Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Suami?
...****************...
(Mulai sekarang kita panggil Dena \= Araya)
Sudah satu hari berlalu di mana Dena a.k.a Araya terbangun di tubuh ini. Tadinya Araya pikir setelah melewati alam mimpi seperti yang terjadi sebelum ia berada di sini, ketika terbangun ia akan kembali ke dunianya. Namun nihil, tak seperti yang di harapkan.
Pagi ini pertama kali Araya keluar dari kamarnya, setelah menikmati sarapan yang di bawakan Bi Laksmi.
Kamar Araya berada di lantai dua, yang diketahui sebagai wilayahnya. Sedangkan anaknya si antagonist Ghariel ada di lantai satu, dan suaminya di lantai tiga. Mansion mewah yang ia tempati memiliki tiga lantai, dengan lantai ke empat paling atas merupakan rooftop.
Dan rooftop adalah tujuan Araya saat ini. Ia menaiki lift untuk menuju lantai teratas itu.
Setibanya di sana, dapat Araya lihat tempat luas ini yang terjaga bersih. Sepertinya cocok untuk dijadikan tempat kumpul-kumpul keluarga ala orang kaya.
Langkah kakinya membawa Araya ke tepi rooftop yang di batasi pagar besi setinggi dadanya.
Kedua tangannya terkepal kuat, “Sebenarnya aku gak mau coba ini,” gumamnya.
Ya, Araya bertekad untuk bunuh diri. Bodoh memang, tapi ia tidak ingin mati di tangan suaminya, yang entah dengan cara yang se kejam apa. Araya ingin mencoba peruntungan, jika ia mati sekarang, siapa tau kembali ke tubuh aslinya, kan?
Perlahan tangannya memegang besi pembatas, satu kakinya berangsur naik.
Saat kakinya yang lain hendak naik, Araya merasakan tangan seseorang menarik pinggangnya mundur.
“Akh..” Ia hampir kehilangan keseimbangan jika tidak ada sepasang tangan yang menahan tubuhnya.
“Bodoh!”
Setelah cekalan di pinggangnya terlepas, Araya berbalik melihat seseorang yang baru mengumpatnya itu.
Sial. Benar-benar sial, sosok malaikat pencabut nyawanya malah berdiri di hadapannya sekarang.
Pria dengan tinggi kisaran 185cm, dengan bahu lebar dan tubuh proporsional, memberikan kesan kuat tanpa terlihat berlebihan. Wajahnya tajam dengan garis rahang tegas, hidungnya lurus, dan mata dalamnya memancarkan sorot yang sulit ditebak.
Araya seolah melihat deskripsi Ghariel di novel secara langsung.
“Tidak bosan selalu melakukan percobaan bunuh diri, huh?”
Araya mengabaikan pertanyaan bernada datar itu. Tunggu, apa ia salah dengar? Selalu?
Apa artinya Araya asli juga sering melakukan percobaan bunuh diri? Tapi ia sama sekali tak menemukan ingatan itu.
“Kembalilah ke kamarmu.” Ucap Gevan setelah beberapa saat Araya hanya menatapnya lurus.
Araya mengalihkan pandangannya, lalu tanpa kata meninggalkan kawasan rooftop. Tanpa berbalik melihat Gevan yang terus melihatnya sampai hilang di pandangannya.
***
“Seremin banget, gilak.” Araya menungkupkan wajahnya pada bantal.
Mengingat pertemuannya dengan Gevan tadi, Araya dapat merasakan reaksi tubuh ini yang langsung freeze melihat suaminya sendiri. Hei, laki-laki itu mafia kejam, siapa yang tidak takut.
Sudah jelaskan, Araya juga takut pada suaminya? Dari ingatannya, saking bencinya Araya pada Gevan wanita itu selalu berteriak mengusir Gevan setiap masuk di penglihatannya.
Tok tok tok...
“Nyonya, ini saya Bi Laksmi.”
Suara dari balik pintu itu membuat Araya mengubah posisi menjadi duduk di tepi ranjangnya.
“Masuklah.”
Pintu terbuka, menampilkan Bi Laksmi dengan nampan obat di tangannya.
“Ini sudah waktu Nyonya ganti perban, apa Nyonya ingin mandi dulu?”
Araya menggeleng, “Tidak, langsung saja.” Toh ia dasarnya sudah cantik, tidak perlu mandi.
Bi Laksmi dengan pelan membuka perban yang mengelilingi kepala Araya, setelahnya lanjut membersihkan luka.
