Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rival
Gelapnya malam menyelimuti kota, sementara angin dingin berhembus pelan, seolah ikut menemani Sadewa dalam perjalanan menuju kediaman Saka. Di dalam mobil yang melaju dengan tenang, ada Sadewa yang duduk di bangku belakang dengan penuh percaya diri.
Setelan jas hitam yang rapi membalut tubuh atletisnya, memancarkan aura kekuatan dan dominasi yang tak terbantahkan. Kaki yang ia lipat santai menambah kesan elegan namun penuh kuasa.
Di depan, Maya, asisten pribadinya, menolehkan kepala sambil memegang tablet, memberikan informasi penting. "Tuan, perhiasan yang Anda pesan akan tiba di unit, Nona Maha, sekitar pukul sembilan malam,"
Sadewa mengangguk pelan, matanya menatap lurus ke depan. "Baiklah." jawabnya singkat namun tegas.
Sadewa telah menyiapkan sebuah hadiah kecil untuk Maha, sebagai bentuk permintaan maafnya, meski ia sendiri tidak yakin apa kesalahan yang telah diperbuatnya. Dalam benaknya, ia masih tidak mengerti atas sikap dingin dan ketus Maha beberapa hari yang lalu. Baginya, semua telah selesai setelah ciuman mereka, yang saat itu Maha balas dengan lembut.
Namun, ada sesuatu dalam hati Sadewa yang mendorongnya untuk memberikan hadiah ini, sebuah cara untuk menyembuhkan luka yang mungkin tanpa sadar ia torehkan—luka bagi kekasihnya yang hanya 'pura-pura.’
Dan langit kelam menjadi saksi bisu perjalanan Sadewa. Di balik ketenangan wajahnya, tersimpan rencana besar yang hanya ia yang tahu. Bagi Sadewa, setiap langkah adalah bagian dari permainan yang ia kendalikan sepenuhnya.
Beberapa saat kemudian, mobil hitam mengkilap yang membawa Sadewa berhenti di pelataran rumah megah Saka Dirgantara. Tanpa menunggu lama, Maya turun lebih dulu, dengan cekatan ia membukakan pintu untuk tuannya.
"Silahkan, Tuan." ucap Maya dengan hormat, namun Sadewa tetap diam. Pandangannya lurus ke depan, tanpa membuang waktu ia melangkah keluar dan mengikuti staf yang telah menunggunya di pintu masuk.
Langkahnya mantap dan penuh keyakinan, setiap derap kaki mencerminkan sosok yang tegas dan tak tergoyahkan. Wajahnya dingin, penuh dengan otoritas yang sulit untuk diabaikan. Sadewa adalah sosok yang memancarkan aura kekuasaan, serta setiap gerak-geriknya terukur dengan sempurna.
Staf wanita yang menemaninya membuka pintu sebuah ruangan dengan sikap sopan. "Silakan masuk, Tuan." ucapnya, memberikan jalan bagi Sadewa untuk melangkah masuk.
Tanpa sepatah kata, Sadewa melangkah masuk ke dalam ruangan, tatapannya tetap kokoh dan serius. Suasana di dalam ruangan seakan membeku oleh kehadirannya, menciptakan nuansa yang tak bisa diabaikan. Pandangan Sadewa langsung tertuju pada Saka yang duduk di sofa, sementara seorang wanita sedang berjongkok di hadapannya. Wanita itu berpakaian minim, sedang sibuk dengan lolipop Saka.
Sadewa datang dengan satu tujuan, dan kehadirannya yang kuat memberikan sinyal bahwa apapun yang akan terjadi, Sadewa siap menghadapinya dengan kepala tegak.
“Oh, Sadewa...” Saka menyudahi kegiatannya, menatap Sadewa dengan senyum tipis sebelum mendorong wanita itu menjauh dengan kasar. “Pergilah!” perintahnya.
Wanita itu berdiri dengan kikuk, segera merapikan pakaiannya dan mengelap mulutnya, sebelum melangkah keluar dengan tatapan tertunduk. Pemandangan seperti itu tidak mengejutkan untuk Sadewa. Bagi dia, apa yang dilihatnya adalah hal biasa, bagian dari kehidupan penuh intrik yang mereka jalani. Tidak ada rasa risih atau jijik, hanya sebersit tawa kecil yang berusaha ditahan.
Dasar tolol, pikir Sadewa, sudut bibirnya terangkat sedikit, menyiratkan ejekan dalam diam.
