Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 Ternyata Bu Nindi
Yuna berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Wajahnya yang harap-harap cemas bertambah pias manakala ibu yang ia tolong tadi tidak ada di tempatnya.
"Mana ibu tadi. Ya Allah..."
Tubuhnya terasa lemas. Rasa bingung, panik dan khawatir bersatu menyerang batinnya. Ia berjalan cepat mencari keberadaan Ibu tadi. Terlihat seorang perawat berjalan akan melewatinya.
"Sus, suster tadi melihat Ibu yang duduk di sana? Ibu yang memakai gamis coksu, hijabnya coklat tua. Wajahnya cantik,"
"Sejak tadi saya tidak melihat siapa pun di sana!"
Yuna menekan pelipisnya, ia semakin bingung. Kekhawatiran membuat dirinya berpikiran negatif. Seraya terduduk di sebuah bangku panjang yang tadi diduduki seorang ibu yang merintih kesakitan. Di tengah kebingungannya, seorang OB menghampirinya,
"Mbak yang tadi membawa ibu Nindi ke mari bukan?"
Yuna yang menutupi wajah dengan kedua tangannya, perlahan membukanya. Ia menatap OB tersebut dengan lekat.
Seorang OB perempuan separuh baya tengah menatapnya dengan serius. Di tangannya sebuah MOP untuk membersihkan lantai.
"Ibu Nindi, siapa dia? Aku tidak mengenalnya," kata Yuna bingung.
"Ibu yang tadi duduk di sini. Yang sedang menahan sakit karena tidak diperbolehkan masuk lantaran belum bayar administrasi," jelasnya memberitahu.
"Jadi Ibu melihatnya, Ibu mengenalnya?" tanya Yuna dengan wajah berbinar seolah menemukan sebuah harapan.
OB tersebut mengangguk, "Hampir semua karyawan rumah sakit ini mengenal beliau, Mbak. Kecuali karyawan baru."
OB tersebut tanpa ragu menjelaskan perihal yang sebenarnya, karena OB tersebut sudah puluhan tahun bekerja di rumah sakit tersebut.
"Aku tidak peduli siapa dia. Yang aku khawatiri adalah kondisinya sekarang. Bu, beritahu aku, dibawa ke mana Ibu tadi, terus bagaimana keadaannya?" tanya Yuna cemas.
"Beliau langsung mendapat tindakan setelah bertemu dokter Amanda. Lalu dokter Amanda meminta dokter spesialis segera menanganinya," jelas OB tersebut benar adanya.
"Benarkah? Tapi tadi suster bilang harus daftar dulu sebelum ditangani. Mereka tadi tidak mau menangani Ibu, makanya aku tinggal sebentar untuk mencari pinjaman. Ini aku sudah dapat pinjamannya. Sebentar aku ke bagian administrasi dulu ya!"
Baru saja Yuna hendak beranjak dari tempat itu, OB tersebut menahannya.
"Tidak perlu. Ibu Nindi masuk sini tidak perlu bayar,"
"Lho kenapa? Tadi saja aku memohon sama suster, ditolak karena aku belum bisa bayar..."
Yuna masih bingung dengan ucapan OB yang melarangnya untuk membantu bu Nindi secara finansial.
"Karena mereka tidak tahu siapa Bu Nindi. Sekarang simpan uang itu buat kebutuhanmu. Kamu orang baik. Bu Nindi beruntung bisa bertemu denganmu,"
Beberapa saat kemudian, OB tersebut menceritakan kejadian setelah Yuna meninggalkannya seorang diri beberapa jam yang lalu.
Saat itu Bi Sumi tengah mengepel lantai ruang tunggu resepsionis yang dekat dengan ruang tunggu depan ruang UGD. Bi Sumi memperhatikan Yuna dan ibu tersebut dari kejauhan.
Terlihat Yuna meninggalkan ibu tersebut dengan langkah tergesa. Setelah tugasnya selesai, ia menghampiri ibu yang ditinggalkan Yuna karena rasa empatinya. Begitu melihat ibu tersebut, ia terkejut.
"Ya Allah Nyonya Nindi?" OB itu panik melihat Ibu Nindi masih menahan sakit.
"Bi...Su..mi. Ssssshhhhh to...long!"
Tatapan Ibu Nindi penuh harap. Tidak lama kemudian ia tidak sadarkan diri, karena sudah tidak kuat menahan sakit lagi.
Bi Sumi terkejut dan panik melihat Bu Nindi pingsan. Ia memindai ruangan berharap ada dokter yang lewat. Ia memanggil Dokter Amanda yang kebetulan keluar dari pantry.
