Kara sangat terkejut saat Ibunya tiba-tiba saja memintanya pulang dan berkata bahwa ada laki-laki yang telah melamarnya. Terhitung dari sekarang pernikahannya 2 minggu lagi.
Karna marah dan kecewa, Kara memutuskan untuk tidak pulang, walaupun di hari pernikahannya berlangsung. Tapi, ada atau tidaknya Kara, pernikahan tetap berlanjut dan ia tetap sah menjadi istri dari seorang CEO bernama Sagara Dewanagari. Akan kah pernikahan mereka bahagia atau tidak? Apakah Kara bisa menjalaninya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ririn Yulandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan
Akhirnya setelah terjebak macet selama kurang lebih tiga puluh menit, aku dan Mas Saga sampai di rumah dengan tubuh yang sama-sama lelah. Kami langsung bergegas ke kamar agar bisa membersihkan diri. Tapi, aku membiarkan agar Mas Saga yang lebih dulu memakai kamar mandi, sementara itu aku akan menyiapkan pakaian untung kami.
Tapi, sebelum Mas Saga masuk ke kamar mandi. Laki-laki itu menawarkan sesuatu kepadaku. "Kamu ga mau mandi bareng aja, sayang?"
Sontak pipiku bersemu merah mendengarnya, dengan malu aku berusaha berbalik agar tidak menatapnya yang kini hanya memakai handuk di pinggangnya.
"Ih, apa sih, Mas. Udah sana Mas duluan aja, aku mau siapin baju dulu."
Sambil tertawa Mas Saga kemudian menjawab. "Ya, udah. Mas tungguin sampai kamu selesai dan kita bisa mandi bareng," godanya.
"Mas! Sana ih duluan aja, hobi banget godain aku!" seruku merungut kesal.
Mas Saga bukannya takut malah tergelak mendengar omelanku lalu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi saat melihat aku akan memberikan amukan kemarahan lagi padanya.
Hanya sekitar lima menit mungkin Mas Saga di dalam kamar mandi, dan kini laki-laki itu sudah kembali keluar dengan memakai handuk sebatas lutut dan air yang masih menetes di helaian rambutnya. Walaupun sudah memasuki bulan ketiga pernikahan kami, tapi melihat itu tetap saja aku masih merasa malu dan canggung, apalagi kami yang jarang ketemu dan baru dua hari dan seterusnya akan tinggal satu atap terus.
Padahal Mas Saga hanya sebentar sekali di kamar mandi, tapi wangi laki-laki yang berstatus suamiku itu sudah tercium dalam jarak beberapa meter.
"Cepat banget kamu selesainya, Mas," kataku pada Mas Saga begitu dia menghampiriku dan memberikan sebuah handuk padaku, yang tanpa perlu di pertanyakan lagi. Laki-laki itu memintaku agar membantunya mengeringkan rambutnya.
"Tapi tetap wangi 'kan," kata Mas Saga begitu duduk di depanku, sedangkan aku duduk di atas kasur mulai menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, agar segera kering.
Aku mengangguk mengiyakan, karna memang begitu kenyataannya. Dia tetap wangi walaupun hanya memerlukan waktu yang terbilang sebentar untuk membersihkan diri. Mungkin kalau itu aku, dalam waktu lima menit baru selesai cuci muka dan menggosok gigi saja belum yang lainnya.
Selesai dengan itu aku pun berlalu masuk ke kamar mandi, tentu saja untuk membersihkan tubuhku yang rasanya sudah lengket sekali karna keringat akibat dari bekerja seharian full. Setelah mandi dan lengkap memakai piyama, aku turun kebawah niat untuk memasak tapi ternyata Mbak Novia dan Mbak Sarti sudah menyiapkannya di meja. Padahal aku sudah mengatakan biar aku saja yang memasak, tapi kedua orang itu tetap melakukan tugasnya dengan baik. Mungkin karna melihat aku yang baru sampai di rumah bersama Mas Saga ketika hari mulai gelap dan kami tampak kelelahan.
Aku pun segera memanggil Mas Saga untuk turun makan malam, tak lupa mengajak Mbak Sarti dan Mbak Novia bergabung tapi tentu saja kedua orang itu menolak dan beralih pamit ke dapur, mungkin karna masih senggang dan kami, apalagi aku yang baru terbilang tinggal dua hari dirumah ini.
...****...
Hari berlalu begitu cepat, setelah selesai makan malam tadi, aku dan Mas Saga langsung kembali kekamar karna ada Mbak Novia dan Mbak Sarti yang akan membereskan piring-piring kotor dan tadi juga mereka pamit pulang ketika semuanya sudah bersih, aku pun mengiyakan tak lupa mengucapkan terimakasih.
Kini aku dan Mas Saga tengah berbaring diatas kasur kami, Mas Saga tampa ragu memeluk tubuhku erat. Membuat aku yang diperlakukan seperti itu tentu saja sedikit gugup, karna walaupun sudah memasuki bulan ketiga menikah masih bisa di hitung jari kebersamaan kami. Jadi, rasa-rasanya kami ini masih terhitung pengantin baru sekali.
