NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:112
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32: PERTEMUAN KELUARGA

#

Tiga hari setelah kencan indoor picnic mereka, Julian datang pagi-pagi dengan senyum yang aneh—campuran excited dan nervous.

"Gue punya ide," ujarnya begitu masuk, membawa sarapan kayak biasa.

Laura yang lagi duduk di sofa langsung curiga. "Ide apa? Kalau ide lo kayak terakhir kali yang bawa setengah supermarket buat bikin brownies dan hasilnya gosong semua—"

"Bukan!" Julian duduk di sampingnya, megang tangan Laura. "Ini—ini lebih serius. Dan mungkin agak mendadak. Tapi—"

"Julian, lo bikin gue nervous. Bilang aja."

Julian menarik napas dalam. "Gue mau lo ketemu keluarga gue. Hari ini."

Laura terdiam, otaknya butuh beberapa detik untuk proses informasi itu. "Keluarga lo? Sekarang? Tapi—tapi Leon masih di luar sana, security concern—"

"Makanya keluarga gue yang datang ke sini," potong Julian. "Gue udah bicara sama Mama dan adik gue. Mereka pengen banget ketemu lo. Dan—dan gue pikir lo butuh sesuatu yang normal. Sesuatu yang gak ada hubungannya sama ancaman atau bahaya. Cuma—cuma keluarga."

Laura menatapnya dengan campuran takut dan terharu. Ketemu keluarga Julian—ini langkah besar. Ini berarti mereka serius. Ini berarti Julian udah mikirin masa depan jangka panjang.

"Lo yakin?" tanya Laura pelan. "Maksud gue—keluarga lo udah tau tentang aku?"

"Mama gue tau dari dulu. Sejak gue di rumah sakit nungguin lo bangun dari koma, dia nelpon nanya kenapa gue gak pulang. Gue cerita semua," jawab Julian dengan senyum kecil. "Dan dia—dia bilang dia mau ketemu wanita yang bisa bikin anak nya yang dingin dan closed-off ini akhirnya bisa senyum lagi."

Laura merasakan pipinya memanas. "Lo cerita apa aja sih ke Mama lo?"

"Semuanya," jawab Julian dengan jujur. "Tentang lo yang mencintai gue sepuluh tahun. Tentang lo yang nyaris mati buat gue. Tentang gimana lo ngubah hidup gue. Mama gue nangis pas denger cerita itu. Dan sejak itu dia terus nanya kapan bisa ketemu lo."

Laura merasakan matanya berkaca-kaca. "Okay. Okay, aku mau ketemu mereka. Tapi—tapi gimana kalau mereka gak suka aku?"

Julian tertawa, menarik Laura ke pelukannya. "Impossible. Lo impossible untuk gak disukai. Dan trust me, Mama gue udah suka lo sebelum ketemu lo."

***

Jam dua siang, Laura udah ganti baju lima kali. Sekarang dia pake dress simple tapi elegan—biru navy dengan cardigan putih. Rambut nya di-blow dry sampe bagus, makeup natural tapi bikin wajahnya lebih fresh.

Tapi tangan nya gemetar pas dia coba pasang anting.

"Lo kelihatan cantik," ujar Julian dari pintu kamar, udah rapi dengan kemeja abu-abu dan celana bahan hitam.

"Aku nervous banget," jawab Laura dengan jujur. "Gimana kalau aku bilang sesuatu yang salah? Atau gimana kalau—"

"Laura," Julian berjalan mendekat, memegang bahu Laura dengan lembut. "Lo adalah orang paling baik yang gue kenal. Mama gue akan lihat itu dalam lima menit pertama. Relax."

Tapi gimana Laura bisa relax? Ini Mama Julian. Keluarga Julian. Orang-orang yang penting buat Julian.

Bel safe house berbunyi. Laura langsung merasakan perutnya melilit.

"They're here," ujar Julian dengan senyum. "Ready?"

"Gak," jawab Laura dengan jujur. "Tapi let's do this anyway."

Mereka turun ke ruang tamu bareng. Security udah ngecek tamu-tamu itu—protokol ketat safe house—dan sekarang mengizinkan mereka masuk.

Pintu terbuka. Wanita berusia sekitar lima puluh tahunan masuk—elegan dengan dress batik modern, rambut pendek rapi, wajah yang hangat dan familiar. Laura langsung tau ini Mama Julian karena mereka punya mata yang sama.

Dan di belakangnya, wanita muda sekitar dua puluh empat tahunan dengan senyum lebar dan energi yang infectious—pasti adik Julian.

"Julian!" Mama Julian langsung memeluk anak nya dengan erat, mengabaikan Julian yang agak kikuk dengan affection publik. "Mama kangen kamu. Kamu kurus. Apa kamu makan dengan benar?"

"Ma, gue baik-baik aja," jawab Julian dengan nada yang lebih lembut dari yang Laura pernah denger. "Dan ini—" dia melepas pelukan Mama nya, mengambil tangan Laura "—ini Laura. Laura Christina."

