Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5: MAWAR HITAM DI BAWAH REMBULAN
Cahaya matahari perlahan sekarat di ufuk barat, melukis langit dengan warna jingga kemerahan yang menyerupai tumpahan darah. Di tengah hutan bambu, Mo Long berdiri tegak. Uap panas mengepul samar dari tubuhnya yang basah oleh keringat.
Ia memungut baju luarnya yang tergeletak di tanah, mengibaskannya santai, lalu mengenakannya kembali. Di belakangnya, sunyi. Rintihan kelima bocah yang baru saja ia hajar sudah lenyap, mungkin mereka sudah merangkak pergi dengan sisa tenaga yang ada.
'Belum genap sehari aku terlahir kembali, namun masalah datang silih berganti seperti ombak pasang,' batin Mo Long. Bibirnya menyunggingkan senyum getir yang tidak sesuai dengan wajah mudanya.
Malam mulai turun. Hutan bambu berubah menjadi siluet raksasa yang menakutkan. Suara jangkrik mulai bernyanyi, memecah keheningan.
Namun, langkah kaki Mo Long tidak mengarah kembali ke kamarnya. Ada satu tempat yang jiwanya—jiwa pemilik tubuh asli—mendesak untuk didatangi.
Ia menyusuri jalan setapak berliku yang tertutup daun bambu kering. Di ujung lorong hijau yang gelap itu, sebuah gundukan tanah dengan nisan batu sederhana berdiri sepi di bawah naungan pohon tua.
Tertulis kasar di sana: Makam Zhi Xin.
Mo Long terdiam. Desiran aneh merambat di dadanya. Itu bukan perasaannya, melainkan sisa emosi tubuh ini. Rasa hormat, kerinduan, dan kesedihan yang mendalam.
Zhi Xin. Guru sekaligus satu-satunya sahabat bagi Mo Long yang asli. Orang tua yang tidak pernah memandang rendah ketidakmampuannya mengolah Qi. Orang yang dengan sabar menempa fisik lemah ini hingga menjadi sekeras baja.
'Jadi, kau yang membentuk wadah ini...' Mo Long menyentuh permukaan nisan yang dingin.
Seketika, fragmen ingatan menyeruak.
Hujan deras mengguyur bumi. Seorang bocah kecil menangis tersedu di depan nisan ini, tinjunya memukul tanah berlumpur. "Aku tidak akan menyerah, Guru! Aku akan menjadi kuat... Aku janji!"
Ingatan berganti. Zhi Xin yang tua dan bungkuk, memegang rotan, membentak Mo Long yang terengah-engah.
"Musuhmu tidak akan berhenti saat kau lelah, Bodoh! Bangun! Rasa sakit adalah teman terbaikmu!"
BUK!
Rotan itu memukul punggungnya. Sakit, tapi penuh kasih sayang. Zhi Xin tahu, tanpa Qi, Mo Long harus memiliki fisik di atas manusia rata-rata untuk bertahan hidup di klan yang kejam ini.
Mo Long menarik tangannya kembali. Tatapannya melembut.
"Terima kasih, Pak Tua," bisiknya pada angin malam. "Berkat siksaanmu, tubuh ini sanggup menampung jiwaku. Tenanglah di sana, aku akan melanjutkan janji bocah ini."
Ia membersihkan lumut yang menutupi nama gurunya, memberikan penghormatan tiga kali, lalu berbalik pergi.
Malam telah sepenuhnya berkuasa. Rembulan purnama menggantung di langit, bulat sempurna, menyinari jalan setapak menuju kediaman utama klan.
Cahaya perak itu mengingatkan Mo Long pada sesuatu. Atau lebih tepatnya... seseorang.
Langkah kakinya melambat.
Bayangan seorang wanita berkelebat di benaknya. Kulit seputih salju, senyum selembut sinar bulan, dan aroma bunga musim semi yang selalu menguar dari jubahnya.
'Rong Yue...'
Dada Mo Long sesak seketika.
Itu adalah tunangannya di kehidupan lalu. Putri Ketua Sekte Gunung Hua. Wanita yang ia cintai lebih dari nyawanya sendiri. Apakah dia menangisi kematian Guang Lian? Atau... apakah dia juga bagian dari pengkhianatan itu?
Mo Long menggeleng kuat, mengusir bayangan wajah cantik itu. Hatinya yang sempat goyah kembali mengeras.
"Lupakan," desisnya tajam. "Guang Lian sudah mati. Cinta masa lalu hanya akan menjadi racun bagi Mo Long."
