Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya, masing-masing menyimpan ingatan, kekuatan, dan dosa. Dunia mengejarnya, menyebutnya iblis yang harus dihancurkan — tapi Wuyan punya rahasia yang lebih gelap: ia tidak hanya satu entitas, melainkan ribuan jiwa yang terperangkap dalam satu tubuh.
Jika ia menolak salah satu wajah, sisi itu bisa memberontak dan mencabik jiwanya dari dalam. Tapi jika ia menerima semuanya … ia bisa menjadi musuh terbesar dunia.
Kini Wuyan harus bertarung bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk mendamaikan semua sisi dirinya yang paling menakutkan — sebelum wajah-wajah itu membunuhnya dari dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 — Hantu dari Lembah
Kabut itu muncul begitu saja ketika Wuyan memasuki lembah. Tidak ada angin, tidak ada gerakan dedaunan—hanya tirai kelabu yang turun perlahan seperti sesuatu yang sengaja menutup jalan keluar. Langkahnya teredam tanah basah, bau lumpur dan dupa mati saling bercampur, menyelinap ke dalam paru-parunya. Ia menarik napas pendek. Udara di sini tidak wajar; terasa seperti menarik napas melalui lapisan jiwa orang lain.
Di dalam kepalanya, suara itu pelan—tenang, tapi menusuk.
“Tempat ini tidak ditinggalkan. Mereka hanya tidak hidup.”
Wuyan tidak menjawab. Ia menatap rumah-rumah di sepanjang jalan tanah desa itu. Pintu sebagian besar terbuka, berayun pelan meski tidak ada angin yang mendorongnya. Genteng runtuh, jendela pecah, dan lonceng kayu di beberapa rumah bergetar sendiri, mengeluarkan bunyi lirih yang terdengar seperti bisikan. Desa ini tidak ditinggalkan; desa ini… mati.
Setiap langkah yang Wuyan ambil terasa seperti memasuki ruang yang bukan dunia manusia. Tekanan spiritual menyelimuti dari segala arah, lembut namun dalam, seperti tangan dingin yang mencoba meraih bagian belakang lehernya.
Ia berhenti di tengah jalan.
Ada sesuatu yang menatap.
Ia tahu itu bukan makhluk hidup.
“Fokus,” suara Diri Kedua berbisik. “Tempat ini mengingat kematian. Dan kematian selalu mengingat mereka yang mirip dengannya.”
Dahi Wuyan berkerut. Ia merasakan getaran halus menyentuh segelnya—resonansi lemah, seperti getaran cahaya di permukaan air. Itu bukan serangan. Lebih seperti panggilan.
Atau keluhan.
Ia melangkah masuk lebih dalam ke desa.
***
Roh pertama muncul ketika ia melewati sumur tua. Awalnya hanya kabut yang mengental di ujung penglihatannya. Lalu berubah menjadi bentuk samar—sosok setinggi manusia, wajahnya retak seperti potongan kaca yang ditempel seadanya. Tidak ada mata, tidak ada mulut, hanya garis-garis pecah yang bergerak pelan seolah bernapas.
Roh itu mengulurkan tangan.
Bukan untuk menyerang.
Tidak ada niat itu.
Justru seolah meminta sesuatu. Mencari pegangan dalam kehampaan.
Wuyan menegang. Tekanan spiritual roh itu menyentuh jiwanya. Resonan kecil muncul di wajah pertamanya—suara halus, seperti retakan porselen. Ia bisa merasakannya. Roh itu terpecah di tempat yang sama seperti dirinya.
“Rasakan?” Diri Kedua berbicara lagi. “Mereka seperti pecahanmu. Sama tersesatnya.”
Roh itu mendekat sedikit. Gerakannya lambat, ragu, seperti anak kecil yang ketakutan. Tetapi ketika jarak mereka tinggal satu lengan, sesuatu di dalam Wuyan merespons tanpa ia inginkan—cahaya tipis perak bergetar di sekitar matanya.
Roh itu berhenti. Retakan-retakannya bergerak, menyusun ulang seolah mencoba mengenali bentuk cahaya itu.