Aku perlahan mengelus rambut Mas Saga, gerakan lembut jemariku membuat suamiku semakin nyaman. Mas Saga balas mengelus perutku dengan kehangatan, lalu dengan suara lembut, ia berbisik, "Kara, Mas jadi membayangkan kalau nanti ada bayi kecil di sini, di antara kita."
Aku tersenyum tipis mendengarnya, sedikit tertawa sambil tetap mengelus rambutnya. "Mas, baru juga tiga bulan kita menikah, sabar dulu," kataku, meski hatinya turut berharap hal yang sama.
Namun, Mas Saga tak menyerah dan menatapku penuh harap. "Tapi, kamu ada ngerasa tanda-tanda, nggak? Siapa tahu sudah ada calon bayi di perut kamu, sayang."
Aku menggeleng sambil tersenyum kecil. "Belum ada tanda-tanda, Mas. Tapi kalau pun nanti ada, Mas yang pertama aku kasih tahu."
Mas Saga tersenyum puas sambil memeluk Kara lebih erat. "Mas nggak sabar nunggu kabar baik dari kamu," gumamnya. "Tapi yang penting sekarang, Mas senang bisa di sini sama kamu."
Aku hanya tersenyum menanggapi.
Lalu Mas Saga kini bergantian mengelus lembut bahuku sambil bertanya, "Ngomong-ngomong, gimana perasaan kamu di hari pertama masuk kantor baru? Pasti rasanya campur aduk, ya?"
Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. "Iya, Mas. Senang sekaligus agak gugup, tapi lebih ke senang sih. Aku udah mulai kenal beberapa teman kantor, terus mereka juga baik-baik. Ada Disha, Galih, Yusri, sama Mbak Maura yang sering bantuin aku tadi. Bos aku, Pak Handoko, juga ternyata ramah banget."
Mas Saga mengangguk penuh perhatian. "Wah, kedengarannya menyenangkan. Kalau begitu, kamu pasti bakal betah di sana. Ada hal yang bikin kamu khawatir nggak, sayang?"
Aku berpikir sejenak, lalu berkata, "Mungkin cuma khawatir belum terlalu paham sama semua sistem kerja di sana. Tapi aku yakin lama-lama pasti bisa menyesuaikan."
Mas Saga mengusap punggungnya dengan lembut. "Santai aja, sayang. Nggak perlu buru-buru, yang penting kamu nyaman dan nikmatin prosesnya. Kalau ada apa-apa, kan selalu ada aku buat dengerin cerita kamu."
Aku tersenyum hangat dan mengeratkan pelukanku pada Mas Saga. "Iya, Mas. Makasih ya, udah selalu support aku." Aku menatap Mas Saga yang terlihat nyaman di sampingku, lalu bertanya pelan, "Kalau Mas sendiri, gimana hari ini di kantor? Sibuk atau ada hal seru?"
Mas Saga tersenyum tipis sambil mengangguk. "Iya, lumayan sibuk. Tadi banyak rapat dan deadline yang mesti diselesaikan. Tapi semuanya lancar kok, cuma memang agak melelahkan."
Aku mendengar itu sambil mengelus lembut punggung Mas Saga, menatapnya penuh perhatian. "Pantesan tadi kelihatan lelah banget. Mas, jangan terlalu memaksakan diri, ya. Apalagi sekarang kita kan sudah serumah, kalau capek ya istirahat dulu."
Mas Saga tertawa kecil sambil mengusap tanganku yang ada di punggungnya. "Iya, iya, Mas ngerti kok. Rasanya malah tambah semangat kerja karena sekarang ada kamu yang nunggu di rumah."
Aku tersenyum lebar, merasa hangat mendengar kata-kata Mas Saga. "Kapan-kapan kalau lagi nggak terlalu sibuk, aku bisa bawain bekal ke kantor Mas, gimana?" ujarku mengungkapkan ide yang baru saja terlintas di pikiranku begitu saja.
Mas Saga menatapku dengan penuh rasa sayang. "Wah, Mas pasti senang banget kalau kamu bawain bekal. Bisa dibilang kamu jadi alasan terbesar Mas buat tambah semangat kerja tiap hari."
Aku tersipu malu, namun hatiku menghangat mendengar perhatian dan dukungan Mas Saga. Sambil mengeratkan pelukan kami, aku merasa bersyukur bisa bersama suami yang begitu menghargai kehadiranku.Tersadar dijodohkan tidak seburuk itu, apalagi dengan orang yang tepat.
Contohnya aku yang sangat bersyukur di jodohkan dengan orang tepat dan itu adalah Mas Saga suamiku. Dalam hati aku merasa sedikit bersalah karna dulu terang terangan menolak, tapi kini sangat berterimakasih kepada kedua orang tuaku yang tidak salah memilihkan aku suami. Walaupun mungkin aku belum terlalu mengenal Mas Saga karna pernikahan kami masih terbilang masih baru, tapi untuk itu aku sangat bersyukur.