"Dokter Amanda! Dokter Amanda! Tolong, ini Nyonya Nindi pingsan!" Bi Sumi berteriak dengan suara yang keras dan khawatir.
Amanda segera berjalan dengan tergesa menghampiri Bi Sumi, seraya melihat Bu Nindi yang sudah tidak sadarkan diri. Secangkir teh yang ada di tangannya, ia letakan di bangku tersebut.
"Nyonya Nindi? Ya Allah, Mama? Jadi yang sejak tadi duduk di sini, merintih kesakitan itu Mama Nindi?"
"Iya dok. Aku juga baru tahu, setelah gadis yang bersamanya pergi entah ke mana."
Amanda segera meminta Bi Sumi untuk mencari bantuan agar bisa membawa Bu Nindi ke UGD. Sementara itu, Amanda memeriksa kondisi tubuh Bu Nindi.
"Alhamdulillah denyut nadinya masih ada..."
Bi Sumi berlari ke ruang UGD mencari Suster. Tidak lama kemudian 2 suster membawa brankar.
Suster yang tadi menolak untuk menangani Ibu tadi sempat bingung melihat kepanikan dokter Amanda dan Bi Sumi.
"Bukan kah Ibu ini yang dibawa gadis tadi. Dia belum daftar Bu dokter..." protes salah satu suster yang membawa brankar.
Amanda menatap tajam suster tersebut. Giginya bergemeletuk. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu. Amanda mendengus kesal, namun ia tahan.
"Kamu tidak tahu siapa pasien ini? Ini adalah Nyonya Nindi, ibu dari dokter Dikara! Tolong, bawa segera ke UGD dan berikan perawatan yang terbaik!" kata Amanda dengan suara yang keras dan penuh emosi.
Suster tersebut terkejut dan segera meminta maaf. Ia jadi merasa sangat bersalah.
"Maaf, Bu dokter. Aku tidak tahu kalau pasien ini adalah ibunya dokter Dikara," katanya dengan suara yang sopan.
"Sudah....sudah lain kali lihat dengan benar. Kalau dokter Dikara tahu hal ini, saya tidak tahu apa yang akan ia lakukan terhadapmu. Sekarang beri penanganan yang terbaik buat ibu Nindi!" ucap Amanda tidak ingin mempermasalahkan kejadian yang sudah terjadi.
"Mama Nindi bertahanlah, kumohon..." Amanda membuai bu Nindi dengan kasih sayang.
Tepat di depan ruang UGD, suster meminta dokter Amanda untuk menunggu diruang tunggu.
Dokter Amanda harap-harap cemas. Tanpa berpikir ia menelepon Dikara yang ia anggap masih tunangannya.
"Mas Dika, tolong secepatnya ke rumah sakit! Mamamu kena serangan jantung!"
Belum sempat Dikara menjawab, Amanda sudah menutup ponselnya, karena melihat ada dokter spesialis jantung yang hendak masuk ke ruangan tersebut.
"Dok, tolong tangani Nyonya sebaik mungkin!" pinta Amanda pada dokter yang akan menangani bu Nindi.
"Baik dok! Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Semoga Nyonya masih bisa bertahan," ujar dokter tersenyum.
Amanda tampak cemas, terlihat mondar-mandir lalu berhenti begitu ia mengingat sesuatu.
"Bi Sumi tadi lihat seorang gadis yang membawa nyonya ke sini?"
"Sebelumnya aku sempat lihat, dok. Tapi sudah pergi, entah ke mana. Sepertinya dia orang baik,"
"Ya, tapi kenapa nyonya dibiarkan sendirian di sini?"
"Tadi suster bilang, nyonya belum daftar. Bisa saja gadis itu sedang mendaftarkan nyonya," kata Bi Sumi dengan suara yang lembut.
Dokter Amanda mengangguk dan memikirkan kemungkinan tersebut.
"Tapi kenapa dia lama sekali? Apa mungkin gadis itu tidak memilki uang yang cukup buat mendaftar," gumam Amanda, sambil menatap Bi Sumi.
"Bi Sumi kalau gadis itu datang kembali, bilang makasih padanya karena sudah membantu nyonya," sambungnya.
"Siap dok,"
Amanda berlalu dari hadapan bi Sumi. Ia lantas berjalan menuju ruangannya untuk menunda kepulangannya. Ia ingin menemani bu Nindi sampai mendapat kabar baik dari dokter spesialis jantung.