“Jangan terlalu dekat,” bisik Diri Kedua. “Bukan mereka yang harus kau takuti, tapi dirimu yang memanggil.”
Wuyan menarik langkah mundur. Roh itu diam, tapi ia tahu: desa ini penuh dengan yang seperti itu.
Ia melanjutkan perjalanan.
***
Rumah pertama yang ia masuki bau tanah, debu, dan kayu lembap. Ada kasur anyaman, meja makan kecil, mangkuk terjatuh di lantai, dan gulungan doa pada altar keluarga yang sudah padam seluruhnya. Seseorang sempat berdoa—lalu berhenti tiba-tiba. Tidak ada tanda pertarungan. Tidak ada tubuh. Hanya… akhir yang terputus.
Wuyan menyentuh altar. Abu dingin menempel di ujung jarinya.
Di luar, suara langkah bergeser.
Ia keluar dan menemukan dua roh lain berdiri diam beberapa langkah darinya. Lalu tiga. Lalu lima. Wajah mereka lebih rusak daripada roh pertama. Beberapa bahkan tidak memiliki bentuk torso penuh; hanya lengan-lengan kabut yang menggantung, wajah yang terbelah di tengah, tubuh yang terus bergeser seperti pasir tertiup arus.
Mereka tidak menyerang.
Hanya mengelilinginya.
Seperti memandangi sesuatu yang hilang dari mereka.
Seperti mencari pantulan jiwa.
Semakin lama, semakin banyak roh yang muncul di jalan tanah. Mereka berdiri diam, atau melayang pelan, tapi semua menatap Wuyan. Suara bisikan mulai terdengar—bukan dari mulut, tapi dari resonansi spiritual mereka.
Potongan-potongan kalimat, tidak jelas, seolah berusaha diingat:
“…kami…” “…dingin…” “…pulang…” “…pecah…”
Wuyan merasakan bulu kuduknya naik.
“Kau yang memanggilnya,” Diri Kedua mengingatkan dengan nada datar. “Tidak ada yang bisa menghindar dari suara mereka. Tidak juga kau.”
Ia ingin menyangkal, tapi roh-roh itu bergerak semakin dekat.
***
Wuyan berdiri di tengah desa, dikelilingi puluhan roh. Ia mengangkat tangan perlahan dan mencoba teknik dasar untuk menenangkan jiwa liar—mantra yang ia pelajari ketika masih siswa termuda di sekte. Cahaya biru muda muncul di telapak tangannya, melingkar pelan.
Roh pertama yang ia temui bergerak maju, menunduk pada cahaya itu seperti seseorang yang haus menatap air. Suara lirih keluar dari resonansinya. Ia mendekat…
…dan di saat itu, wajah pertama di dalam Wuyan bergetar keras.
Suara retakan terdengar dalam tubuhnya.
Aura perak muncul tanpa izin.
Menyambar keluar dari tubuhnya seperti napas dingin yang tak terlihat.
Wuyan tersentak. “Tidak… berhenti—”
Namun sudah terlambat.
Roh-roh itu tertarik oleh aura itu.
Semua sekaligus.
Seketika mereka bergerak lebih cepat—gerakan patah, kacau, tapi bukan agresif. Lebih seperti mereka terluka dan berebut cahaya terakhir yang mereka miliki. Mereka mendekat, menempel, menyentuh udara di sekitar tubuhnya.
Bisikan menjadi jeritan lirih.
Tangisan tak bersuara.
Tawa terputus.
Doa setengah patah.
Dunia di sekitar Wuyan mendadak padat.
Seolah lembah itu mencoba menelannya.
Tekanan spiritual menusuk ke kepala. Urat-urat wajahnya tegang. Napasnya tercekat.
“Kendalikan napasmu!” suara Diri Kedua terdengar jauh lebih tajam. “Jika tidak, mereka akan masuk. Dan kau tidak akan tahu mana dirimu!”
Wuyan berusaha menarik napas perlahan, tapi udara itu seperti logam dingin. Sulit masuk. Sulit keluar. Aura wajahnya terus menari, memantulkan cahaya perak seperti serpihan bulan.