Ia mempercepat langkahnya. Di kejauhan, Paviliun Patriark berdiri megah, diterangi puluhan lampion merah yang bergoyang tertiup angin.
Saat berdiri di depan gerbang baja hitam berukir naga, Mo Long merasakan tangannya gemetar. Jantungnya berpacu cepat. Keringat dingin menetes di pelipis.
'Apa ini?' Mo Long mengernyit. 'Takut?'
Ia segera menyadari. Ini bukan ketakutan jiwanya—Mantan Malaikat Ortodoks tidak takut pada siapa pun. Ini adalah reaksi biologis tubuh Mo Long. Tubuh ini menyimpan trauma mendalam terhadap ayahnya sendiri. Ingatan tentang bentakan, tatapan kecewa, dan aura penindas Mo Han telah terpatri dalam sel-sel tubuhnya.
"Menyedihkan," gumam Mo Long. Ia mengepalkan tangan, menyalurkan tekad bajanya untuk menekan rasa takut tubuh itu. "Diamlah. Mulai sekarang, kau tidak akan menunduk pada siapa pun."
Mo Long mengangkat tangan, hendak mengetuk pintu gerbang.
"Masuk."
Suara berat dari dalam terdengar bahkan sebelum tangannya menyentuh kayu. Mengandung gelombang tenaga dalam yang menggetarkan gendang telinga.
Mo Long menarik napas panjang, mendorong gerbang berat itu, dan melangkah masuk.
Aroma teh herbal dan dupa cendana menyambutnya. Di tengah ruangan luas yang didominasi ornamen naga, Mo Han duduk di kursi kebesarannya.
Di hadapan sang Patriark, terdapat sebuah meja marmer bulat. Dan di atas meja itu, berdiri sebuah vas porselen berisi tujuh tangkai mawar hitam yang kelopaknya berkilau di bawah cahaya lilin.
Indah, namun berduri. Sama seperti suasana ruangan ini.
"Salam, Patriark," ucap Mo Long. Ia membungkuk hormat (Gongshou), suaranya tenang dan stabil.
Mo Han tidak menoleh. Matanya terpaku pada buku tua di tangannya—buku 'Teknik Kultivasi Ekstrem' yang ia sita.
"Duduk," perintahnya singkat.
Mo Long duduk di kursi yang ditunjuk, tepat di seberang ayahnya.
Suasana hening. Hanya terdengar bunyi tik-tok dari tetesan air di clepsydra (jam air) di sudut ruangan. Tekanan udara di ruangan itu terasa berat, seolah gravitasi meningkat dua kali lipat. Mo Han sedang melepaskan aura penekannya.
"Teknik-teknik di buku ini..." Mo Han akhirnya bersuara, menutup buku itu perlahan. "...kasar. Brutal. Tapi sama sekali tidak 'ekstrem' bagi standar Kultus Iblis kita."
Ia meletakkan buku itu di meja, di samping vas mawar hitam. Tatapannya yang tajam seperti elang akhirnya beralih menatap putranya.
"Tapi, ada sesuatu yang hilang."
Jantung Mo Long berdesir.
"Halaman terakhir," lanjut Mo Han. "Bekas sobekannya masih baru. Di mana kau menyembunyikannya?"
Mo Long tidak terkejut. Ayahnya adalah pemimpin klan pembunuh, tentu matanya setajam silet. Berbohong sekarang hanya akan memperburuk keadaan.
Tanpa bicara, Mo Long merogoh saku celananya, mengeluarkan kertas yang sudah ia lipat tadi, dan meletakkannya di meja.
Mo Han mengambil kertas kusut itu. Membukanya.
Matanya menyapu gambar lingkaran ritual darah dan mantra pemanggilan jiwa. Hening sejenak. Ekspresi Mo Han tidak berubah, namun suhu di ruangan itu mendadak turun drastis.
Ia menatap Mo Long lekat-lekat. Tatapan yang seolah ingin menguliti jiwa anaknya.
"Jadi..." Suara Mo Han rendah, berbahaya. "Siapa kau sebenarnya?"
Pertanyaan itu meluncur seperti anak panah.
Mo Long menahan napas. Apakah dia ketahuan? Apakah ayahnya tahu bahwa jiwa di depannya bukan lagi putranya?
"Apa maksud Patriark?" Mo Long menjawab tenang, meski punggungnya mulai basah. "Saya Mo Long. Putra Anda."