Laura gugup banget tapi dia maksa dirinya senyum. "Selamat siang, Tante. Senang akhirnya bisa ketemu."

Mama Julian menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca—tatapan yang bikin Laura bingung dan sedikit takut. Tapi kemudian Mama Julian tersenyum—senyum hangat yang langsung bikin Laura relax sedikit.

"Laura," ujarnya dengan suara lembut. "Akhirnya. Akhirnya aku bisa ketemu wanita yang bikin anak ku ini bisa senyum lagi."

Dan kemudian—totally unexpected—Mama Julian memeluk Laura dengan erat. Laura kaku sejenak, gak tau harus gimana, tapi kemudian dia memeluk balik, merasakan kehangatan yang dia kangen dari Mama nya sendiri.

"Terima kasih," bisik Mama Julian di telinga Laura. "Terima kasih udah jaga anak ku. Terima kasih udah cinta dia dengan tulus."

Laura gak bisa jawab karena tenggorokan nya kebas dengan emosi. Dia cuma peluk Mama Julian lebih erat, berharap pelukan ini bisa ngasih tau seberapa banyak Julian berarti buat dia.

"Okay okay, Mama possessive alert," ujar adik Julian dengan nada bercanda. "Aku juga mau kenalan dong."

Mama Julian melepas pelukan, ngusap mata nya yang berkaca-kaca sambil tertawa. Adik Julian langsung maju dengan tangan terangkat.

"Aku Vera," ujarnya dengan senyum lebar. "Adik Julian yang lebih fun dan less uptight. Nice to finally meet you, Laura. Aku udah denger banyak banget tentang kamu."

"Semua yang bagus, aku harap," jawab Laura, mulai relax dengan energi Vera yang friendly.

"Oh trust me, Julian gak bisa berhenti cerita tentang kamu," ujar Vera dengan seringai. "Literally every phone call: Laura ini, Laura itu. Aku sampai hafal favorite food kamu tanpa pernah ketemu."

"Vera," Julian natap adiknya dengan warning. "Stop."

"What? Aku cuma ngomong facts," jawab Vera innocent, tapi mata nya berbinar nakal.

Mama Julian tertawa, dan suasana langsung jadi lebih ringan. Mereka duduk di ruang tamu—security ngasih privasi dengan mundur ke luar ruangan tapi tetep standby.

"Jadi Laura," Mama Julian mulai dengan nada lembut. "Julian cerita kamu baru pulih dari trauma yang—yang cukup serius. Bagaimana kondisimu sekarang?"

"Aku—aku udah jauh lebih baik, Tante," jawab Laura. "Masih harus kontrol rutin ke dokter, tapi secara fisik aku udah oke. Cuma—cuma harus di sini untuk sementara karena security concern."

"Aku tau. Julian cerita tentang orang itu—Leon," ujar Mama Julian dengan ekspresi khawatir. "Aku gak suka kamu harus hidup kayak gini, dalam ketakutan. Tapi aku senang Julian ada di sini buat kamu."

"Dia—dia udah jadi segalanya buat aku," ujar Laura dengan jujur, melirik Julian yang duduk di sampingnya. "Gak cuma sekarang, tapi—tapi sejak lama."

Vera yang duduk di sofa seberang langsung tertarik. "Julian bilang kamu udah suka dia sejak kuliah? Ten years? Girl, that's dedication."

Laura tersenyum malu. "Aku—aku jatuh cinta sama dia sejak pandangan pertama. Aku tau kedengeran cheesy—"

"Gak cheesy," potong Mama Julian dengan lembut. "Itu romantis. Dan tulus. Julian bilang kamu mencintai dia dalam diam sepuluh tahun tanpa pernah expect apapun balik. Itu—itu cinta yang langka, Laura. Cinta yang selfless."

Laura merasakan matanya mulai panas. "Aku cuma—aku cuma mau dia bahagia. Bahkan kalau itu berarti dia bahagia tanpa aku."

"Tapi sekarang dia bahagia sama kamu," ujar Mama Julian dengan senyum. "Aku lihat itu dari cara dia natap kamu. Dari cara dia bicara tentang kamu. Aku gak pernah lihat anak ku sebahagia ini."

Julian yang dari tadi diam sekarang natap Mama nya dengan mata berkaca-kaca. "Ma—"

"Apa? Itu truth," ujar Mama Julian. "Julian, kamu tau Mama selalu khawatir sama kamu. Setelah—setelah insiden itu lima tahun lalu, kamu berubah. Kamu jadi dingin, closed-off, kayak kamu bangun tembok tinggi di sekitar hatimu. Mama coba dekatin tapi kamu selalu push away."

Suara nya bergetar sekarang. "Tapi sejak Laura masuk ke hidupmu, kamu—kamu jadi anak Mama lagi. Kamu senyum. Kamu ketawa. Kamu hidup lagi. Dan itu semua karena Laura."

Mama Julian menatap Laura dengan mata yang penuh air mata. "Jadi terima kasih, Laura. Terima kasih udah bawa anak Mama kembali."