Dengan langkah santai, Sadewa berjalan ke seberang sofa, membiarkan Saka mengambil waktu untuk merapikan diri. Ia duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, sementara tatapannya menelusuri ruangan dengan tenang. Kemewahan di sekitar mereka seperti tenggelam dalam keheningan yang tegang, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan terselubung.
Sadewa menunggu, ia tahu bahwa pertemuan ini akan membawa percakapan yang jauh lebih menarik daripada sekadar interupsi tadi.
“Kenapa tidak menghubungiku dulu kalau mau datang ke sini? Astaga, kamu selalu saja mengganggu,” gerutu Saka setelah kembali dari toilet sambil merapikan kerah kemejanya.
Sementara itu, tatapan tajam Sadewa mengunci pada Saka, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa terganggu. “Tepati janjimu,” ucapnya langsung pada intinya, tanpa basa-basi.
Saka melangkah santai menuju sofa, lalu duduk dengan angkuh. “Kenapa terburu-buru? Santai saja. Aku tidak akan membohongimu,” jawabnya dengan senyum penuh percaya diri.
“Siapa yang akan percaya pada mulut manismu itu, Saka? Dalam bisnis saja, kamu sering bermain curang. Apalagi hanya kontrak kecil seperti ini. Hm?” balas Sadewa disertai seringai tipis.
Sialan! Dia meremehkan ku? batin Saka, marah. Namun, ia dengan cepat mengendalikan emosinya.
Saka berdiri dengan gerakan kaku, jelas tersinggung oleh ucapan Sadewa yang terus meremehkannya. Dengan langkah tegas, ia menuju lemari besar di sudut ruangan dan mengambil sebuah kotak kayu jati berwarna coklat, berisi hadiah dari taruhan yang ia janjikan kepada Sadewa sebelumnya.
Sadewa, yang masih duduk dengan santai di sofa pun menyunggingkan senyum kecil saat melihat ekspresi kesal di wajah Saka. Ada kepuasan terselubung dalam matanya, menikmati bagaimana ucapannya memancing reaksi lawannya.
Kembali ke sofa, Saka membawa sebuah koper berukuran sedang dan kotak kayu berukir itu. Wajahnya menunjukkan ketegangan yang coba ia sembunyikan, namun gerakannya yang terburu-buru tidak bisa menutupi rasa gusarnya.
Bruk!
Saka meletakkan semuanya di meja di depan Sadewa dengan kasar, suara berat itu menggema di ruangan yang seketika terasa lebih sunyi. Sadewa menatap Saka dengan tenang, tetap dengan senyuman kecil yang penuh kemenangan.
“Semuanya ada di dalam sana, dan di koper itu ada cek sebesar tiga milyar, kunci-kunci mobilku—Aston Martin Vanquish, Bugatti La Voiture Noire, Range Rover, dan berkas saham dari Dirgantara Company, sesuai yang aku janjikan di awal,” ujar Saka dengan nada datar, berusaha menutupi ketegangan yang mulai merayapi dirinya.
Sadewa terkekeh pelan, tatapannya terarah ke Saka yang duduk di seberangnya, tampak serius. Mata Sadewa menyipit, seolah menikmati setiap detik momen itu. "Cukup mengesankan," ucapnya sambil meluruskan tubuhnya dengan santai di sofa. "Tapi sepertinya, saya tidak butuh semuanya, Saka,"
Saka mendengus. "Ck, kamu terlalu sombong, Sadewa," sahutnya.
Sadewa mengangkat bahu, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Jelas, bukankah kamu tahu saya ini seperti apa?" Ucapannya mengalir dengan nada santai, namun tajam. Ia berhenti sejenak, menikmati ketegangan yang mulai terasa di udara, sebelum melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, hampir berbisik, "Apakah rasa sakit dua tahun silam, saat Maha menolakmu, masih membekas di hatimu, hm?"
Deg!
Mata Saka membelalak, wajahnya seketika memucat. Ucapan Sadewa menusuk seperti belati, mengingatkannya pada luka lama yang masih terasa perih. Sejenak ia terdiam, jantungnya berdetak cepat, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan oleh rivalnya.
Sadewa, dengan senyuman kecil yang tak hilang dari wajahnya, menatap Saka seakan menikmati setiap kepingan emosi yang mulai runtuh di hadapannya.
“Jadi benar?” Sadewa bertanya, disertai tawa kecil yang terdengar penuh ejekan. Matanya menatap Saka dengan pandangan penuh kemenangan. “Dan kamu pikir saya itu bodoh? Kamu menggunakan saya sebagai alat balas dendam, bukan?” Sadewa menyandarkan punggungnya ke sofa, tampak santai, namun setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah pisau yang menusuk. “Saka, Saka... permainanmu itu terlalu klasik. Mudah sekali dibaca lawan. Tidak heran jika bisnismu juga tidak berkembang. Strategimu juga terlalu kuno,”
Sadewa menggeleng pelan, seolah menyayangkan keluguan Saka, namun bibirnya tetap melengkung dalam senyuman puas. “Saya menerima tantangan dan taruhan darimu itu, bukan tanpa pertimbangan. Butuh waktu untuk memutuskan, tidak sekedar menerima mentah-mentah. Tapi, tidak apa-apa. Berkat taruhan konyol itu, saya dan Maha akan segera menikah. Jadi, saya harap kamu bisa berbesar hati.” Sadewa menatap Saka dengan penuh arti, menambahkan.
Tangan Saka mengepal di atas pahanya, mencoba menahan gejolak amarah yang membara di dadanya. Kata-kata Sadewa terasa seperti racun yang menggerogoti harga dirinya, membuatnya ingin meluapkan kemarahan dengan cara apa pun. Namun, Saka tahu lebih baik dari itu. Melawan dengan kekerasan hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
Sadewa hanya terkekeh pelan. Sementara Saka berusaha keras untuk tidak membiarkan dirinya runtuh di depan pria yang kini berdiri di atasnya.
“Sayang sekali, ya, ternyata rencanaku untuk memperdaya mu sudah terbongkar,” Saka berkata dengan tawa ringan. Namun, Saka belum selesai. “Selamat, ya, atas hubunganmu dengan Maha. Karena memang, bekas teman itu rasanya lebih nikmat, bukan begitu?” lanjutnya, dengan senyum yang penuh ejekan.
Sadewa mengerutkan keningnya, merasa ada sesuatu yang disembunyikan di balik kata-kata Saka. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Saka mengangkat bahu, seolah-olah yang akan ia katakan adalah hal sepele. “Ck, jangan terlalu polos, Sadewa. Aku dan Maha punya sejarah panjang. Kami berhubungan cukup lama, bahkan sempat tinggal bersama… hmm, sekitar dua tahun,” Ia berhenti sejenak, memperhatikan ekspresi Sadewa yang perlahan berubah. “Jadi, kamu bisa bayangkan apa yang kami lakukan selama itu, bukan? Maha adalah wanita yang sempurna. Siapa yang bisa menahan diri untuk tidak…” Saka tersenyum licik, kata-katanya menggantung di udara, cukup untuk membuat Sadewa mendidih.
Tawa Saka menggema di ruangan, terdengar menjengkelkan dan memicu kemarahan di dada Sadewa. Rahang Sadewa mengeras, namun ia berusaha tetap tenang, tidak ingin memberikan kepuasan pada Saka. Emosi berkecamuk dalam dirinya, namun ia menahan diri, menyadari bahwa ini hanyalah permainan lain dari Saka untuk memprovokasi.
Sadewa mengepalkan tangannya di sisi tubuh, amarah membara di balik ekspresi tenangnya. Pernyataan Saka mengenai hubungan masa lalunya dengan Maha membakar setiap inci kesabarannya. Brengsek, sialan! rutuk Sadewa dalam hati, giginya bergemeretak menahan gejolak emosi yang mendesak keluar.
Namun, Sadewa tidak akan membiarkan dirinya terlihat lemah dihadapan Saka. Dengan senyum tipis yang penuh kepalsuan, ia menatap langsung ke mata Saka. “Hal seperti itu sudah biasa, ‘kan? Masa lalu tidak penting, yang terpenting adalah saya dan Maha sedang menuju ke jenjang yang lebih serius. Dan, yang paling penting, tidak ada penolakan dari Maha.” katanya dengan nada datar yang berusaha menutupi kekesalannya.
Setiap kata yang keluar dari mulut Sadewa sarat dengan kebanggaan yang disengaja, menusuk tepat ke ego Saka. Ia tahu bahwa pernyataannya itu adalah balasan yang lebih menyakitkan daripada sekadar kemarahan. Mata Sadewa memancarkan kemenangan yang ia nikmati, melihat ekspresi Saka yang berubah sedikit tegang. Sadewa merasa puas, meski dalam hatinya ia masih bergelut dengan rasa geram.
Ting!
Suara notifikasi ponsel Sadewa menggema dalam keheningan percakapan mereka, memecah ketegangan yang mulai terasa di ruangan itu. Tanpa ragu, Sadewa merogoh ponselnya dari saku jas dengan gerakan santai.
Saka, yang tengah menunggu respons lebih lanjut, memandang dengan penuh rasa ingin tahu.