Mo Han bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar seakan menutupi cahaya lampu. Ia berjalan mendekat, lalu membungkuk hingga wajahnya hanya berjarak sejengkal dari wajah Mo Long.
"Benarkah?" bisik Mo Han. "Putraku yang dulu adalah pengecut yang gemetar hanya mendengar namaku. Tapi hari ini... kau menghajar Mo Fei, mematahkan tulang enam keponakanku di hutan, dan sekarang duduk di hadapanku tanpa rasa takut sedikit pun."
Mata Mo Han menyipit. "Apa kau Iblis yang terpanggil oleh ritual ini dan merasuki tubuh anakku?"
Situasi genting. Satu jawaban salah, kepala Mo Long bisa melayang malam ini.
Mo Long menatap balik mata ayahnya. Ia tidak mengelak, tidak menunduk. Ia membiarkan sedikit aura kegelapan dari jiwa lamanya bocor keluar.
"Saya belum sempat melakukan ritual itu, Ayah," jawab Mo Long. "Dan kalaupun saya lakukan, mana mungkin berhasil? Saya tidak punya Qi. Saya juga bukan Taois."
"Lalu jelaskan perubahan ini."
"Kematian," jawab Mo Long dingin. "Saya sudah mati sekali saat Zhi Xin pergi. Saya mati lagi saat mereka menginjak-injak harga diri saya setiap hari."
Mo Long mengepalkan tangannya di atas meja, tepat di samping mawar hitam itu.
"Saya lelah menjadi sampah. Saya lelah melihat nama Ayah dipermalukan karena memiliki putra cacat. Amarah dan dendam... itulah yang mengubah saya. Jika menjadi baik tidak berguna, maka saya akan menjadi jahat sekalian."
Mo Han tertegun. Ia mencari kebohongan di mata putranya, tapi yang ia temukan hanyalah kegelapan yang pekat dan tekad yang membara. Tekad untuk menjadi kuat.
Perlahan, aura membunuh Mo Han surut.
Ia kembali duduk, bersandar santai. Sudut bibirnya terangkat sedikit—sebuah senyum tipis yang langka.
"Alasan yang bagus," gumam Mo Han. "Menyembunyikan kertas ini... kau takut aku marah karena kau mencoba ilmu hitam?"
"Saya takut mempermalukan klan jika gagal," sahut Mo Long cepat.
"Hahaha..." Tawa kecil keluar dari mulut Mo Han. "Kau sudah cukup mempermalukan klan selama ini. Tapi hari ini... kau membuktikan sesuatu."
Mo Han menunjuk dada Mo Long.
"Tubuhmu hancur, Dantianmu kosong. Tapi mentalmu... akhirnya kau memiliki mental seorang Naga Bayangan sejati. Keras. Kejam. Dan tak mau kalah."
"Terima kasih, Patriark."
Mo Han berdiri, berjalan menuju dinding belakang yang dihiasi lukisan naga hitam raksasa.
"Selama ini aku sibuk memperluas kekuasaan Kultus Iblis. Aku mengabaikanmu karena mengira kau produk gagal," ujar Mo Han tanpa menoleh. "Tapi melihat caramu bertahan hidup tanpa Qi... mungkin aku salah."
Ia menekan sebuah batu bata di dinding, tepat di mata naga dalam lukisan itu.
KLIK. KRIET...
Rak buku besar di samping lukisan itu bergeser perlahan dengan suara berat, memperlihatkan sebuah lorong rahasia yang gelap dan lembap. Angin dingin berbau tanah dan besi tua berhembus keluar dari sana.
Mo Long menatap lorong itu dengan alis terangkat.
"Apa kau masih ingin menjadi pendekar, Mo Long?" tanya Mo Han serius.
"Lebih dari apa pun," jawab Mo Long tegas.
"Meskipun itu berarti kau harus menempuh jalan yang lebih menyakitkan daripada kematian?"
"Rasa sakit hanyalah bumbu kehidupan bagi saya."
Mo Han menyeringai lebar. Ia memberi isyarat dengan kepalanya.
"Kalau begitu, ikut aku. Aku akan menunjukkan padamu rahasia tergelap Klan Naga Bayangan... dan mungkin, cara untuk memperbaiki takdirmu yang cacat."
Mo Long bangkit berdiri. Ia menatap lorong gelap itu. Instingnya berteriak bahaya, namun jiwanya bergetar karena antusias.
Tanpa ragu, ia melangkah maju mengikuti ayahnya, ditelan oleh kegelapan lorong rahasia.
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