahkan senja tak bisa jembatani.
Bersambung
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran