Warning! Area 21+ yang masih di bawah umur harap tidak membaca novel ini. 🙏😁
Seorang gadis bernama Elisa yang punya segalanya dalam hidup, ia cantik, populer dan kaya raya. Hidupnya begitu sempurna, namun tak banyak yang tahu jika ia mempunyai trauma masa kecil karena penghianatan sang ayah yang menyebabkan ibunya meninggal bunuh diri.
Lima belas tahun berlalu. Sebelum sang ayah meninggal, beliau menulis sebuah surat wasiat yang bertuliskan bahwa seluruh harta kekayaannya akan jatuh ke tangan sang putri tunggalnya. Dengan syarat Elisa harus menikah dan melahirkan keturunan penerus keluarga.
Elisa yang tak percaya dengan adanya cinta sejati mulai mencari cara agar ia mendapatkan warisan tersebut. Dan saat itulah seorang pria sederhana muncul di hadapannya karena meminta Elisa membatalkan penggusuran pemukiman tempat pria itu tinggal.
"Aku akan membatalkan penggusuran itu dengan satu syarat, menikahlah denganku, setelah aku hamil dan melahirkan kamu akan aku bebaskan." Elisa Eduardo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alya aziz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.15 (Long time no see)
Matahari kembali menyapa dari ufuk timur. Cahayanya mulai menembus kaca jendela yang tak tertutup tirai, mata Elisa mengerjap perlahan saat merasa silau menerpa wajahnya. Saat kesadarannya sudah kembali seratus persen, matanya tiba-tiba saja membulat.
"Kenapa aku tertidur di sini." Elisa menoleh kesamping, lagi-lagi ia terkejut karena Reynald juga berada di sampingnya. "Astaga aku pasti sudah gila."
Malam tadi Elisa tiba-tiba saja merindukan Mama. Akhirnya ia memutuskan untuk berbaring sebentar di kamar itu, tak di sangka ia bermimpi buruk. Ia pikir kedatangan Reynald ke kamar itu bagian dari mimpinya tapi ternyata ternyata ia salah, semua itu nyata.
Jadi malam tadi saat aku memeluknya dan merengek agar tidak di tinggalkan itu bukan di alam mimpi? ... Astaga bagaimana aku menghadapi dia sekarang, mau di taruh kemana harga diriku, batin Elisa.
"Kamu sudah bangun."
Elisa terperanjat kaget saat tiba-tiba saja Reynald bersuara. Meski begitu, ia tetap berusaha bersikap normal seperti biasa. "Iya, kamu juga tidur di sini?"
Reynald bangkit dari posisi berbaringnya, menatap Elisa yang masih berbaring di sampingnya. "Kamu tidak tidak ingat malam tadi mengigau dan meminta ku untuk tetap di sini?"
"Ti-tidak, aku tidak ingat." Elisa bangkit dari posisinya dan hendak turun dari atas ranjang tapi langsung di cegah oleh Reynald.
"Kamu mau kemana?" tanya Reynald sambil menggenggam pergelangan tangan Elisa.
"Mau kembali ke kamar, kenapa kamu masih mau disini?"
Reynald menarik tangan Elisa sampai terbaring kembali ke atas ranjang. Saat ini ia berada di atas tubuh Elisa, entah kenapa ia begitu menginginkannya pagi ini. "Malam tadi kita tidak melakukannya karena kamu tidur, jadi pagi ini saja."
"Hey, sejak kapan kamu mes*m seperti ini? Lagi pula aku tidak minum wine jadi aku tidak bisa melakukannya menyingkirlah." Elisa mencoba bergerak namun Reynald bergerak lebih cepat untuk mengunci tubuhnya.
"Apa kamu benar-benar hanya ingin melakukannya saat mabuk? Kamu tau, alkohol itu tidak baik untuk wanita yang ingin mempunyai anak. Jadi mulai sekarang cobalah menikmati semuanya secara sadar dan aku ingin memulainya sekarang."
"Rey kamu--" Elisa tak bisa melanjutkan ucapannya karena Reynald telah lebih dulu membungkam mulutnya.
Pagi itu menjadi pagi yang lebih panas dari biasanya. Saat semua orang bersiap untuk beraktivitas, mereka masih sibuk bergelut dengan surga dunia yang mulai membuat keduanya candu.
Tak ada penolakan, yang ada hanya eluhan-eluhan kecil yang terdengar lirih dari keduanya. Mereka mulai lihai untuk saling mengimbangi, semua memang demi menuntaskan hasrat namun semua berawal dari sentuhan, dari satu titik yang berada jauh di sanubari hingga mengalir dan menyentuh relung hati.
...**...
Setelah pergulatan panas di pagi hari. Reynald kembali beraktivitas seperti biasa di bengkel miliknya. Setelah beberapa jam bergelut dengan mesin akhirnya ia bisa meregangkan otot-otot yang terasa begitu pegal. Ia berbaring di sofa lusuh kesayangannya.