Laura gak bisa nahan air matanya lagi. Julian juga nangis sekarang—silent tears yang dia coba sembunyiin tapi gagal. Even Vera yang tadi cheerful sekarang ngusap matanya.

Julian berdiri, memeluk Mama nya dengan erat. "Maafin aku, Ma. Maafin aku karena push kamu away selama ini."

"Gak ada yang perlu dimaafin, sayang," bisik Mama Julian, mengusap punggung Julian. "Mama ngerti kamu butuh waktu. Yang penting sekarang kamu udah baik-baik aja. Kamu udah punya Laura."

Mereka melepas pelukan, semua ngusap air mata sambil tertawa karena mereka semua nangis bareng.

"Okay, enough crying," ujar Vera, berdiri dengan senyum. "Aku bawa makanan yang Mama masak. Laura, kamu harus coba masakan Mama. She's literally the best cook ever."

***

Sore itu dihabiskan dengan kehangatan keluarga yang Laura gak pernah rasain sejak dia tinggalin Surabaya. Mereka makan bareng—masakan rumah Mama Julian yang enak banget, bikin Laura kangen masakan Mama nya sendiri. Mereka ngobrol tentang segala hal—masa kecil Julian yang ternyata suka banget panjat pohon dan bikin Mama nya panic, tentang Vera yang sekarang jadi arsitek muda dan baru dapet project pertamanya, tentang Papa Julian yang udah meninggal lima tahun lalu dan bikin Julian jadi man of the family di usia muda.

"Papa pasti senang kalau lihat kamu sekarang," ujar Mama Julian ke Julian dengan senyum sedih. "Dia selalu bilang kamu akan nemuin seseorang yang special suatu hari. Seseorang yang bisa lihat hati baikmu di balik tembok yang kamu bangun."

"Papa bener," jawab Julian, menatap Laura dengan tatapan yang hangat. "Laura lihat aku lebih jelas dari siapapun."

"Karena aku udah ngawasin lo sepuluh tahun," balas Laura dengan senyum. "Aku hapal semua quirks lo. Kayak gimana lo selalu pesan kopi item tapi diam-diam tambahin gula. Atau gimana lo pura-pura gak suka dessert tapi selalu curi punya orang lain."

Vera tertawa keras. "Oh my God, yes! He always does that! Julian, kamu ketangkep basah."

Julian cuma senyum malu, pipinya sedikit merah. "Lo udah ngawasin gue terlalu detail kayaknya."

"Itu namanya cinta," ujar Mama Julian dengan bijak. "Cinta adalah perhatiin detail kecil. Adalah inget hal-hal yang orang lain gak notice."

Saat sore mulai gelap dan Mama Julian sama Vera harus pulang—security concern, mereka gak bisa stay terlalu lama—Mama Julian memeluk Laura lagi.

"Laura, kamu sekarang bagian dari keluarga kami," bisiknya. "Apapun yang terjadi, kamu punya rumah di sini. Kamu punya Mama di sini."

Laura gak bisa jawab, cuma peluk Mama Julian lebih erat, nangis di bahunya dengan campuran bahagia dan terharu.

"Dan Julian," Mama Julian memeluk anak nya, berbisik tapi Laura yang berdiri dekat masih bisa denger. "Jaga dia. Dia wanita baik. Jangan pernah lepas dia."

"Gue gak akan, Ma," janji Julian. "Gue gak akan pernah lepas dia."

Setelah mereka pergi, Julian dan Laura duduk di sofa dengan tangan saling menggenggam, menatap sisa-sisa makanan di meja.

"Keluarga lo amazing," ujar Laura dengan suara pelan.

"Mereka suka lo," jawab Julian. "Aku tau mereka bakal suka lo."

"Tapi Mama lo—" Laura menatap Julian "—dia nangis pas cerita tentang lo setelah insiden itu. Dia—dia pasti khawatir banget."

"Dia khawatir karena dia care," jawab Julian. "Dan karena dia lihat gue suffering tapi gak bisa bantu. Tapi sekarang—sekarang dia lihat gue bahagia. Dan itu karena lo."

Laura bersandar di bahu Julian, merasakan kelelahan emosional dari satu hari penuh perasaan. "Aku senang bisa ketemu mereka. Senang tau lebih banyak tentang lo. Tentang keluarga lo."

"Mereka sekarang keluarga lo juga," ujar Julian, mencium puncak kepala Laura. "Lo sekarang stuck sama kami semua."

Laura tersenyum, mata nya mulai berat. "Aku gak keberatan stuck sama kalian."

Mereka duduk seperti itu—dalam keheningan yang nyaman, dipeluk kehangatan keluarga yang baru Laura temuin, dengan rasa aman yang sebentar lagi akan terusik.

Karena di luar safe house, di kegelapan yang menyelimuti Jakarta, Leon sedang bergerak. Sedang eksekusi plan yang udah dia persiapkan dengan detail. Plan yang akan menguji cinta Julian dan Laura dengan cara yang paling brutal.

Tapi untuk saat ini, mereka gak tau. Mereka cuma tau kebahagiaan moment ini. Dan itu—untuk saat ini—cukup.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!