“Ssh..” desis Araya kala alkohol bersentuhan dengan lukanya.
“Maaf Nyonya, saya akan lebih berhati-hati.” Sahut Bi Laksmi yang terlihat agak panik?
Setelahnya perban baru di pasang, Bi Laksmi sudah di ajarkan oleh Dokter Sarah cara menukar perban kemarin. Untungnya luka Araya tidak terlalu besar, hanya saja masih sedikit mengeluarkan darah.
“Sudah selesai, Nyonya.”
Araya menyentuh perban barunya, “terima kasih, bibi.”
Bi Laksi tertegun sebentar. Tumben sekali Nyonya nya yang angkuh ini mengucapkan terima kasih, pikirnya.
Tapi ia tetap tersenyum sungkan menjawab.
Araya menggigit bibir bawahnya, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Dan sepertinya menanyakan pada Bi Laksmi yang sudah melayaninya tujuh tahun di sini adalah pilihan yang baik.
“Bi Laksmi, apa sebelumnya saya pernah mencoba untuk bunuh diri?” Tanya Araya langsung.
Terlihat pelayannya itu terkesiap dengan pertanyaan tiba-tiba Araya.
“Jawab saja, Bi. Atau mungkin, pandangan bibi selama saya tinggal di rumah ini?” Tanya Araya lagi, “sebenarnya, saya sedikit melupakan beberapa hal.” Bohongnya.
Bi Laksmi meletakkan obat-obatan yang ia bawa ke nampan, “sebelumnya, maaf jika saya lancang Nyonya.”
Araya mengangguk menanggapi, “sebenarnya, luka yang Nyonya dapat sekarang bukan karena jatuh, tapi Nyonya yang memang berniat untuk bunuh diri.” Ungkap Bi Laksmi hati-hati.
“Apa?” Araya refleks berucap karena terkejut.
Ia jelas-jelas mengingat dalam ingatan Araya jika ia tergelincir, bukan karena berniat untuk bunuh diri.
Bi Laksmi yang mengira majikannya marah segera menundukkan takut, “Maaf Nyonya, tapi itu adalah praduga saya dan para pekerja di mansion ini. Tapi saya yakin, Tuan pun sependapat.” Jelasnya.
Dapat Araya lihat jika pelayannya ini sedikit ragu membawa-bawa kata ‘Tuan’ karena Araya memang sangat sensitif menyangkut suaminya itu.
Araya menghela nafasnya, “Selain itu, apa sebelumnya juga pernah?”
Bi Laksmi mengangguk pelan, “Nyonya pernah menceburkan diri di kolam renang belakang. Karena itu Tuan kini memasang cctv di bagian kolam.”
Araya mengangguk mengerti. Ia mencoba menggali ingatan tentang itu, dan agak samar. Karena terjadi beberapa tahun yang lalu.
Sebenarnya tidak heran mengapa orang-orang mansion ini mengiranya akan bunuh diri. Araya menikah dengan Gevan secara paksa.
Fakta lebih parahnya, lelaki itu memperkosa Araya hingga hamil anak mereka, agar Araya mau menikahinya.
Lelaki itu sampai membunuh ayah Araya karena tidak merestui pernikahan mereka.
Bisa dibayangkan bagaimana mental Araya, bukan? Araya bahkan harus di damping psikolog selama satu tahun untuk mengembalikan kewarasannya.
Mungkin tidak sempurna, nyatanya setiap bertemu Gevan ia selalu berteriak kesetanan, melempar barang apa yang terlihat.
Bahkan menyiksa anaknya sendiri, seterganggu itu mental Araya.
Ia jadi sangat simpatik pada Ghariel, anak sekecil itu menghadapi rumah besar sesuram ini, ibu dan ayahnya tidak waras.
Tapi ia penasaran, apa alasan Gevan menikahi Araya? Apa ia se terobsesi itu? Karena jika mereka saling mencintai, tak mungkin Araya sangat menolaknya.
Ingatan Araya memang memenuhi pikirannya, tapi akan sempurna ketika terdistrak bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengannya.
Baiklah, karena Araya memang pada dasarnya takut untuk mati. Ia akan menerima alur novel ini, dengan menghindari kematiannya. Serta mulai menyelesaikan masalah-masalah hidup Araya yang penuh misteri.
Dan memberikan sedikit kebahagiaan untuk antagonist tampan yang masih belia itu.
Araya menatap Bi Laksmi, “Di mana putraku?”
...****************...
tbc.