"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
...****************...
"Kau kenapa?"
Sebuah suara terdengar dari belakang. Aku menoleh, dan di sana Arsen berdiri dengan ekspresi datarnya. Tapi matanya? Entah kenapa, terasa meneliti.
"Nggak apa-apa," jawabku buru-buru, lalu berbalik lagi, menatap ke arah luar.
Tapi langkah kaki Arsen semakin mendekat, lalu tanpa peringatan, dia meraih tanganku. Aku sedikit tersentak.
"Sienna, kau gemetar," katanya, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Aku buru-buru menarik tanganku. "Nggak kok. Aku cuma... dingin."
"Kau nggak kedinginan, kau ketakutan."
Aku diam, menunduk.
Arsen menghela napas, lalu tanpa babibu lagi, dia menarikku ke dalam pelukannya.
"Hei—!"
"Tenang dulu," katanya sambil mengusap punggungku pelan.
Aku menelan ludah. Pelukannya hangat, nggak seperti biasanya. Biasanya dia selalu terasa dingin dan cuek, tapi sekarang...?
"Kau aman sekarang," bisiknya di atas kepalaku. "Nggak ada yang bisa ganggu kau di sini."
Aku mengepalkan tanganku di dadanya, berusaha mengendalikan perasaan yang berantakan.
"Kenapa kau peduli?" tanyaku pelan, masih dalam dekapannya.
Arsen terdiam sebentar, sebelum akhirnya menjawab, "Karena aku sponsormu. Kalau kau nggak baik-baik saja, bagaimana dengan acaraku nanti?"
Aku langsung mendorongnya. "Astaga, aku kira kau beneran peduli!" seruku, mendelik ke arahnya.
Dia cuma menatapku santai. "Aku memang peduli, tapi kau harus sadar posisiku juga."
Aku mendecak kesal. "Brengsek."
Dia hanya mengangkat bahu, lalu menatapku dengan ekspresi sedikit lebih serius. "Pulang yuk."
Aku mengerjap. "Hah?"
"Kau udah nggak nyaman di sini, kan? Mau sampai kapan berdiri di sini sambil mengingat kejadian buruk?"
Aku menggigit bibir. Dia benar.
"Oke, ayo pulang," gumamku akhirnya.
Arsen menatap seseorang di kejauhan—asistennya mungkin, lalu menarik tanganku.
"Kau nggak perlu genggam tanganku," omelku.
"Aku cuma memastikan kau nggak jatuh pingsan."
Aku memutar mata, tapi nggak menepis genggamannya. Setidaknya, untuk sekarang, aku butuh seseorang yang bisa membawaku menjauh dari tempat ini.
...****************...
Begitu masuk ke kamar hotel yang luas, Arsen langsung menoleh ke arah pelayan yang masih berjaga di dekat Nathan.
"Kalian boleh keluar sekarang. Datang lagi besok pagi," katanya datar.
Pelayan itu mengangguk, lalu bergegas keluar tanpa banyak bicara.
Kini, di dalam ruangan VIP itu hanya ada kami bertiga—aku, Arsen, dan Nathan yang masih tidur nyenyak di tempat tidurnya.
Arsen melepaskan jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Aku mengira dia akan langsung sibuk sendiri seperti biasanya, tapi ternyata dia masih berdiri di depanku.
Dan yang lebih mengejutkan... dia masih menggenggam tanganku.
Aku mengernyit, menatap tangannya yang besar melingkari jemariku. "Arsen, tanganku."
Dia menatapku sebentar, lalu alih-alih melepaskan, dia justru menarikku lebih dekat ke sofa dan mendudukanku di sana.
"Kau mau minum?" ucap Arsen sambil berjalan ke minibar, tangannya sudah meraih salah satu botol air mineral di sana.
"Nggak usah," balasku cepat, tapi dia tetap menuangkan segelas air dan membawanya ke hadapanku.
"Minum saja," desaknya, menyodorkan gelas itu ke tanganku.
Aku menghela napas, akhirnya menerima gelas itu dan menyesapnya sedikit.
"Kenapa tiba-tiba peduli?" tanyaku, menatapnya sambil memutar gelas di tanganku.
"Karena kau terlihat seperti seseorang yang butuh bantuan," jawabnya datar, duduk di sebelahku dengan tatapan tetap tajam.
"Aku baik-baik saja," elakku, mencoba terdengar meyakinkan.
"Bohong," potongnya cepat, tanpa ragu.
Aku langsung menoleh, mendelik ke arahnya.
