NovelToon NovelToon
Pengantin Dunia Lain

Pengantin Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Hantu
Popularitas:752
Nilai: 5
Nama Author: BI STORY

Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pak Dimitri Sadar

​Matahari baru saja terbit, cahayanya yang lembut menyinari jalanan yang sudah ramai. Suara klakson dan tawar-menawar dari pasar di dekat situ terdengar jelas.

Aline ada di sana tetapi dengan ekspresi yang lebih lembut dan cerah, berjalan dengan hati-hati di trotoar. Ia mengenakan kaus oblong longgar dan celana jeans. Di tangan kirinya, ia menjinjing dua kantong belanja penuh buah dan sayuran.

​Ia berhenti di tepi jalan, menunggu kesempatan untuk menyeberang.

​Aline berbicara pada dirinya sendiri, pelan.

"Oke, hati-hati. Hari ini hari yang cukup baik."

​Ia melihat ke kanan, lalu ke kiri. Jalanan sedikit melambat. Ia melihat celah.

​Aline melangkah ke jalan.

​Tiba-tiba, dari tikungan, sebuah mobil butut model tua, berwarna kusam, tampak reyot melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil itu seharusnya tidak melaju secepat itu di area pasar.

​Sopir misterius di balik kemudi. Wajahnya tertutup rapat oleh topi yang ditarik rendah dan masker putih polos. Hanya terlihat mata yang tajam dan sebagian rambut panjang hitam yang terurai.

​Aline tersentak. Ia mencoba lari kembali.

Aline berteriak

"TIDAK!"

​Mobil butut itu tidak mengerem.

​BAM!

​Mobil butut itu menabrak Aline. Tubuhnya terlempar, kantong belanjaannya robek, buah-buahan dan sayuran berhamburan di aspal.

​Mobil butut itu bahkan tidak mengurangi kecepatan. Ia langsung tancap gas, menghilang dalam keramaian pagi.

​Beberapa orang di sekitar berteriak kaget.

"Ya Allah!" teriak pedagang satu.

"Panggil ambulans! Cepat!" teriak seorang emak-emak.

​Aline terbaring di tengah jalan, tidak bergerak.

​Di mansion keluarga Ramon. ​Mobil Reno terparkir. Ia keluar, mengenakan setelan kantor yang rapi. Ia tampak segar, tetapi masih ada sedikit ketegangan di wajahnya.

​Ia mengambil napas panjang, lalu berjalan menuju pintu depan.

​Hantu Lilis keluar dari mansion, mengenakan gaun pagi yang elegan. Ia tersenyum, senyum yang sama dinginnya dengan malam tadi, tetapi Reno tidak menyadarinya.

​"Mau berangkat sekarang, Mas?"

​Reno tersenyum sedikit.

"Ya, Lis. Kamu... kamu sudah sarapan? Kamu manggil aku Mas?"

"Iya Mas. Aku udah sarapan. Aku ada janji dengan event organizer untuk persiapan pesta ulang tahun kamu minggu depan."

​Reno tersenyum.

"Aku ingin kamu merayakannya. Sekarang kita udah nikah. Ini adalah perayaan pertama ulang tahun kamu bareng aku. Aku ingin jadi istri yang baik."

​Lilis meraih tangan Reno, menggenggamnya. Tangannya masih dingin.

"Hati-hati di jalan, ya Mas?"

​Reno terkejut dengan panggilan itu, tetapi merasa bahagia.

"Kamu juga, sayang."

​Reno mencium kening Lilis, lalu berjalan ke mobilnya.

​Saat mobil Reno bergerak menjauh, Lilis memandangnya sampai hilang dari pandangan.

​Lalu, ia melihat ke seberang jalan, ke mansion Clarissa yang sunyi. Senyumnya menghilang, digantikan ekspresi datar dan mata yang kosong.

Clarissa bangun di ranjangnya. Ia tampak pucat, ada lingkaran hitam di bawah matanya. Di sebelahnya, buku kuno milik Dika tergeletak terbuka.

​Ia meraih buku itu, menatap tulisan tangan Dika dengan putus asa.

​Clarissa berbisik pada dirinya sendiri.

"Bukan Lilis. Bukan rencana Dika. Tapi... siapa?"

​​Clarissa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Rasa panik memancar dari matanya. Ia menutup buku itu dengan tiba-tiba.

​Clarissa bangkit dari ranjang, langkahnya gontai menuju jendela.

​Ia menarik gorden tebal kamarnya. Cahaya matahari pagi yang lembut langsung membanjiri ruangan.

​Ia memandang ke luar, ke seberang jalan, di mana mansion keluarga Ramon

berdiri megah.

​Lilis masih mengenakan gaun pagi elegan yang sama masih berdiri di depan gerbang mansion.

​Lilis perlahan berbalik. Wajahnya yang sebelumnya datar dan dingin kini diselimuti ekspresi yang lebih gelap dan mengerikan sebuah senyum tipis yang tampak seperti seringai.

​Ia tidak berdiri. Tubuhnya sedikit melayang beberapa senti di atas tanah. Matanya yang kosong, kini tertuju lurus ke arah jendela Clarissa.

​Clarissa tersentak.

​Ia melihat hantu Lilis dengan jelas. Senyum iblis di wajah Lilis, tubuhnya yang melayang, dan tatapannya yang mengunci pada Clarissa tidak ada keraguan lagi.

