dr. Pramudya Aryatama, Sp. An. harus terpaksa menikahi saudari sepupu dari mendiang istrinya karena desakan keluarga, juga permintaan terakhir Naina. Belum lagi putranya yang berusia 2 tahun membutuhkan kehadiran seorang ibu.
Bisakah dr. Pram menerima Larasati sebagai istrinya, sedangkan ia sendiri masih begitu terpaku pada kenangan dan cintanya pada mendiang istrinya? Lalu bagaimana Larasati harus menghadapi sosok pria seperti dr. Pram yang kaku juga dingin dengan status dirinya yang anak yatim piatu dan status sosial jauh di bawah keluarga pria itu.
Banyak hal yang membentengi mereka, tetapi pernikahan membuat mereka menjadi dua orang yang harus saling terikat. Bisakah benih-benih perasaan itu hadir di hati mereka?
Jangan lupa subscribe biar dapat notifikasi updatenya, ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan yang Ada
Mama Ajeng berdiri, dan Laras mencegah langkah sang mertua, tapi langkah mereka terhenti ketika Leon Danishwara dan sang istri berdiri di ambang pintu rumah itu. Tatapan keempat orang itu beradu saling tatap penuh ketegangan dan netra menajam, berbeda dengan Laras yang menyimpan kemarahan di dadanya.
"Hai, Ajeng! Lama tak berjumpa!"
Leon Danishwara berdiri di depan ambang pintu masuk, dengan salah satu tangan tersembunyi di balik celana dasar kain yang pria itu kenakan. Suci Dafina--istrinya juga berdiri di samping pria itu, menatap Mama Ajeng dan Laras dengan senyum penuh maksud.
"Tante ... Om, kalian kemari?" tanya Laras dengan tatapan memicing curiga. Meski kemarahan harus ia tahan dengan apa yang Pamannya telah lakukan.
"Kenapa kalian tampak begitu terkejut seperti itu?" tanya Leon Danishwara dengan tatapan mengejek.
Leon dan Suci berjalan menghampiri Mama Ajeng dan Laras yang masih berdiri terpaku di dekat sofa ruang tamu.
"Wah, apa kalian ingin merencanakan sesuatu?" tanya Mama Ajeng setelah mendapatkan kesadaran dari rasa terkejutnya.
"Apa yang terjadi di sini?"
Sebuah suara lain dengan langkah kaki tegasnya memasuki ruang tamu. Dokter Pram menatap tajam semua orang, duduk santai di sofa samping Laras, menatap dua orang di seberangnya dengan tajam.
"Setelah membuat huru-hara sekarang Om Leon ingin menciptakan masalah lagi?" tanya Laras kesal.
"Hahaha, kamu dan Naina bodoh dan naif sekali, Laras! Tentu saja kami harus meraup keuntungan setelah merawat kalian bertahun-tahun. Bukan begitu, Ma?" ujar Leon Danishwara terkekeh.
Suci Dafina tersenyum, "kamu kira merawatmu bertahun-tahun tidak mengeluarkan biaya apapun. Orang tuamu sudah bangkrut dan tidak menyisahkan sedikitpun dari hartanya padamu, Laras!" Senyum licik tersungging.
Laras terpaku. Rasa sesak merasuk di dadanya. Jadi, selama ini semua yang dilakukan sang Om dan Tante hanyalah sebuah sandiwara. Semua perhatian dan kasih sayang mereka selama ini hanyalah kamuflase untuk mengelabui semua orang.
"Tante!" ujar Laras bergetar.
Dokter Pram menatap dingin dua orang itu, menggenggam tangan Laras yang dingin dalam lingkup tangan besarnya.
"Lalu apa yang sekarang kalian inginkan?" tanya Dokter Pram tajam.
Leon Danishwara terkekeh, "tidak kami hanya ingin mengunjungi pion kami saja, dan sedikit bermain."
Pion? Hah, rasanya Laras ingin memaki sekarang. Ia hanya dijadikan pion oleh pria setengah baya yang telah ia anggap seperti ayahnya sendiri ini.
"Kalian sangat membuatku muak, Danishwara! Berapa banyak rencana licik yang telah kamu lakukan pada keluargaku?" Mama Ajeng menatap dingin dengan dada kembang kempis menahan amarah.
"Berapa banyak ya? Berapa banyak, Ma?" Leon menoleh pada sang istri di sampingnya.
"Ehm .... Menjebak Pram dengan Naina dengan 10% saham, membuat Naina hamil dengan mendapat satu apartemen yang Pram berikan karena merasa bahagia karena kehamilan Naina, menikahkan Laras dan Pram dengan beberapa bidang tanah yang diberikan Aditya. Wah, banyak juga, Pa!" ujar Suci Dafina berbicara santai.
"Kalian berdua brengsek!" geram Mama Ajeng berdiri hendak menyerang dua orang itu, tapi Pram menahan sang ibu.
"Sekarang, apa lagi yang kalian inginkan?" Pram berucap dingin.
"Berikan dua gedung kalian yang di Jakarta ini atas namaku, atau 10% sahamku di Aryatama kuberikan pada Nicholas dengan senang hati karena dia akan menukarnya dengan yang lebih banyak," jawab Leon dengan tatapan menajam.