Sementara Sadewa tersenyum tipis dan menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan nama ‘Maharani’ yang terpampang jelas di layar panggilan masuk. "Lihat, Saka. Maha menghubungi saya," katanya sambil mengangkat alis, nada suaranya seolah menantang Saka untuk mengatakan sesuatu.
Saka, yang sudah siap dengan segala responnya, justru terdiam, tatapan matanya tetap terfokus pada Sadewa.
Sadewa pun mengangkat ponselnya. “Iya, Sayang… ada apa? Hm?” Suaranya penuh kelembutan, mengalun penuh perhatian, memancarkan kesan bahwa dirinya sangat perhatian pada Maha.
Di sisi lain, Saka yang sedang duduk dengan sikap tegang, menatap Sadewa dengan raut wajah yang sulit dibaca. Ia menahan nafas, menyaksikan dengan seksama bagaimana Sadewa berbicara begitu mesra, seolah-olah seluruh dunia mereka hanya ada di dalam percakapan itu.
“Iya, aku akan pulang. Da... I love you too,” ujar Sadewa, suaranya semakin lembut dan tulus.
Setelah panggilan ditutup, Sadewa menatap Saka dengan senyuman tipis yang penuh arti. Ia tahu, dirinya baru saja memperlihatkan sesuatu yang membuat Saka merasa tersudut, meski ia sendiri tidak begitu menghiraukan reaksi lawannya.
Sadewa beranjak dari kursinya dengan gerakan penuh wibawa, merapikan jasnya dengan tangan yang tenang namun penuh ketegasan. Ia berdiri tegak, menatap Saka yang masih duduk di sofa dengan tatapan tajam yang seolah ingin menembus setiap lapisan kepercayaan diri Sadewa.
"Simpan saja semuanya. Siapa tahu kamu lebih membutuhkannya daripada saya, dan saya pamit dulu, ya. Sepertinya Maha merindukan saya, selamat malam.” Ucap Sadewa. Suaranya datar, namun ada sentuhan sindiran yang mengalir begitu halus.
Senyuman tipis yang memudar seiring Sadewa berbalik badan dan mulai melangkah keluar dari ruang kerja Saka yang mewah itu meninggalkan Saka yang terdiam dengan ekspresi sulit dipahami.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, senyum yang semula tersungging di wajah Sadewa langsung memudar, berganti dengan tatapan nyalang yang penuh kebencian. Nafasnya memburu, menatap kosong ke koridor panjang yang kini tampak begitu sempit.
Brengsek! Apakah bedebah itu mencoba untuk menjatuhkan saya dengan ceritanya?! Dia pikir saya tidak bisa memiliki Maha lebih dari ini?! gerutunya dalam hati.
Langkah Sadewa semakin cepat, penuh amarah yang tersembunyi di balik wajahnya yang tampak tenang. Setiap langkah seolah menggetarkan dirinya, dan bayangan Saka yang masih duduk di dalam ruangan itu mengusik ketenangannya.
Di dalam ruangan yang kini terasa semakin sempit, Saka berdiri dengan tubuh tegang, nafasnya terengah-engah seiring amarah yang meluap. Hatinya bergejolak, darahnya mendidih mendengar ucapan Sadewa yang menusuk begitu dalam. Seolah harga dirinya diinjak-injak tanpa ampun.
Dengan tangan gemetar, Saka menatap botol wine yang masih tergeletak di meja. Tanpa pikir panjang, ia meraihnya dan melemparkan botol itu ke arah dinding dengan sekuat tenaga.
Pyar!
Suara pecahan kaca memenuhi ruangan, menyebarkan potongan kecilnya ke segala arah, seperti serpihan-serpihan amarah yang sulit dikendalikan. Wajah Saka memerah, matanya berkilat penuh kebencian. “Brengsek! Sialan! Dia menghinaku?” teriaknya, suaranya memecah kesunyian yang sempat mengisi ruangan itu.
Tangan Saka mengepal erat, seolah ingin meremas segala kekecewaan yang kini membebani pikirannya. “Apa dia sudah merasa menang setelah ini, huh?!” ia melanjutkan, sesaat menenangkan diri sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Jangan merasa senang dulu, Sadewa. Perjalananmu baru saja kamu mulai. Lihat saja nanti. Aku akan membuatmu menangis.”
Tawa Saka terdengar begitu menyeramkan, tertawa dengan penuh kebencian dan amarah yang tak terkendali. Setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan ancaman yang penuh perhitungan. Ia tahu, ini bukanlah akhir dari segala persaingan mereka.