"Kau sok tahu sekali," gumamku, merasa jengkel.
Arsen hanya diam, tapi tiba-tiba tangannya terulur, menyelipkan rambutku ke belakang telinga dengan gerakan lembut.
"Dulu, aku pernah melihat mata seperti itu," bisiknya, masih menatapku lekat-lekat.
"Mata seperti apa?" tanyaku lirih, nyaris tanpa sadar.
"Mata seseorang yang berusaha terlihat kuat, padahal sebenarnya rapuh," ucapnya pelan, tapi langsung menohok tepat di dadaku.
Aku tercekat.
Dada ini langsung terasa sesak. Rasanya seperti seseorang baru saja menarik paksa perasaanku keluar dari tempat persembunyiannya.
"Aku nggak rapuh," sangkalku, mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Terserah kalau kau mau menyangkal," gumamnya, tetap menatapku tanpa berkedip.
Aku menggigit bibir, menahan perasaan yang sejak tadi berkecamuk. Tapi semakin kutahan, semakin sesak rasanya.
Sial. Aku benci ini.
Tiba-tiba, sebuah tangan besar menggenggam jemariku. Hangat.
"Menangislah kalau mau," bisiknya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Saat itu juga, pertahananku runtuh.
Air mata yang kutahan akhirnya jatuh begitu saja. Aku mengepalkan tangan, berusaha menahan isakan, tapi sia-sia.
Arsen tidak bicara apa-apa lagi. Dia hanya duduk di sana, tetap menggenggam tanganku, membiarkan aku menumpahkan semuanya.
Butuh beberapa menit sebelum akhirnya tangisanku mereda. Aku mengusap wajah, menarik napas panjang, lalu menoleh ke arahnya.
"Maaf," bisikku serak, suaraku nyaris habis karena menangis.
"Tidak perlu. Aku nggak akan menghakimimu," balasnya, mengangkat bahu santai seolah hal tadi bukan masalah besar baginya.
Aku terdiam, menatapnya dalam diam. Kata-katanya... anehnya membuatku sedikit lebih tenang.
Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa aku nggak sendirian.
...****************...
"OEEKK.. OEEKK.."
"Eh, kok malah nangis?" ucapku buru-buru saat suara tangisan Nathan mendadak memenuhi ruangan.
Aku langsung bangkit dari sofa, mendekati ranjang tempat Nathan tidur.
"Kontak batin sama aku ya, Nak?" celetukku sambil mengusap pipinya yang memerah karena menangis.
Arsen mendekat, berdiri di sampingku sambil mengamati Nathan yang masih merengek.
"Mungkin dia lapar," gumam Arsen, melirikku sekilas.
Aku menatapnya balik. "Mungkin juga dia cuma nggak suka lihat bapaknya sok cool gitu," sahutku asal.
Arsen mendesah pelan. "Sekarang bukan waktunya bercanda, Sienna," ucapnya, menatapku dengan ekspresi datarnya yang khas.
Aku mendengus kecil, lalu dengan hati-hati menggendong Nathan. "Iya-iya, sini sama tante dulu, ya," bisikku lembut sambil menepuk punggung kecilnya.
Tangisan Nathan masih terdengar, meski volumenya mulai menurun. Aku berjalan mondar-mandir sebentar di kamar, mencoba menenangkannya.
"Kau mau susuin dulu?" tanya Arsen, berdiri dengan tangan di saku celana.
Aku meliriknya sekilas. "Kau nggak mau keluar dulu?" tanyaku balik, menaikkan sebelah alis.
Arsen menatapku datar. "Untuk apa? Aku sudah sering lihat," jawabnya santai.
Aku langsung mendelik tajam. "Kau ini…!" desisku, nyaris melempar bantal ke arahnya.
Dia hanya mengangkat bahu, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. "Cepat susui saja, biar dia tidur lagi," balasnya tanpa dosa.
Aku mendengus, lalu duduk di sofa dengan Nathan di pangkuanku. Meski masih kesal, aku tetap melakukan tugas baruku sebagai ‘ibu ASI dadakan’ untuk anak ini.
Sementara itu, Arsen duduk di sofa seberang, menatap Nathan dengan tatapan yang sulit diartikan.
Aku meliriknya sekilas, lalu bergumam pelan, "Aku tetap nggak terima kalau kau bilang udah sering lihat…"
Arsen hanya tersenyum tipis. "Tapi itu fakta," balasnya santai.
Aku mendengus, memilih fokus pada Nathan daripada meladeni pria menyebalkan ini.
.
.
.
Next 👉🏻