Suasana tegang tercipta di ruang tamu itu, Bi Darti yang hendak mengantarkan minum pun tak jadi dan kembali berbalik ke dapur. Laras meremas jemari Dokter Pram yang ada dalam genggamannya, merasa sakit hati akan apa yang Om dan Tantenya bicarakan. Kenapa mereka setamak ini?
"Kita bicarakan itu bersama Papaku. Sekarang kalian angkat kaki dari sini, jangan pernah injakkan lagi kaki kalian di rumahku!" ucap Dokter Pram dingin, menunjuk pintu keluar.
"Baiklah. Kami pun juga sudah tidak nyaman berada di sini. Ah, satu lagi! Laras, kamu harus bersyukur karena aku menikahkanmu dengan Pram, bukan jadi istri ketiga tua bangka Hertanto itu, hahaha!" Leon Danishwara menunjuk Laras tajam dengan kekehan geli.
Leon bangkit diikuti Suci Dafina yang dari tadi berwajah datar. Tidak ada lagi pelukan dan kecupan sayang dari Tantenya itu untuk Laras. Laras merasa hancur, orang-orang yang ia percayai dan sayangi seperti ini menghancurkan hatinya. Rasanya perih sekali.
Begitu Leon dan Suci hilang dari pandangan mereka, Mama Ajeng masih merasakan kemarahannya.
"Kamu lihat sendiri, Laras? Apa yang keluargamu itu lakukan pada keluarga kami!" Mama Ajeng bangkit dan berlalu pergi tanpa berpamitan pada putranya yang sudah mengeluarkan aura tak bersahabat dari tadi.
Ruang tamu itu kini hanya menyisahkan Laras dan dr. Pram yang masih terpaku. Keduanya saling diam, Laras bangkit melepaskan genggaman tangan mereka, berjalan berlalu menuju kamar. Rasanya dadanya amat sesak, dia butuh melepaskan sesak ini.
"Mama, Papa! Kenapa kalian meninggalkanku sendirian menghadapi dunia penuh sandiwara ini, rasanya sakit sekali, Ma!"
Laras mengusap potret kedua orang tuanya. tetesan bening meluncur dari kedua matanya membasahi pipi. Wanita muda itu duduk di ujung ranjang, menatap potret orang tuanya dengan perasaan campur aduk.
"Tante suci, Om Leon ... Mereka tidak benar-benar menerimaku sebagai keluarga mereka, Ma. Mereka hanya mementingkan keuntungan mereka sendiri, dan sekarang aku terjebak di sini bersama rasa bersalah dan kesakitan ini ...."
"Tolong bantu aku ... Rasanya perih sekali!" Isak wanita muda itu begitu memilukan, rasa sakitnya seolah telah ia tahan sejak lama.
"Laras, hey!" suara bass dengan nada terkejut itu membuat Laras menoleh pada ambang pintu.
Dokter Pram berjalan masuk dengan langkah lebar, duduk berlutut memegang lutut sang istri. Menatap genangan air mata yang membasahi pipi wanita di depannya.
"Ssttt, kenapa banjir sekali begini hujannya," ucap pria itu lirih, mengusap lembut punggung tangan Laras yang masih memegang potret orang tuanya.
Laras berpaling, "jangan melihatku, Mas! Aku tampak begitu menyedihkan sekarang. Aku paham sekarang kenapa kamu begitu marah kemarin karena apa yang Om Leon rencanakan, karena aku yang mengetahuinya pun sangat sakit."
Dokter Pram menggeleng, menarik wajah Laras agar kembali menatapnya. Tubuh tinggi mereka hampir sejajar, karena meski berlutut pria itu memiliki tubuh yang jangkung, sedang Laras sendiri tubuhnya pendek.
"Kita sudah membicarakannya kemarin, kan? Jadi, sekarang langkah yang kita ambil dengan menghadapi semua ini bersama-sama. Kamu tenang saja, aku dan Papa akan mengatasi semua ini," ujar pria itu mengusap pipi basah sang istri.
"Mama bahkan sangat marah hari ini, dan Papa? Papa bahkan sudah memperlihatkan kalau dia tidak menyukaiku sejak lama, Mas. Tante Suci dan Om Leon pun bahkan meninggalkanku, sekarang apalagi yang kupunya?" isak Laras kembali.
Dokter Pram menggeleng, "hey, kamu punya aku, Bagas, dan si baby. Apa kamu tidak menganggap kami bagian dari dirimu?" tanya pria itu menatap dalam Laras.
"A--aku ... Aku sayang sama kalian, tapi aku--"
"Tenang, Laras! Kemarahan Mama dan Papa tidak akan lama, kamu hanya butuh bersabar. Setelah badai ini kami selesaikan, yakinlah kemarahan Mama akan reda. Sudah menangisnya, ya! Kamu cengeng sekali semenjak hamil," ujar pria itu memberikan senyum hangat.
Laras terpaku. Apa yang pria itu ucapkan, lakukan dan semuanya terlihat tulus serta tampak nyata di matanya. Walaupun rasa cintanya belum terbalas, Laras sudah merasa cukup untuk sekarang karena perubahan sikap Dokter Pram. Dia tidak ingin menuntut terlalu banyak dan bersikap egois.
Laras memeluk pria itu masih dalam posisi mereka yang seperti itu. Ia merasa sedikit lega, meskipun rasa perih di dadanya masih bergelayut menyesakkan.
"I love you, Mas!"
"I know it."
...To Be Continue .......
bikin cerita tentang anak"laras dan pram author .....