​Clarissa menjerit dalam hati.

"Dia... dia melihatku!"

​Clarissa segera melepaskan gorden, menutupinya kembali dengan panik, seolah tirai kain itu bisa melindunginya dari pandangan hantu Lilis.

​Ia bersandar di dinding, napasnya tersengal-sengal.

​Tiba-tiba, ponselnya berdering kencang di atas meja samping tempat tidur. Ia terkejut, hampir terjatuh.

​Clarissa berjalan terhuyung, meraih ponselnya. Layar menunjukkan panggilan dari rumah sakit.

​Clarissa ragu sejenak, wajahnya masih pucat karena ketakutan.

Clarissa terhuyung, bersandar di dinding. Ponselnya terus berdering. Ia menguatkan diri, meraihnya. Wajahnya yang pucat dan mata yang panik perlahan berganti dengan kekhawatiran lain.

​Clarissa mengangkat telepon.

"Halo Suster? Ada apa?"

​"Mba Clarissa, kamu harus segera ke rumah sakit."

​"Ada apa, Sus? Papa kenapa?"

​Suster dengan suara bergetar, tetapi ada nada lega yang kuat menjawab,

"Papa kamu... Papa kamu udah bangun."

​Clarissa terdiam. Ia memegang ponselnya erat-erat. Ketakutan akan Lilis seketika menguap, digantikan oleh kejutaan dan kelegaan yang luar biasa. Air mata langsung menggenang di matanya yang kurang tidur.

"Apa? Sadar? Beneran?"

​"Dokter sedang memeriksanya, tapi... dia sadar, Mba. Kamu cepat ke sini!"

​Air mata Clarissa tumpah. Ia menjatuhkan ponselnya ke ranjang ia tidak perlu mendengar lebih lanjut. Ia menutupi mulutnya dengan kedua tangan, tersedak isakan lega.

​"Papa..." Clarissa menangis bahagia.

​Ia langsung bergerak. Panik, tetapi kini panik karena gembira. Ia tidak peduli dengan penampilan, tidak peduli dengan hantu Lilis, tidak peduli dengan buku Dika yang terbuka.

​Ia melirik dirinya di cermin rambut berantakan, kaus tidur kusut, lingkaran hitam di bawah mata. Ia bahkan tidak mandi.

​Ia meraih kunci mobil dan dompet di meja, langkahnya langsung menuju pintu.

​​Koridor rumah sakit tampak sepi di pagi hari, hanya ada beberapa perawat dan dokter yang tergesa-gesa.

​Clarissa muncul, berlari terengah-engah. Ia terlihat kacau tidak mandi, pakaiannya sama dengan saat ia bangun, tetapi di wajahnya terpancar campuran kelegaan yang berlimpah dan kelelahan.

​Ia menemukan kamar VVIP yang ditujukan. Di depan kamar, dokter terlihat jauh lebih segar, sedang berbicara dengan seorang suster. Dokter Saskia mengenakan pakaian rapi, tetapi air mata bahagia masih terlihat di wajahnya.

​Dokter Saskia menoleh, melihat Clarissa. Senyumnya melebar.

​" Mba Clarissa!"

​Mereka berpelukan erat.

"Papamu... Dia ingat kamu. Dia tanya kamu."

​Clarissa melepaskan pelukan, terisak.

"Aku nggak percaya, Dok. Setelah sekian hari."

​Suster Citra tersenyum ramah.

"Tuan Dimitri sudah cukup stabil, Mba. Dia hanya perlu banyak istirahat. Dia boleh ditemui, tapi jangan terlalu lama ya, biar gak kelelahan."

​"Terima kasih, Suster."

"Masama."

​Cahaya lembut membanjiri ruangan.

​Pak Dimitri terbaring di ranjang, selang infus masih terpasang, tetapi alat-alat bantu pernapasan sudah dicopot.

Ia terlihat lemah tetapi matanya, mata yang dulu selalu tajam kini terbuka dan tenang.

​Ia tersenyum lemah saat melihat Clarissa.

​"Cepat sekali datangnya, anak Papa."

​Clarissa mendekat, lututnya lemas. Ia duduk di kursi di sebelah ranjang dan meraih tangan ayahnya.

​"Papa! Papa baik-baik saja? Aku sangat khawatir."

​Dimitri membelai punggung tangan Clarissa dengan jempolnya. Ia menatap wajah putrinya, menyadari lingkaran hitam di bawah mata Clarissa dan betapa kacau penampilannya.

​"Kamu... kenapa wajahmu tegang sekali? Tidur yang cukup, Sayang."

​Clarissa berusaha tersenyum.

"Aku janji akan tidur setelah ini. Aku senang Papa sadar."

​Clarissa menyandarkan kepalanya di tepi ranjang. Kehadiran ayahnya—nyata dan hidup memberinya rasa aman yang hilang sejak beberapa hari lalu.

​Pak Dimitri menghela napas pelan.

"Ada hal... yang Papa harus bicarakan denganmu."

​Clarissa mengangkat kepalanya, kembali menatap mata ayahnya. Ada ekspresi serius yang tidak biasa di sana.

​"Apa, Pa?"

​"Kecelakaan itu... hantu itu..."

​Clarissa mulai tegang.

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!