Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Terpaksa Tanda Tangan
Rumi masih duduk kaku di kursinya, map dokumen itu masih terbuka di pangkuannya. Jemarinya bergetar saat menatap halaman terakhir, di mana sebuah garis kosong menanti tanda tangannya. Wajahnya pucat, bukan karena sakit semata, melainkan tekanan yang tak bisa ia elakkan.
Julian bersandar di kursi seberang, tubuh tegak dan tatapan tak bergeming. Kedua tangannya terlipat, ekspresinya tenang, nyaris tanpa emosi—namun justru di situlah kekuatannya. Ia tahu, Rumi sedang terpojok.
“Jadi bagaimana?” Suara Julian akhirnya terdengar kembali, dalam dan dingin. “Tanda tangan sekarang, atau saya anggap kamu memilih menanggung hutang almarhum suamimu.”
Rumi menggigit bibir bawahnya. Kata-kata itu bagai pisau yang menekan pelan namun dalam ke ulu hati. Ia ingin melawan, ingin menolak, tapi setiap jalan terasa buntu. Wajah ibu mertuanya Julian yang penuh kebencian melintas di benaknya, begitu juga adik iparnya Julian yang selalu mencibir keberadaannya. Jika ia pergi, ke mana ia harus pulang? Meski rumah Ibunya terbuka lebar untuknya..
Nap breath pendek terdengar, lalu Rumi meraih pulpen di atas meja. Dengan tangan gemetar, ia menorehkan tanda tangannya di atas kertas putih itu. Satu demi satu huruf namanya tergores, seakan menyegel takdir baru yang tak pernah ia bayangkan.
Julian hanya menatap, lalu tersenyum samar—senyum tipis yang lebih mirip guratan kemenangan. “Bagus,” katanya datar.
Tak lama, ketukan pintu terdengar. Seorang pria berjas rapi masuk, membawa tas kerja hitam. “Selamat pagi, Pak Julian,” sapa pria itu hormat.
“Masuk, Pak Herman,” jawab Julian singkat. “Surat perjanjian sudah ditandatangani. Segera sahkan, sekaligus selesaikan berkas terkait kasus penggelapan Bisma.”
Pengacara itu mengangguk, mengambil map dari tangan Rumi yang kini kosong. Tatapannya sempat melirik singkat pada Rumi, sebelum kembali fokus ke pekerjaannya. Ia duduk sebentar di meja kecil dekat jendela, mengecek lembar demi lembar dokumen, lalu menstempel dan menandatangani dengan rapi.
“Dengan ini, status hukum jelas, Pak. Ibu Rumi tidak lagi dibebankan tanggung jawab finansial, asalkan menjalankan kewajiban sesuai perjanjian ini,” jelas Arman.
Rumi hanya terdiam, menunduk dalam. Rasanya ia ingin menangis, tapi air matanya seolah sudah habis.
Julian mengangguk tipis. “Baik. Kamu boleh kembali ke kantor. Pastikan tim legal mendapat salinan secepatnya. Kemudian, selidiki asset-asset milik orang tuanya Bisma. Kalau perlu disita. Dan, jika masih ada orang di rumah Bisma, segera diusir, hari ini juga!” perintahnya.
“Siap, Pak.” Herman berdiri, pamit, dan meninggalkan ruangan.
Keheningan kembali merayap.
Rumi menghela napas panjang, suaranya lirih. “Jadi … mulai hari ini saya resmi jadi pelayan Anda.”
Julian menoleh singkat, lalu kembali membuka dokumennya yang lain. “Bukan pelayan. Saya menyebutnya tanggung jawab. Anggap saja, kamu masih beruntung tidak harus masuk penjara seperti orang-orang lain yang terlibat. Kamu mengurus Kenzo dan keperluan pribadi saya!”
Rumi menatapnya tak percaya. “Bapak benar-benar dingin sekali ….”
Julian tidak menanggapi. Ia hanya menuliskan sesuatu dengan pulpen peraknya, seolah percakapan barusan tidak layak mengusik konsentrasinya.
