Irsyad mendapat tugas sulit menjadikan Bandung Medical Center sebagai rumah sakit pusat trauma di Bandung Timur.
Kondisi rumah sakit yang nyaris bangkrut, sistem yang carut marut dan kurangnya SDM membuat Irsyad harus berjuang ekstra keras menyelesaikan tugasnya.
Belum lagi dia harus berhadapan dengan Handaru, dokter bedah senior yang pernah memiliki sejarah buruk dengannya.
Bersama dengan Emir, Irsyad menjadi garda terdepan menangani pasien di Instalasi Gawat Darurat.
Terkadang mereka harus memilih, antara nyawa pasien atau tunduk dengan sistem yang bobrok.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Putus
“Apa? Kamu bercanda kan?”
“Aku serius, Renya. Hubungan kita sudah tidak bisa diteruskan lagi.”
“Tapi kenapa? Kamu tahu kalau aku sangat mencintai mu dan kamu juga mencintai ku. Benar kan?”
“Terkadang cinta saja tak cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan, apalagi melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius.”
Renya hanya mampu terdiam. Apa yang dikatakan Reynand barusan, sama persis dengan apa yang dikatakan Ibunya. Kepala Renya menggeleng, dia masih belum menerima keputusan Reynand untuk mengakhiri hubungan.
Maira yang ada di dekat mereka, bisa mendengar pembicaraan kedua orang itu. Kursi yang didudukinya membelakangi posisi Reynand dan Renya. Posisi sandaran kursi yang tinggi, membuat keberadaan gadis itu tidak terlihat. Ingin rasanya Maira segera pergi, tapi kalau pergi, dia harus melewati kursi yang ditempati pasangan yang sedang berbincang.
“Apa alasan mu ingin mengakhiri hubungan kita?”
“Ada banyak alasan, Renya.”
“Apa? Katakan semua!”
Emosi Renya mulai meninggi. Wanita itu masih belum menerima keputusan Reynand untuk mengakhiri hubungan.
“Pertama soal karir. Selama menjalin hubungan, kamu tahu sendiri kalau kita melakukannya secara LDR. Dan ketika kita menikah nanti, bukan tidak mungkin ini akan terus berlanjut. Aku tidak mungkin pergi ke Jakarta dan kamu juga tidak bisa pindah ke Bandung.”
“Aku memang tidak bisa pindah ke Bandung, tapi kamu bisa pindah ke Jakarta.”
“Ini bukan masalah bisa atau tidak. Tapi aku memang tidak mau untuk pindah ke sini.”
“Kenapa? Kenapa kamu selalu bertahan di Bandung? Apa kamu tidak mau karir mu berkembang?”
“Aku tetap bisa merintis karir ku walau tidak pindah ke Jakarta. Dan aku punya alasan sendiri untuk tidak pindah.”
“Apa alasannya? Kamu selalu mencari alasan saja! Kamu memang tidak mau memperjuangkan hubungan kita. Kamu tidak peduli pada ku. Kamu egois!”
“Kamu tahu, Renya? Selama kita berhubungan, kamu selalu menilai situasi kita lewat kacamata mu. Memakai standar mu. Kamu tidak pernah peduli alasan ku yang sebenarnya. Kamu tahu alasan ku tidak mau pergi dari Bandung karena aku masih berharap kedua orang tua ku bisa menemukan ku.”
“Mereka sudah membuang mu. Apa yang kamu harapkan dari mereka? Apa kamu berharap mereka akan menyambut mu dengan tangan terbuka? Jangan mimpi, Rey! Mereka sudah membuang mu sejak bayi. Itu artinya mereka memang tidak menginginkan mu!”
Maira cukup terkejut mendengar penuturan Renya. Tidak seharusnya wanita itu mengatakan hal tadi pada Reynand. Itu sama saja dia tengah menabur garam di luka Reynand.
“Ya, mungkin kamu benar. Mereka sudah membuang ku sejak aku masih bayi merah. Itu artinya mereka memang tidak menginginkan ku. Kamu tidak perlu mengingatkan ku. Aku sadar akan hal itu. Aku hanya ingin tahu alasan mereka membuang ku. Apakah karena aku lahir dari hubungan terlarang, atau karena faktor ekonomi? Apa aku tidak boleh tahu alasan mereka membuang ku?”
Seketika Renya dihantam perasaan bersalah. Apalagi ketika mengatakan itu semua, wajah Reynand nampak sendu.
