Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 13 - Kafilah Cinta
Part 13 - Kafilah Cinta
~💠💠💠~
Suasana subuh di pesantren masih sunyi. Cahaya lampu di beberapa sudut masjid redup dan hanya menyisakan penerangan di bagian utama.
Sementara di dalam asrama santriwati, alarm kecil milik Hana berbunyi. Ia mengerjapkan mata beberapa kali lalu bangun, dan segera membangunkan Fatin.
“Fatin, bangun… sudah hampir subuh,” ucapnya sambil menggoyangkan bahu temannya itu.
Fatin mengeliat malas, lalu akhirnya membuka mata. Ia duduk di ranjangnya sejenak lalu menoleh ke arah ranjang Miska yang berada di sudut kamar. Namun, yang ia lihat hanya kasur kosong dengan selimut yang sudah terlipat rapi.
“Hana… Miska mana?,” tanyanya, suaranya masih berat karena baru bangun tidur.
Hana pun mengernyit, lalu ikut menoleh ke arah ranjang Miska yang kosong. “Hah? Kok nggak ada?.”
Fatin segera turun dari ranjangnya, lalu melangkah mendekati tempat tidur Miska untuk memastikan. Tapi benar, Miska tidak ada.
“Apa dia sudah bangun lebih dulu?,” gumam Hana, sedikit heran.
“Mungkin… tapi aneh juga. Bukannya dia biasanya paling malas bangun?," jawab Fatin seraya mengangkat bahunya.
Hana mengangguk setuju. Mereka berdua pun saling bertatapan dan bertanya-tanya ke mana perginya Miska sepagi ini.
Di sisi lain kamar, Salsabila yang juga baru bangun hanya melirik sekilas, lalu mendecak pelan. “Biarin aja, paling juga dia cari gara-gara lagi.”
Tapi Hana dan Fatin memilih tidak menanggapi dan hanya saling bertukar pandang.
Sementara itu, di masjid pesantren, lampu-lampu belum menyala sepenuhnya. Cahaya lembut dari langit subuh mulai mengintip di balik jendela besar.
Masjid masih sepi, yang nampak hanya ada beberapa santri yang datang lebih awal untuk menunaikan ibadah sunnah sebelum Subuh.
Di sudut masjid, tepat di belakang mihrab, seorang gadis meringkuk dalam mukena putihnya. Matanya terpejam, tubuhnya sedikit membungkuk, dan sesekali bahunya bergetar.
Dialah Miska.
Sejak tadi ia duduk diam di sana, memeluk lututnya sendiri di balik kain mukena. Entah kenapa, ia merasa nyaman di sini.
Masjid yang biasanya selalu di hindari dan menjadi tempat ia malas-malasan kini terasa begitu berbeda. Sunyi, damai, menenangkan.
Tadi malam ia menangis sendirian di kasur. Dan entah kenapa, saat mendengar azan awal, langkah kakinya secara refleks membawanya ke sini.
Mata Miska masih terasa sembab, tapi ia tidak ingin kembali ke asrama, tidak ingin mendengar nyinyiran Salsabila, dan tidak ingin menangis lagi.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah pelan memasuki masjid. Miska tidak bergerak, tapi perlahan ia membuka matanya.
Dari sela-sela mihrab, ia bisa melihat seseorang sedang duduk di shaf paling depan. Sosok seorang laki-laki dengan jubah putih sederhana, dengan peci hitam yang terpasang rapi di kepalanya.
Dialah Ustadz Musa.
Ia adalah salah satu ustadz muda di pesantren ini, terkenal dengan sikapnya yang lembut dan penyabar.
"Siapa dia?," batin Miska.
Miska menatap ustadz Musa diam-diam karena sedikit penasaran.
Tanpa disadari, Ustadz Musa juga menyadari keberadaannya. Ia lalu tersenyum kecil, tapi tidak berkata apa-apa.
Miska buru-buru mengalihkan pandangannya dan merasa salah tingkah namun ia langsung tidak peduli.
**
Beberapa saat kemudian, Masjid pesantren mulai dipenuhi santriwati yang datang untuk menunaikan shalat subuh berjamaah. Deretan shaf santriwati semakin rapat seiring kedatangan mereka.
"Aku mau disini."
"Aku disitu, aku yang lebih dulu."
"Siapa cepat dia dapat."
