bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sampai rumah lagi
"emmuahhhhh" kembali amira mencium pipi andika
"Dasar wanita gila!" pekik Andika.
tapii kamu suka, kan?"
"Sampai langit runtuh, gua nggak akan suka sama lu!"
"Ingat baik-baik, suatu saat lu akan nangis darah mengharapkan gua kembali."
"Enggak akan!"
Mereka memasuki rumah besar milik Andika.
Para pelayan sudah siap menyambut. Amira langsung menuju kamarnya. Ia segera mandi; sudah dua hari ia tidak mandi. Untung saja Andika belum muntah.
Setelah selesai mandi, Amira membuka lemarinya.
"Suamikuuu!" teriak Amira.
"Ada apa sih, lu berisik banget?"
"Kenapa bajunya kurang bahan semua, dan kenapa semuanya warna pink?"
"Terus mau seperti apa?"
"Gua suka warna hitam sama abu-abu."
"Alah, jaket aja warna hijau."
"Itu baju dinas."
"Udah, pake aja baju yang ada," ucap Andika dalam hati. Ia terkekeh pelan. Dialah yang sengaja memilihkan baju untuk Amira, semua dengan warna mencolok.
Akhirnya, Amira mengenakan piyama bermotif Hello Kitty, lengan pendek dengan celana di atas lutut.
"Gimana, Suamiku? Apakah aku terlihat cantik?"
Sialan, cantik banget dia, batin Andika.
"Jelek! Lu adalah wanita terjelek yang pernah gua lihat," ucap Andika ketus.
"Bohong... bohong..." balas Amira dengan ekspresi tak percaya.
"Emang lu nggak ada niat memperkosa gua?" tanya Amira.
"Dasar gila! Gua baru nemu wanita yang minta diperkosa. Otak lu waras, nggak?"
"Sekarang aja lu ngomong begitu. Nanti lama-lama juga lu mau sama gua."
"Tidak akan! Gua cuma cinta sama Bianka!"
"Cih, dasar payah! Wanita yang sudah ninggalin lu aja masih lu bela segitunya."
"Dia nggak ninggalin gua. Pasti ada alasannya kenapa dia nggak hadir waktu pernikahan."
"Terserah lu lah. Ingat ya, kita cuma kontrak enam bulan. Setelah lu jadi pemilik perusahaan, urusan kita selesai. Dan jangan minta diperpanjang!"
"Semoga prosesnya lebih cepat, biar gua bisa lepas dari cewek modelan kayak lu."
"Gua cuma mau ngingetin, lu bakal jatuh cinta sama gua. Dan saat itu, gua yang bakal ninggalin lu."
"Sana, sana! Pergi! Gua bisa muntah dengernya!" bentak Andika.
Amira turun ke lantai bawah. Kebetulan Renata belum pulang.
Heni, pembantu senior di rumah itu, merasa tidak terima. Bagaimana mungkin tuan muda mereka menikah dengan seorang driver ojol? Harga diri Heni sebagai pembantu senior seolah diinjak-injak.
"Heh, kamu!" seru Heni.
Amira celingak-celinguk, memastikan yang dipanggil memang dirinya.
"Heh, tuli! Ke sini, kamu!" bentak Heni.
Amira memegang dadanya, kaget, lalu berjalan mendekat.
"Iya, senior, ada apa?" tanya Amira sopan.
Heni menatap tajam. "Lu cuma tukang ojek. Jangan harap gua mau melayanin lu. Gua ini art senior di sini."
Amira tersenyum dalam hati. "Wih, ada art model begini, seru nih buat digoda," pikirnya.
"Iya, senior. Ada instruksi?"
"Dengar baik-baik. Sekarang lu yang masak. Dari pagi gua udah capek. Sekarang giliran lu. Gua tahu lu cuma istri kontrak Tuan Andika. Jadi, jangan sok jadi nyonya di sini," ucap Heni ketus.
Amira menahan tawa. "Tapi... kalau Mama Renata tahu, aku bisa dimarahi. Aku kan istri Pak Andika," sahut Amira berpura-pura polos.
"Tenang, gua yang tanggung jawab!" balas Heni cepat.
"Siap, Komandan!" jawab Amira sambil memberi hormat ala tentara.
Heni menunjuk daftar menu. "Masak ini semua. Kalau enak, kerjaan lu besok bakal gampang. Tapi kalau nggak enak..." Heni mengepalkan tinjunya, "...gua hajar lu!"
Amira memegang pipinya dan pura-pura takut.
"Jangan, Senior... Jangan siksa aku..." isaknya, mengundang gelak tawa dalam hatinya sendiri.
Amira membawa daftar menu yang diberikan Heni. Tanpa banyak bicara, ia segera bergerak ke dapur. Dengan cekatan, Amira mulai memotong sayuran dan mengiris daging sapi. Tangannya sangat terampil, seolah sudah terbiasa. Bagi Amira, mengiris daging sapi semudah mengiris daging manusia—pekerjaan lamanya dulu sebagai mantan agen.