Roh-roh itu bergerak lebih dekat, menempel di tubuhnya seperti kabut basah.
Wuyan merasakan sesuatu—sebuah tarik menarik halus. Roh-roh itu tidak meminta pertolongan. Mereka meminta bentuk. Identitas. Rumah untuk jiwa-jiwa yang retak.
Ia menggertakkan gigi. “Aku bukan rumah kalian…”
Bahkan di tengah kekacauan ini, suara Diri Kedua terdengar sangat jelas.
“Kau juga retak. Mereka hanya mengenali retakan itu.”
***
Dengan sisa kesadarannya, Wuyan memaksa aura peraknya mereda perlahan. Ia membiarkan cahaya itu runtuh sedikit demi sedikit, menariknya kembali ke inti jiwanya sampai hanya tersisa cahaya biru muda dari teknik dasar.
Perubahan itu seperti angin pelan mengalir melewati kabut.
Roh-roh itu melambat.
Gerakan mereka kehilangan ketergesaannya.
Bisikan mereka kembali lirih.
Wuyan menutup mata dan membuka kesadarannya, membiarkan roh-roh itu merasakan ketenangan yang ia buat—bukan perintah, bukan paksaan. Hanya aliran halus, seperti permukaan danau yang mendamaikan bayangan bulan.
Di dalam hening itu, ia merasakan setiap roh: rasa takut, patah, kehilangan arah… dan kekosongan.
Tapi tekanan emosional itu seperti banjir. Kenangan yang bukan miliknya menekan masuk: suara anak-anak, sorakan festival desa, teriakan malam terakhir, rasa dingin ketika jiwa lepas sebelum tubuh.
Ia hampir kehilangan kendali. Bibirnya bergetar. Tangan kirinya mencengkeram tanah lembap untuk bertahan.
Diri Kedua berbicara lebih pelan dari sebelumnya.
“Jangan biarkan mereka menarik napas untukmu. Kau yang masih hidup. Ingat itu.”
Roh-roh itu semakin mereda. Mereka berputar pelan seperti kabut mengikuti arah angin. Cahaya mereka redup, tapi tenang—untuk sekarang.
Namun di antara semua itu… ada satu lagi.
Satu roh yang berbeda.
Dan ia merasa keberadaannya sebelum melihatnya.
Ia merasakan keberadaan itu bahkan sebelum bentuknya terlihat. Bukan tekanan—bukan juga ancaman. Lebih seperti tatapan yang sadar, bukan sekadar gema dari jiwa yang pecah. Ketika kabut pelan membuka jalan, sosok itu muncul dari arah altar desa yang runtuh.
Roh itu berbeda dari puluhan roh yang mengelilingi Wuyan sebelumnya. Bentuknya lebih utuh, hampir menyerupai tubuh manusia yang tidak terlalu rusak. Hanya satu hal yang membuatnya tampak tidak wajar: wajahnya. Bukan wajah manusia, bukan wajah yang retak seperti lainnya, melainkan seperti topeng dari kaca halus. Licin, tanpa lubang mata, tanpa mulut, tapi tetap menatapnya. Dan dari balik topeng itu mengalir cahaya redup—gelombang spiritual yang tidak kacau seperti roh-roh lain.
Roh itu melayang pelan mendekat.
Wuyan menegakkan punggung, meski tubuhnya masih gemetar karena tekanan jiwa yang tertinggal. “Apa yang kau inginkan?” suaranya terdengar serak. Ia tahu roh tidak menjawab dengan kata-kata, namun ia tetap berbicara. Terkadang suara manusia diperlukan untuk menegakkan dirinya sendiri.
Roh itu berhenti satu langkah di depannya. Tangan samar itu bergerak, ragu, seolah menilai apakah ia boleh menyentuh. Kemudian, perlahan, jari-jari kabut itu menyentuh dahi Wuyan.
Sentuhan itu dingin, tapi bukan dingin kematian. Lebih seperti memori hujan pertama—sejuk, menusuk, dan sarat makna. Seketika, sesuatu memancar masuk ke dalam kesadaran Wuyan. Bukan serangan, melainkan arus ingatan yang dituangkan tanpa filter.
