NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Ketika Akar Mandragora Membungkam Neraka"

Genap dua minggu sudah Johan terperangkap di hutan Bukit Barisan.

Waktu seakan membeku, membentang sunyi di antara desir angin dan desir dedaunan yang berjatuhan pelan. Malam ini adalah malam penentuan—malam yang tak boleh keliru satu langkah pun. Malam di mana segala rencana yang mereka susun dengan hati-hati harus dijalankan dengan keyakinan yang utuh.

Dua hari sebelumnya, Liana—dengan diam-diam dan keberanian yang disulut rasa tanggung jawab—berhasil menemukan tempat Kalmi disekap. Kalmi, sahabat Johan, seorang ketua Mapala yang lebih kuat dari tali simpul yang biasa ia ajarkan di pelatihan. Dia ada di sana, di balik pagar kayu dan tatapan tajam anak buah ayah angkatnya.

Sore itu, dengan mata yang sengaja tidak memancarkan kecurigaan, Liana menyapa ayahnya.

“Yah, kok Lia nggak lihat lagi orang yang tersesat kemarin itu?”

Suaranya lembut, nyaris tak terdengar, namun di balik kelembutan itu, ada badai yang mengamuk dalam hatinya.

Sang ayah menatapnya. Matanya seperti bilah pisau yang menimbang, menghitung, mengukur. Lalu ia menjawab pelan, nyaris dingin.

“Kenapa tanya begitu, Li? Orang itu mencurigakan. Cara dia kabur kemarin… terlalu lihai untuk pendaki biasa. Ayah yakin dia bukan orang sembarangan.”

Liana berpura-pura mengernyit, menata keterkejutan yang disengaja. “Jadi… dia masih di sini, Yah?”

Ayahnya tersenyum tipis. Senyum yang tidak hangat.

“Iya. Kita sekap di gubuk belakang. Penjaga kita tidak akan lengah. Kalau sampai dia lolos, bisa gawat untuk semua ini.”

Liana menunduk. Hatinya remuk, tapi wajahnya tetap datar. Kata-kata itu ia sampaikan ke Johan malam harinya, disertai tawa getir Johan yang mencoba meringankan suasana.

“Gimana Kalmi bisa nggak lepas? Dia tuh ahli simpul tali, Ketua Mapala, Lo! Hahaha…”

Malam itu juga, malam pesta besar panen ladang ganja kembali digelar. Aroma nasi hangus, daging panggang, dan tawa pecah di udara. Mereka tidak tahu—malam ini juga akan menjadi malam kejatuhan.

Sesuai rencana, pesta adalah celah. Pesta adalah pintu yang menganga untuk mereka kabur.

Pesta itu hanya untuk para penjaga. Para pekerja tetap digiring ke sel kayu, tanpa tahu bahwa takdir sedang ditulis ulang tak jauh dari tempat mereka berbaring lelah.

Liana berdiri di balik dapur kayu. Tangan mungilnya gemetar saat membuka tutup kendi. Ia menatap air rebusan akar mandragora yang disiapkan sejak siang. Cairan itu tidak berwarna, tapi memiliki kekuatan yang sunyi—seperti hujan yang turun pelan-pelan, tapi bisa mengubah bentuk bumi.

Dengan langkah ringan, Liana mencampurkan air itu ke dalam makanan dan minuman. Setiap tetes adalah keberanian. Setiap sendok adalah harapan. Uap dari sup mendidih menyembunyikan rahasia yang begitu rapat ia simpan di dadanya.

Usai semua disiapkan, ia kembali ke kamarnya. Duduk diam dalam gelap. Memandang jendela yang buram, menanti waktu berjalan seperti jarum jam yang hampir berhenti. Detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Ia tidak tahu, apakah rencana ini akan berhasil… atau justru membawa malapetaka.

Di luar, Johan berjongkok di balik semak. Tubuhnya tak banyak bergerak, tapi matanya penuh siaga. Ia menatap pesta dari kejauhan, menghitung waktu, mengandalkan artikel yang pernah ia baca bertahun silam—tentang akar mandragora dan efek halusinasinya. Ia tidak pernah mencobanya. Ia hanya percaya. Dan malam ini, ia mempertaruhkan nyawa di atas kepercayaan itu.

Waktu terus bergulir, pelan namun pasti, seperti jarum jam tua yang tak pernah berhenti berputar.

Suasana pesta di tengah ladang ganja semakin riuh. Gelak tawa membumbung bersama uap makanan dan denting gelas yang bersulang. Tak seorang pun menyadari bahwa di balik setiap hidangan dan tegukan, tersembunyi senyap dari rencana yang telah disusun rapi.

Namun alam tidak pernah bisa dibohongi.