***
Tak lama kemudian, pintu ruangan kembali diketuk. Kali ini seorang dokter kandungan wanita masuk, ditemani seorang perawat membawa tray berisi perban baru dan perlengkapan steril.
“Selamat pagi, Ibu Rumi,” sapanya ramah. “Saya datang untuk mengecek bekas operasi caesar Anda, sekaligus mengganti perbannya. Apakah Anda sudah merasa lebih nyaman?”
Rumi mengangguk kecil, meski wajahnya tetap canggung.
Julian berdiri, memberi instruksi singkat. “Nia, tutup tirai ranjangnya.”
Nia yang sejak tadi mendampingi, lekas menarik tirai tebal berwarna putih susu, menutup sisi ranjang agar prosedur medis tak terlihat dari luar.
Rumi perlahan berbaring, wajahnya meringis ketika dokter membuka perban lama. Sensasi dingin antiseptik menusuk kulitnya, disusul rasa perih halus. Dokter itu bekerja teliti, sementara perawat menyiapkan perban baru. Lalu, perawat itu tak sengaja melihat baby Kenzo yang masih tertidur di boks. Wajah perawat itu menegang dan langsung melengos seakan habis melihat hantu.
“Bukankah bayi itu—“ Perawat itu kembali menatap Rumi dengan perasaan speechlees.
“Luka sayatannya cukup baik, tidak ada tanda infeksi,” jelas dokter. “Namun ada sedikit iritasi akibat tekanan otot, wajar jika kadang terasa nyeri. Nanti setelah pulang, jangan terlalu banyak aktivitas berat dulu, ya.”
“Baik, Dok,” jawab Rumi pelan.
Setelah beberapa menit, perban baru terpasang dengan rapi. Dokter itu tersenyum hangat. “Selesai. Oh, satu hal lagi, Pak Julian,” katanya sembari merapikan sarung tangan medisnya.
Julian yang berdiri tak jauh dari tirai, menoleh. “Apa?”
Dokter itu menatap sejenak, lalu berkata serius, “Kami menerima hasil laboratorium terkait jus jeruk yang kemarin diminum Ibu Rumi. Ternyata, minuman itu mengandung obat diet keras yang seharusnya tidak boleh diminum sembarangan. Ditambah lagi bercampur dengan obat nyeri yang sudah beliau konsumsi, itu yang menyebabkan perutnya semakin sakit.”
Rumi terbelalak, tubuhnya refleks menegang. “Apa? Obat diet?”
Dokter mengangguk. “Untung saja dosisnya tidak banyak. Jika lebih, bisa berbahaya bagi kondisi jantung dan liver. Syukurlah sekarang kondisi Ibu sudah stabil, dan kemungkinan besok pagi sudah bisa keluar dari rumah sakit.”
Julian terdiam beberapa detik. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. Aura dingin yang sudah ada sebelumnya kini bertambah tebal, seakan suhu ruangan menurun beberapa derajat.
“Sungguh keterlaluan Aulia!” gumam Julian.
Julian menghela napas panjang, lalu menoleh ke dokter. “Terima kasih atas informasinya. Saya akan urus masalah ini.”
Dokter mengangguk, lalu memberi beberapa catatan pada perawat. “Baik, kalau begitu saya permisi. Tolong jaga pasien agar cukup istirahat, dan jangan diberikan makanan atau minuman dari luar tanpa dicek lebih dulu.”
Setelah dokter dan perawat keluar, suasana hening kembali menyelimuti ruangan. Rumi menggenggam ujung selimutnya, wajahnya penuh rasa takut.
Julian berdiri di sisi ranjang, menatapnya lama. “Mulai hari ini, kamu tidak boleh menerima makanan atau minuman selain dari tangan saya, atau Nia. Mengerti?”
Rumi hanya bisa mengangguk, meski hatinya masih bergolak.
Julian kemudian menarik kursi, duduk di samping ranjangnya. “Sekarang beristirahatlah, biar besok kamu benar-benar sehat saat keluar dari rumah sakit.”
Bersambung ... 💝