Jack baru saja selesai membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa oli mesin yang menempel. Ia menghampiri Reynald yang sedang memijat-mijat lengannya sendiri. "Minum obat kuat biar nggak gampang capek."
"Ngawur, apaan sih." Reynald terlihat kesal mendengar ucapan Jack.
"Halah, jangan sok nggak ngerti bro. Istri kamu itu cantik, bodynya beh mantap-mantap. Kamu pasti tancap gas tiap hari kan? Ayo cerita." Jack tersenyum penuh arti kepada Reynald.
Reynald menggelengkan kepalanya seraya terkekeh geli melihat ekspresi wajah Jack. "Nggak ngerti lagi aku sama kamu, kalau punya duit cepet nikah deh, kebelet banget kayaknya. Aku cuma lakuin tugas aku agar dia cepet hamil, dah itu aja."
Jack kembali memicingkan matanya, menatap Reynald penuh curiga. "Yang bener? ... Yakin nggak bakal oleng terbawa perasaan. Jaman sekarang temen aja bisa jadi cinta, apa lagi yang udah jelas sah."
"Ya nggak mungkin lah, kamu tahu dia siapa dan aku siapa, sebelum aku mutusin buat nerima tawaran menikah dari dia aku udah kunci ni hati biar nggak baper. Aku yakin dia juga gitu. Kalau na*su itu lumrah namanya juga manusia."
Jack mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. "Iya deh percaya, semoga aja nggak oleng. Kalau sampai kamu cinta bertepuk sebelah tangan lagi kayak waktu sama Sofia, parah sih pasti nyesek."
Reynald hanya terkekeh saat mendengar Jack bicara. Bagaimana tidak temannya itu mengucapkan semua itu dengan ekspresi-ekspresi yang sangat lucu.
"Reynald."
Tawa Reynald mendadak sirna saat melihat wanita yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Ia segera bangkit dari posisinya, berdiri di depan orang itu. "Sofia, kamu ngapain kesini?"
Wajah Sofia nampak begitu murung dan pucat. "Apa kita bisa bicara sebentar?"
Tanpa aba-aba Reynald langsung menarik tangan Sofia ke ke depan bengkel. Baginya Sofia bukan lagi wanita yang harus ia temui.
"Hah dasar wanita bunglon, baru kemarin senyam-senyum bawa tunanganya kesini sekarang wajahnya di tekuk begitu," gumam Jack seraya memandangi kepergian Reynald dan Sofia.
Reynald melepaskan genggaman tangannya dari lengan Sofia. "Kenapa kamu kesini? Aku sudah bilang tidak ingin menemui kamu lagi."
"Aku bertengkar dengan Diki Rey, aku tidak tau mau curhat ke mana kamu satu-satunya teman ku, aku hanya ingin bertemu kamu apa salahnya?"
"Kamu masih belum mengerti juga? ... Lebih baik sekarang kamu pulang, aku tidak mau bertemu kamu lagi dan juga jangan mengeluh padaku lagi, aku bukan tempat pelampiasan, mengerti!" Reynald berbalik hendak melangkah pergi namun Sofia langsung menahan dengan menarik tangan Reynald.
"Rey dengarkan aku dulu." Sofia masih mencoba membujuk Reynald agar tidak lagi marah padanya.
"Aku bilang--" Reynald tak melanjutkan ucapannya saat sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Sofia juga begitu, ia mengalihkan fokus pada mobil yang saat ini menepi di dekatnya.
Saat pintu mobil itu terbuka. Seorang wanita muda cantik dan tentunya sangat modis keluar dari dalam mobil. Reynald dan juga Sofia hanya diam terpaku seraya memandangi wanita itu.
Ya, wanita muda itu adalah Elisa. Ia membuka kacamata hitam yang melekat di matanya. Pandangannya fokus ke tangan Reynald yang saat ini sedang di genggam oleh Sofia. Ia melangkah dengan anggun, mendekat dan langsung menarik tangan Reynald.
"Elisa kenapa kamu bisa di sini?" tanya Reynald pada istrinya itu.
"Tentu saja menyelamatkan kamu dari ancaman titisan pelakor," jawabnya seraya menatap tajam kearah Sofia.
Tatapan mata antara Sofia dan Elisa saling beradu. Seolah saling menyapa masalalu antara mereka yang dulu saling berkaitan. Saat ini mereka kembali di pertemukan dalam situasi yang sudah jauh berbeda.
Namun yang tidak akan pernah berubah adalah aura kebencian yang dulu sempat membelenggu keduanya dalam situasi yang rumit, masih terbawa hingga kini.
"Lama tidak bertemu, Sofia," ucap Elisa lalu tersenyum sinis kepada Sofia.
Bersambung 💓