Dalam waktu singkat, bumbu diracik, kaldu mendidih, dan aroma harum sop menyeruak memenuhi dapur. Para ART lain mulai mengintip dari balik pintu, penasaran. Belum pernah mereka melihat tukang ojol bisa bergerak seahli ini di dapur.
"Sel-sai," ucap Amira santai sambil menyeka tangan dengan serbet.
Heni mendekat dengan langkah penuh curiga. Ia mengambil sendok kecil dan mencicipi sop buatan Amira. Begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, matanya membelalak. Rasanya luar biasa enak, bahkan lebih enak dari masakan Heni sendiri.
Para ART lain menahan napas menunggu reaksi Heni.
Silakan dicoba lagi, Senior," kata Amira sambil tersenyum lebar, penuh tantangan.
Dalam hati, Heni berkecamuk. Kalau aku bilang aku yang masak, pasti bos kasih bonus, pikirnya penuh ambisi. Namun, ia juga sadar, kalau Amira tahu, bisa-bisa dia malah dikerjai habis-habisan.
Malam pun tiba. Waktunya makan malam.
Renata sudah datang dan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Amira. Gadis itu mengenakan piyama warna pink, tampak segar dan manis.
Bianka cantik karena sering ke salon, kalau dia ini... alami banget. Heran, ada ojol secantik ini, batin Renata, terpukau.
"Dua hari ini kamu ke mana aja? HP nggak aktif, nggak kasih kabar juga," tanya Renata, penasaran.
"Sialan si kutukupret, Nggak bilang-bilang gue dipenjara. Untung dia baik sama bokap gue, kalau nggak, udah gue laporan biar dihukum angkat kaki sambil pegang telinga!" maki amira dalam hati
Amira langsung menjawab dengan senyum kecil, "Aku sibuk dampingi orang tua aku, Mah. Mas Andika juga udah mindahin mereka ke ruang VVIP. Terima kasih banyak ya, Mah."
Sebelum Renata sempat membalas, Heni tiba-tiba memotong percakapan.
"Nyonya, sudah waktunya makan," ucap Heni sambil tersenyum.
Meski bibirnya tersenyum, ada nada ketidaksukaan di suaranya. Heni tidak suka melihat Amira terlalu akrab dengan Nyonya Renata.
"Saya sudah siapkan menu spesial untuk Nyonya," lanjutnya.
"Oh, baik sekali kamu, Heni. Kenapa bukan Ijah yang masak? Biasanya kan Ijah," tanya Renata, heran.
"Oh, hari ini hari spesial, jadi saya sendiri yang memasak untuk Nyonya. Masakan terbaik saya," jawab Heni cepat, penuh percaya diri.
Renata mengangguk. "Ya sudah, panggilkan Andika sekalian."
"Enggak usah, Mah. Aku sudah di sini," sahut Andika, muncul dari arah tangga sambil mengecup pipi ibunya.
"Baguslah. Ayo kita makan," ajak Renata sambil tersenyum hangat.
Tak lama kemudian, Bagus dan istrinya, Serina, juga datang bergabung. Tatapan Serina langsung berubah dingin begitu melihat Amira duduk di meja makan. Ia memang tidak suka dengan kehadiran Amira di keluarga ini. Bagus pun, walau merasa kesal, diam-diam memuji kecantikan Amira dalam hati.
Meski mereka memiliki kepentingan berbeda dalam perebutan warisan Viona, ada satu tradisi keluarga yang tak bisa dilanggar: seberapapun sibuknya, mereka wajib makan malam bersama setidaknya seminggu sekali.
Makanan mulai disajikan. Sup daging sapi dihidangkan di tengah meja, aromanya menggoda. Penyajian yang rapi membuat selera makan semua orang bangkit.
Heni sudah membayangkan bonus besar akan segera ia kantongi. Ia tersenyum puas, yakin semua orang akan memuji masakannya malam ini.
Mereka semua bersiap, mengambil sendok masing-masing. Hampir bersamaan, mereka menyuapkan sup ke dalam mulut.
"Uweeeeekkk!" seru Andika tiba-tiba, memuntahkan makanannya ke dalam serbet.
"Makanan apaan ini?!" ucap Andika, wajahnya berkerut.
"Gila! Asin banget!" teriak Serina sambil meneguk air putih cepat-cepat.
Bagus menahan wajah, berusaha tidak memperlihatkan ekspresi jijik, tapi tetap tak sanggup menelan. Ia buru-buru mengelap mulutnya.
Renata sendiri langsung meletakkan sendoknya, menatap sop di piring dengan kening berkerut.
Heni pucat seketika. Tangannya gemetar. Semua rencana indah tentang bonus musnah dalam sekejap.
"A... a... ada apa? Apa kurang enak?" tanya Heni panik.
Amira menahan senyum geli.stelah heni mencicipi makanan buatannya amira sengaja menambahkan garam sebanyak mungkin, sehingga heni tak sadar kalau makanan yang dia banggakan akan menjadi bencana buat dia.
Andika melempar sendok ke meja, membuat suara berdenting keras.
"Siapa yang masak ini?!" bentaknya.
"dia tuan" ucap heni menunjuk amira
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus