Rani baru saja kehilangan kakaknya, Ratih, yang meninggal karena kecelakaan tepat di depan matanya sendiri. Karena trauma, Rani sampai mengalami amnesia atas kejadian itu. Beberapa bulan pasca tragedi tersebut, Juna, mantan kakak iparnya melamar Rani dengan alasan untuk menjaga Ruby, putri dari Juna dan Ratih. Tapi, pernikahan itu rupanya menjadi awal penderitaan bagi Rani. Karena di malam pertama pernikahan mereka, Juna menodongkan pistol ke dahi Rani dan menatapnya dengan benci sambil berkata "Aku akan memastikan kamu masuk penjara, Pembunuh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. (REVISI) Pergi Ke TKP
Rani baru bisa menghela napas lega saat mobil yang ditumpanginya berbelok ke jalan raya. Dengan buru-buru, Rani segera mematikan ponselnya. Hanya soal waktu sampai kedua bodyguard berbadan besar itu mengetahui bahwa Rani telah kabur.
Bian memperhatikan semua gerak-gerik Rani dengan mengernyitkan dahi. Sumpah, dia benar-benar tidak mengerti bagaimana kondisi wanita yang bersamanya itu sekarang.
"Rani, bahaya apa yang sebenarnya mengancam mu? Kenapa kamu sampai harus dikawal bodyguard?" Bian akhirnya membuka suara, ia sudah tak tahan hanya menebak-nebak.
Rani tersenyum kecut mendengar pertanyaan Bian. "Bukan aku yang dalam bahaya. Justru akulah yang dianggap sumber bahaya. Makanya suamiku menempatkan bodyguard untuk mengawasi pergerakan ku,"
"Apa?" Bian menggelengkan kepalanya, ia benar-benar tak habis pikir. "Bahaya apa yang bisa disebabkan oleh wanita cantik seperti mu? Ah, maksudku, wanita muda sepertimu?" Bian memukul mulutnya sendiri yang berbicara sembarangan. Padahal ia yakin sudah menempatkan kata 'cantik' itu di dalam hati, tapi ternyata mulutnya yang lancang malah menyebutkannya secara langsung.
Rani menghela napas panjang. "Ini berkaitan dengan tempat yang akan kita tuju sekarang, Bian. Aku akan menceritakannya padamu nanti,"
Bian mengangguk-anggukkan kepalanya, ia akhirnya bungkam sampai mereka sampai di lokasi yang dituju Rani.
Satu jam kemudian, mobil mewah yang ditumpangi mereka berdua berhenti di pinggir jalan kecil. Rani bergegas keluar dari mobil, dan Bian mengikuti sambil bertanya-tanya. Apa sebenarnya tujuan mereka datang ke sini?
"Beberapa bulan lalu, aku dan kakakku kecelakaan di sini," Rani berbicara sembari tatapannya melihat ke arah jalanan yang sepi. "Dan kakakku meninggal di tempat,"
Bian sontak membelalakkan mata. Ia pernah mendengar tentang kecelakaan itu sebelumnya. Beritanya telah dimuat pada beberapa surat kabar dan televisi. Waktu itu Bian hanya tahu kalau kecelakaan itu menewaskan menantu keluarga Wijaya. Tapi, ia benar-benar tak menyangka sekarang sedang berada di lokasi kecelakaan itu.
"Anehnya, aku selamat dalam kecelakaan, tapi semua ingatanku tentang hari itu menghilang. Makanya suami kakakku, yang sekarang adalah suamiku, menuduh aku lah yang membunuh mantan istrinya,"
"Tunggu, tunggu," Bian berusaha mencerna kalimat Rani. "Jadi suamimu menganggap kamu telah membunuh kakakmu sendiri? Apa itu masuk akal?"
"Menurutnya, itu masuk akal," Rani menelan ludahnya yang terasa pahit. "Dia menikahiku dengan rencana untuk mencari bukti kejahatanku. Dan jika bukti itu sudah ada, dia akan menjebloskanku ke penjara,"
Bian mengusap wajahnya sambil menghela napas panjang. Astaga, ini semua benar-benar rumit. "Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau kabur?"
Rani menolehkan kepalanya menatap Bian. Tatapannya yang berkaca-kaca membuat Bian sontak terdiam.
"Aku juga ingin kabur, tapi kamu tahu sendiri kan betapa powerfullnya keluarga Wijaya? Jika aku tidak mempertahankan pernikahan ini, maka bukan hanya aku yang hancur, tapi keluargaku juga,"
Bian memandang Rani dengan penuh simpati. "Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu mu?"
Rani menggelengkan kepalanya. "Kamu bahkan sudah membantuku untuk yang ketiga kalinya, Bian," Rani menatap laki-laki itu dengan tulus. "Aku sangat berterima kasih padamu,"
Tangan Bian hampir terangkat. Melihat wajah sendu Rani membuatnya ingin bergerak memeluk wanita itu. Tapi, Bian dengan sekuat tenaga menahan keinginannya, karena meskipun saat ini kondisi pernikahan Rani sedang kacau, tetap saja status wanita itu adalah istri orang.
"Lalu, kenapa sekarang kita di sini?" Bian memalingkan wajahnya dari memandang Rani. Ia takut tangan nakalnya akan bergerak lebih dulu ketimbang rasionalitas nya.
"Satu-satunya hal yang membuktikan kalau aku tak bersalah adalah ingatanku, dan aku ke sini untuk mengembalikan ingatan yang hilang itu," Rani menjawab sambil memfokuskan pandangan ke titik lokasi dimana dirinya kecelakaan. Meskipun tak ingat, Rani mengetahui lokasinya dengan akurat dari berita-berita yang telah beredar. Rani terus memandang jalanan itu tanpa berkedip.
Ayo Rani, ingatlah, ingat semuanya! Rani menguatkan dirinya sendiri.
Seperti tersengat listrik, Rani merasa kepalanya berdenyut. Perlahan, ingatan tentang mobil yang ia kendarai bersama sang kakak terlintas. Rani memejamkan matanya. Ia teringat ajaran dr. Pratiwi selama melakukan terapi.
"Rileks Rani, tarik napas.." Rani menirukan arahan dr. Pratiwi. "Ayo fokus ke hari kejadian.."
"Rani!" ingatan tentang Ratih yang memanggilnya dari bangku depan tergambar di kepala. "Kamu masih marah? Ayolah, kita sudah mau pulang, apa kamu tak mau berdamai saja?"
Tangan Ratih berusaha menggapai tangan Rani yang duduk di belakang, tapi Rani segera menepisnya. Mendapatkan reaksi dingin dari sang adik, raut wajah Ratih berubah kecewa.
"Bagaimana kakak bisa melakukan itu? Apa kak Ratih tidak kasihan pada Kak Juna dan Ruby?" Itu adalah suara Rani. Hanya saja, Rani yang sekarang tidak mengerti arah dari ucapannya itu.
"Oke, kakak tahu kakak salah. Kakak juga sudah berusaha menginteropeksi diri, dan sekarang kakak sudah menyesal. Kakak berusaha memendam ini sendirian, tapi kakak sudah tidak kuat lagi. Kakak pikir, dengan bercerita padamu, beban kakak akan berkurang sedikit," Wajah Ratih terlihat lesu. "Tapi sekarang kamu malah marah pada kakak,"
"Jelas saja, siapa yang tidak marah?" Suara Rani terdengar menggebu-gebu. "Kakak kan sudah—"
Di depan mereka, Rani melihat ada seekor kucing yang melintas.
"Rem Kak! Rem!"
Rani sudah berteriak sekuat tenaga, tapi ternyata rem mobil tidak berfungsi. Karena panik, Ratih membanting setir ke arah kanan, tapi di arah tersebut ada sebuah truk tronton yang melaju kencang ke arah mereka.
"Awas Kak!"
Terlambat. Mobil itu sudah berguling-guling, dan adegan saat Ratih memandang Rani dengan tubuh yang penuh darah kembali terlintas.
"Rani.."
"Akhhh!" Rani berteriak sekuat tenaga sembari memegangi kepalanya yang terasa sakit. Saat tubuhnya terhuyung, Bian dengan sigap menangkapnya, mencegah tubuh kurus Rani jatuh ke tanah.
"Rani!" Bian berteriak khawatir. "Kamu nggak apa-apa? Ayo kita ke rumah sakit!"
"Tunggu, Bian," Rani menahan Bian dengan memegang ujung baju lelaki itu. "Aku tidak apa-apa. Tolong antarkan aku ke mobil. Aku hanya perlu istirahat sebentar,"
"Kamu yakin?" wajah Bian terlihat cemas. "Kamu sudah pucat sekali,"
Rani menganggukkan kepala lemah. "Tidak apa Bian, percayalah padaku,"
Setelah berkata begitu, Rani sudah tidak ingat apapun lagi karena sekitarnya terasa gelap, dan ia jatuh pingsan.
kalau sudah jatuh baru mengharapkan bini yg sudah di sakiti!
kalau aku ma ya milih pergi!
ttep suka 🤗