Ia melihat kilasan gambar.
Rumah-rumah desa ini.
Lampion yang menyala saat festival musim lama.
Anak-anak tertawa sambil berlari di jalan tanah.
Orang-orang dewasa menyiapkan persembahan di altar keluarga.
Lalu, di tengah semua itu… cahaya merah samar.
Aura roh lain.
Aura seorang kultivator.
Wuyan melihat seorang lelaki berjubah sekte besar—simbol awan emas pada bahunya. Ia mengenal simbol itu. Sekte yang gemar bermain dengan batas-batas spiritual untuk “menguji” teori mereka.
Lelaki itu menanamkan sesuatu di tanah desa: sebuah altar kecil dari batu hitam, penuh jimat terbalik. Dan saat ia mengaktifkannya, cahaya merah itu berubah menjadi pusaran yang menarik jiwa manusia sebelum tubuh mereka sempat runtuh. Jeritan tidak terdengar, tapi tekanan spiritual yang terlepas meninggalkan retakan permanen di udara.
Lalu semuanya terputus.
Gambar terakhir yang tersisa adalah genangan darah yang tidak menyebar. Seolah beku oleh sesuatu.
Kilasan itu berhenti.
Roh yang menyentuh Wuyan menarik tangannya perlahan, seperti sadar bahwa ia telah memberikan terlalu banyak.
Wuyan menahan napas.
“Ini… bukan karena iblis,” gumamnya tanpa sadar.
Suara itu lirih, tapi terdengar jelas oleh kesadarannya sendiri. “Ini eksperimen.”
Diri Kedua bersuara.
“Ada yang lebih buruk daripada iblis, Wuyan. Dan biasanya mereka memakai jubah sekte.”
Wuyan menggenggam pergelangan tangannya sendiri, mencoba menstabilkan napas. Desa ini bukan jatuh secara alami. Bukan gangguan roh liar. Mereka menjadi seperti ini karena seseorang mengubah mereka. Mencari sesuatu. Mengorbankan orang-orang yang tidak punya kekuatan untuk melawan.
Roh di depannya menggerakkan kepala, seakan memahami pikiran Wuyan. Kemudian, suara halus—bukan melalui telinga, tetapi melalui resonansi langsung—mulai terbentuk.
“Kau… sama seperti kami.”
Jeda.
“Pecah… tapi masih mencari bentuk.”
Wuyan terpaku. Kata-kata itu bukan suara, bukan bahasa roh, melainkan bentuk kesadaran. Dan ia mengerti maknanya. Roh itu melihat pecahan dalam dirinya—wajah yang tersebar, jiwa yang tidak utuh, retakan yang menjadi bagian esensinya.
Roh itu mundur setengah langkah.
Kabut di sekitar tubuhnya berkedip-kedip, seolah ingin menghilang namun menahan diri.
“Aku bukan kalian,” bisik Wuyan. Tapi begitu ia mengucapkannya, ia sendiri tidak yakin.
Ada saat-saat tertentu, ketika dia menggunakan wajah-wajah di dalam dirinya, ia memang merasa kehilangan batas. Terkadang ia tidak tahu apakah ia yang memutuskan sesuatu, atau wajah mana yang bergerak terlebih dahulu.
Diri Kedua mendesis halus.
“Mereka hanyalah cermin dari sesuatu yang tidak ingin kau lihat.”
Wuyan mengalihkan pandangan dari roh itu. Ia merasa bagian dalam jiwanya bergeser, tersentuh oleh arus emosional yang bukan miliknya. Ia butuh ruang. Butuh udara yang tidak mengandung gema sisa kematian.
Perlahan, ia memberi sinyal kepada roh-roh untuk mundur—bukan perintah, hanya aliran niat. Tidak semua mengerti, tapi sebagian menghilang perlahan, seperti kabut yang mulai menipis saat matahari naik. Roh-roh itu tidak benar-benar pergi; mereka hanya memudar, menunggu sesuatu.