Begitulah para santriwati yang memperebutkan perihal tempat duduk. Tapi memang hal seperti itu menjadi keseruan tersendiri bagi seusia mereka.
Sebagian besar masih terlihat mengantuk, namun ada juga yang justru terlihat semangat, terutama ketika melihat sosok yang tidak biasa duduk di antara mereka.
Miska.
Beberapa santriwati yang mengenalnya mulai berbisik-bisik, saling menyikut satu sama lain, dan memperhatikan gadis berparas cantik yang kini duduk di antara mereka dengan mukena putihnya.
"Eh, itu Miska, kan?," bisik seorang santriwati kepada teman di sebelahnya.
"Iya. Sejak kapan dia rajin ke masjid?," sahut yang lain.
"Jangan-jangan udah tobat gara-gara kena hukuman kemarin," kata seorang santri bernama Zoya dengan nada sinis.
"Tobatnya bakal bertahan berapa lama, ya? Seminggu? Sehari? Atau cuma pagi ini doang?," sahut salah satu temannya sambil cekikikan.
"Ayo kita doakan semoga dia tobat selamanya," tambah Zoya, lalu tertawa kecil bersama gengnya.
Miska yang awalnya masih menunduk, kini merasa kesal ketika mendengar semua ucapan mereka.
Rahangnya pun mengeras, dan amarahnya mulai naik. Ia sudah cukup kesal dengan situasi di pesantren ini, dan kini mereka malah menertawakannya?
~Belum tau aja siapa Miska. Jago bertarung dia. Si Nadine, ratu geng juga kalah terus 😅~™~
Dengan gerakan cepat, Miska berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Zoya yang masih tertawa dengan santainya.
"Xi Xi Xi xi...."
"Kamu barusan ngomong apa, hah?," tanya Miska dengan suara yang terdengar tajam, hingga membuat beberapa santriwati langsung menoleh.
Zoya yang awalnya terlihat santai, kini mendadak diam saat Miska berdiri tepat di depannya dengan tatapan penuh ancaman. Namun, bukannya takut, Zoya malah menyilangkan tangan di dada dan menatap Miska dengan sinis.
"Kok tiba-tiba panas kuping? Kan cuma bercanda," katanya santai.
"Bercanda?," ujar Miska seraya menyeringai marah. "Lo pikir gue ini badut yang bisa lo buat bahan lelucon?."
"Lah, salah aku di mana? Emang bener, kan? Kamu ke masjid baru hari ini doang yang duluan, kan biasanya telat atau gak sama sekali, jadi kita wajar dong heran," balas Zoya tanpa rasa bersalah.
Miska mengepalkan tangan. Darahnya mendidih. Ia tidak suka dipermalukan, apalagi di depan banyak orang.
"Lo mau gue tampar biar lo berhenti ketawa?," ancam Miska.
"Astagfirullah, Miska!," seru salah satu santri di dekatnya, dan mencoba mencegah pertikaian yang semakin panas.
Namun, Zoya malah tersenyum sinis sambil berkata lagi, "Silakan, kalau berani. Tapi kalau mau buktiin kalau udah beneran insaf, harusnya kamu sabar dong."
Brak!
Miska langsung menyambar kerudung Zoya dan menariknya dengan kuat. Gadis itu pun terperanjat kaget, hingga membuat beberapa santriwati langsung menjerit kecil.
" Eeh...!. "
" Lihat! Mereka berantem!."
"Apa lo bilang?!," bentak Miska.
Santriwati lain mulai panik dan berusaha melerai mereka. Tapi beberapa yang lain hanya menonton dengan tatapan tidak percaya.
Suasana masjid yang awalnya khusyuk pun langsung menjadi gaduh.
"Aduuh...gimana ini?."
"Pisahin mereka...."
Tidak lama kemudian, beberapa ustadzah datang setelah mendengar keributan. Ustadzah Siti berjalan cepat ke arah mereka, diikuti oleh Ustadzah Laila dan Ustadzah Nuri.
"Ada apa ini?!," suara Ustadzah Siti menggema di seluruh masjid hingga terdengar ke shaf depan.
Miska dan Zoya langsung melepaskan genggaman mereka. Beberapa santriwati buru-buru menjauh, karena tidak ingin ikut terseret masalah.
"Miska, Zoya, ikut ustadzah ke ruang pendisiplinan setelah kajian berakhir!."
BERSAMBUNG...