Beberapa saat berlalu, dan tanda-tanda itu mulai tampak. Satu per satu, mereka yang telah mencicipi makanan dan minuman itu mulai menguap, menggosok mata yang perlahan berat, dan tubuh yang tak lagi kuat menahan rasa kantuk. Air akar mandragora mulai bekerja—pelan, namun mematikan dalam kesenyapan.

Seperti guguran daun kering yang jatuh satu per satu, para penjaga dan tamu mulai tersungkur. Suasana pesta yang semula meriah mendadak membisu. Hening. Yang tersisa hanya suara malam: desir angin, gesekan daun, dan jerit serangga hutan yang sejak tadi menanti giliran bicara.

Sebagian mencoba melawan kantuk, berdiri sempoyongan, bersandar pada meja atau tiang, tapi sia-sia. Tubuh mereka akhirnya ambruk, menyerah pada takdir yang telah dipersiapkan sejak awal.

Liana menyaksikan semuanya dari balik tirai waktu.

Hatinya dipenuhi rasa yang bertubrukan—lega dan luka, puas dan pilu. Rencananya berhasil. Tapi bayang wajah orang-orang yang ia tidurkan begitu saja, membuat dadanya sedikit sesak. Ini bukan kemenangan yang indah, tapi juga bukan kekalahan. Ini adalah jalan keluar yang paling masuk akal untuk membebaskan yang tertawan.

Johan muncul dari semak belukar. Tatapannya tajam menembus gelap malam. Ia tahu, ini adalah waktu yang mereka tunggu. Tanpa ragu, ia bergerak menuju gubuk tempat para pekerja paksa ditahan. Di belakangnya, Liana mengikuti. Langkah mereka mantap, menyusuri jalan sunyi menuju keadilan yang tertunda.

Gubuk itu tak seperti biasanya. Kekacauan kecil tampak di sana. Para pekerja mulai sadar, bertanya-tanya kenapa para penjaga sel tiba-tiba tertidur di depan pintu. Beberapa masih mengucek mata, sebagian hanya terpaku memandangi tubuh para penjaga yang tumbang di dekat makanan.

Johan mendekat. Ia berlutut di samping salah satu penjaga yang tertidur pulas, merogoh saku bajunya, dan mengangkat satu ikat kunci. Tanpa kata, ia membuka pintu sel. Suara derit pintu seperti denting kebebasan yang telah lama dikurung.

Para pekerja menatapnya, heran sekaligus harap. Di antara kebingungan dan ketidakpercayaan, Liana melangkah ke depan.

"Ayo, keluar. Ini waktunya."

Johan menoleh, menatap Liana, dan berbisik,

“Bantu mereka keluar. Aku akan cari Kalmi.”

Liana mengangguk. Tanpa ragu, ia menggandeng tangan-tangan lemah yang menyambutnya. Mereka semua melangkah keluar, satu per satu, seperti aliran air yang akhirnya berhasil membebaskan diri dari bendungan.

Sementara itu, Johan melangkah masuk ke dalam gubuk lain yang lebih kecil. Matanya mencari, hatinya berdebar. Ruangan itu gelap, pengap, dan penuh dengan bayang sisa kekerasan. Di pojok ruangan, di antara jerami dan dinding kayu lapuk, Johan menemukannya—Kalmi.

Tubuh sahabatnya itu terbaring lemah, terikat, dengan wajah penuh lebam dan napas yang tersengal. Johan segera mendekat, melepas ikatan itu dengan tangan yang gemetar menahan amarah dan iba.

“Kalmi… bangunlah. Ini aku. Johan. Kita harus pergi,” bisiknya lirih, seakan tak ingin membangunkan dendam di malam itu.

Kelopak mata Kalmi perlahan terbuka. Pandangannya samar, tapi ketika melihat wajah Johan, sesuatu di dalam dirinya hidup kembali. Sebuah senyum kecil muncul, lemah tapi cukup untuk menjawab bahwa ia masih bertahan.

Johan memeluknya. Air mata tumpah tanpa izin, membasahi bahu sahabatnya.

“Aku datang, Mi. Aku datang.”

Dengan pelan, ia membantu Kalmi berdiri, memapahnya keluar menuju cahaya yang menyambut di luar gubuk. Di sana, Liana dan para pekerja telah menunggu. Malam terasa panjang, tapi mereka tahu, langkah ini adalah awal dari kebebasan.

Dan meski jalan di depan masih panjang dan berbatu, mereka tidak lagi berjalan sendirian.

Ada tangan yang saling menggenggam, ada hati yang saling menguatkan. Mereka melangkah dalam gelap, tapi harapan menyala seperti obor kecil di dada masing-masing—cukup untuk menerangi satu langkah ke depan.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!