Roh dengan topeng pecah itu adalah yang terakhir menghilang. Ia menatap Wuyan sampai detik terakhir, seolah ingin memastikan satu hal:
Bahwa mereka bukan sekadar hantu baginya.
Bahwa ia mengerti apa yang telah terjadi pada mereka.
---
Ketika Wuyan berjalan ke sisi timur desa, matahari mulai turun di balik lembah, menyinari langit dengan warna keabu-abuan yang tampak lebih berat dari sebelumnya. Tidak ada lagi suara roh; hanya suara langkahnya sendiri dan desahan angin yang terasa seperti napas terakhir bumi.
Rumah-rumah kosong di sisi jalan memantulkan cahaya senja, membuat bayangan panjang yang bergerak lembut, seperti sisa-sisa kehidupan yang menolak untuk lenyap sepenuhnya.
Ia berhenti di tengah desa.
Baru sekarang ia menyadari betapa lelah tubuhnya. Bahkan napasnya terasa seperti menelan beban yang ditinggalkan oleh ratusan jiwa yang tidak sempat mengucapkan apa pun saat hidup mereka terputus.
“Aku tidak bisa tinggal di sini,” gumamnya.
Ia tidak berbicara pada siapa pun, tapi juga bukan untuk dirinya sendiri.
Diri Kedua menjawab.
“Tidak ada yang meminta kau tinggal. Mereka hanya ingin dikenali.”
“Dan setelah itu?”
“Setelah itu… setiap fragmen yang mengenal fragmen lain akan selalu memanggil. Itu sifat jiwa.”
Wuyan diam.
Ia tidak menolak, tidak membenarkan.
Ia memahami.
Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju jalan keluar desa. Kabut menipis sedikit, seolah memberi jalan. Namun ketika ia mencapai gerbang desa yang setengah runtuh, ia melihatnya.
Satu roh terakhir menunggu di sana.
Roh itu berdiri tegak di dekat gerbang kayu yang lapuk. Bentuknya lebih sederhana daripada roh dengan topeng pecah sebelumnya. Tidak setinggi yang lain, mungkin tinggi seorang remaja. Tapi wajahnya…
Wajahnya seperti topeng yang benar-benar pecah. Retakan menyilang dari pelipis ke dagu. Cahaya redup mengalir dari celah-celahnya.
Saat Wuyan berhenti, roh itu mengangkat tangan.
Bukan ancaman.
Bukan permintaan.
Hanya gerakan sederhana yang terasa seperti salam dari dunia yang tidak memiliki bahasa.
Kemudian, suara halus bergetar di dalam pikiran Wuyan.
“Kami akan memanggilmu lagi.”
Bukan janji.
Bukan ancaman.
Lebih seperti kebenaran yang tidak bisa dihindari.
Wuyan menutup mata sejenak.
Ia merasakan sesuatu yang bergetar halus di segel jiwa—bukan reaksi wajah, tapi bayangan halus dari resonansi yang belum selesai.
Diri Kedua berbicara perlahan, nyaris seperti gumaman.
“Pergilah sebelum retakan mereka menyentuh retakanmu lebih dalam.”
Wuyan membuka mata.
Roh itu sudah memudar, tersapu angin lembah. Hening menggantung di udara.
Tanpa menoleh lagi, Wuyan melangkah pergi dari desa itu.
Setiap langkah terasa berat.
Setiap langkah terdengar seperti gema dari sesuatu yang tidak ingin berakhir di sana.
Dan ia tahu, meski tidak ada yang mengatakannya:
desa itu tidak akan hilang dari dirinya.
Tidak selama retakan di jiwanya tetap ada.
Tidak selama wajah-wajah di dalam dirinya tetap terjaga.
Ia berjalan keluar lembah ketika cahaya terakhir senja memudar. Dan di kejauhan, angin membawa suara yang tidak jelas apakah itu bisikan atau hanya imajinasinya sendiri.
Tapi ia tahu apa artinya.
Perjalanan ini tidak akan semakin ringan.
Hanya semakin dalam.
Dan dunia tidak akan berhenti memanggil retakan-retakannya.