“Maafkan aku, Rey. Bukan maksud ku seperti itu.”
Renya mengulurkan tangannya, hendak menyentuh tangan Reynand. Namun dengan cepat pria itu menarik tangannya. Dan itu semakin membuat Renya merasa bersalah sekaligus kecewa. Reynand menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.
“Alasan kedua karena orang tua mu. Orang tua mu tidak merestui hubungan kita. Dan aku tidak mau melakukan pernikahan tanpa restu orang tua.”
“Tapi kita bisa berjuang bersama, Rey. Selama ini aku sendirian berjuang tapi kamu sama sekali tidak mau ikut berjuang. Aku sudah berusaha membuka jalan untuk karir mu di sini, tapi apa balasannya? Kamu sama sekali tidak menghargai apa yang kita lakukan.”
Terdengar hembusan nafas kasar, Reynand. Pria itu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa seraya memijit pelipisnya. Dia memang sudah menyangka perbincangan ini akan berlangsung alot. Namun tetap saja membuatnya pusing.
“Aku ingin kamu memiliki karir yang bagus, relasi yang banyak dan luas, supaya apa? Supaya orang tua ku bisa melihat mu yang sebenarnya dan tidak selalu meremehkan mu! Tapi kamu sama sekali tidak menghargai apa yang ku lakukan. Malah kamu ingin mengakhiri hubungan,” kembali Renya melanjutkannya. Dadanya naik turun, menunjukkan emosinya yang mulai tidak stabil.
“Kalau memang orang tua mu mau menerima ku, tidak perlu aku membuktikan diri. Tidak perlu aku harus menjadi orang yang berkarir cemerlang atau memiliki hubungan dengan orang-orang besar. Cukup dengan mereka melihat ku apa adanya dan percaya kalau aku bisa membahagiakan anaknya. Tapi orang tua mu tidak sesederhana itu.”
“Kamu tahu Papa ku. Wajar saja kalau dia ingin yang terbaik untuk anaknya. Tidak bisakah kamu mengalah?”
“Ya, kamu benar. Salah ku yang berani menjalin hubungan dengan anaknya.”
“Reynand!”
Pembicaraan di antara dua orang itu semakin menegang dan memanas. Maira semakin merasa terjebak. Diam salah, pergi juga salah. Gadis itu segera mengirimkan pesan pada sang Mama untuk segera menjemputnya di lobi. Dia sudah tidak ingin lagi mendengar pembicaraan sepasang kekasih yang hendak putus.
“Maafkan aku, Renya. Aku benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan. Selain dua alasan tadi, ada satu hal lagi yang tidak kalah penting.”
“Apa?” tanya Renya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Aku jatuh cinta pada perempuan lain.”
Bukan hanya Renya, tapi Maira yang tak sengaja mencuri dengar juga dibuat terkejut. Dia yang tadinya sudah jengah, justru sekarang malah jadi penasaran. Siapa perempuan yang sudah berhasil membuat Reynand berpaling dari kekasihnya yang secara fisik terlihat sempurna.
“Apa? Kamu berselingkuh dari ku, Rey?”
Terdengar tawa sumbang Renya. Alasan ketiga yang disebutkan Reynand, membuatnya tidak bisa berkata-kata. Jika sebelumnya alasan yang diungkap Reynand, membuatnya emosi. Di alasan ketiganya ini, wanita itu merasa sakit hati. Cintanya sudah dibalas pengkhianatan oleh sang kekasih.
“Siapa perempuan itu? Sudah berapa lama kalian bersama? Apa aku mengenalnya?” cecar Renya.
“Aku bilang, aku jatuh cinta pada perempuan lain, bukan menjalin hubungan dengannya. Maafkan aku kalau kamu merasa aku tidak bisa menjaga hati ku. Tapi sejujurnya, perasaan ku pada mu sudah cukup lama memudar dan hilang. Aku bertahan sampai hari ini karena aku masih bingung bagaimana mengatakannya pada mu. Dan perempuan ini, aku baru saja bertemu dengannya. Aku juga belum terlalu mengenalnya. Yang aku tahu, aku jatuh cinta padanya di saat pertama aku melihatnya.”
Dengan jujur Reynand mengakui perasaannya yang sudah mendua dan hatinya sekarang condong pada perempuan lain. Sebenarnya dia bisa saja menutupi hal ini dan hanya fokus pada dua alasan sebelumnya. Tapi Reynand tidak mau menjadi seorang pengecut. Karenanya dia mengakui soal perasaannya sekarang.
Entah mengapa, ketika Reynand mengungkapkan tentang perempuan yang sudah membuatnya jatuh cinta, Renya langsung teringat akan Maira, anak dari Irzal. Tadi dia sempat melihat cara Reynand memandang gadis itu cukup berbeda dan sedikit mengusik perasaannya.
“Apa perempuan itu Maira?”
Senyum tipis tercetak di wajah Renya ketika melihat perubahan mimik wajah Reynand. Ternyata dugaannya benar. Harus diakui insting seorang wanita memang tajam.
Lagi-lagi Maira dibuat terkejut. Bagaimana mungkin dirinya dijadikan tersangka. Sementara dia hanya mengenal Reynand sekilas. Itu pun karena urusan rumah sakit.
“Sudah berapa lama kalian saling mengenal? Sudah berapa kali kalian bersama? Apa yang dia berikan sampai kamu jatuh cinta padanya?!” lagi-lagi emosi Renya mencuat.
“Aku pertama kali melihatnya saat pertemuan terakhir kita di Bandung. Aku melihatnya di café tempat kita makan. Dan dia juga yang memergoki kita saat sedang berciuman di parkiran basement. Aku bertemu lagi di rumah sakit saat dia membantu pembayaran operasi salah seorang pasien. Dan pertemuan ku di sini dengannya adalah pertemuan ketiga ku dengannya. Aku tahu ini mungkin terdengar klise di telinga mu, tapi aku benar-benar jatuh cinta padanya saat pandangan pertama. Ketika aku melihatnya di café.”
“Pak Irzal bilang kamu pernah mengantarnya pulang. Kalian kemana saja saat itu? Apa kamu membawanya ke hotel lebih dulu?”
Ingin rasanya Maira langsung berdiri lalu menyemprot Renya yang seenaknya menilai sebagai wanita murahan. Kalau perlu dia ingin menampar wajah wanita itu. Tapi gerakan Maira terhenti ketika mendengar suara Reynand.
“Renya! Maira itu perempuan baik-baik. Kamu tidak berhak menilainya seperti itu. Lagi pula ini hanya perasaan ku saja. Aku yakin dia tidak memiliki perasaan yang sama dengan ku. Jangan menyalahkannya.”
“Apa kamu yakin kalau dia perempuan baik-baik? Jangan karena dia berhijab, kamu menilainya baik, alim dan tidak tersentuh. Banyak perempuan yang menjadikan hijab hanya sebagai tameng.”
“Jangan menilai dirinya dari kacamata mu sendiri, Renya. Jangankan melakukan hal yang dilarang, bahkan dia tidak memperbolehkan laki-laki yang bukan mahramnya menyentuh ujung jarinya sekali pun. Dia tidak seperti mu yang memiliki gaya hidup bebas.”
“Bukankah kamu menikmatinya? Kamu menikmati ketika berciuman dengan ku.”
“Aku lelaki normal, Ren. Ya, aku memang menikmatinya tapi hanya sebatas itu. Kalau aku mau, aku bisa saja mengiyakan ajakan mu untuk berhubungan badan. Tapi aku sadar kalau kita belum boleh melakukannya. Kita berciuman saja itu sudah dosa. Aku ngga mau melakukan lebih dari itu. Dan jujur saja, gaya hidup bebas mu yang membuat ku berpikir ulang soal hubungan kita. Kadang aku berpikir, saat kita berjauhan, apa kamu benar-benar bisa menjaga diri untuk tidak bersama laki-laki lain?”
Seketika Renya langsung terbungkam. Wanita itu tidak bisa menyangkal apa yang dikatakan Reynand. Di awal-awal hubungan mereka, Renya masih bisa santai menjalani hubungan LDR. Tapi lama kelamaan, dia tergoda juga.
Selama dua tahun berhubungan dengan Reynand, dia sempat berkencan dua kali di belakang kekasihnya. Pertama dengan rekan kerjanya, kedua dengan teman kuliahnya yang baru bertemu kembali setelah empat tahun tidak bertemu.
“Keputusan ku sudah bulat, Ren. Kita akhiri saja hubungan ini. Kamu bisa mencari laki-laki yang baik, yang bisa diterima kedua orang tua mu dan memiliki karir bagus. Aku minta maaf kalau selama berhubungan dengan mu, aku melakukan banyak kesalahan. Membuat mu kecewa atau sakit hati.”
Reynand bangun dari duduknya. Melihat Renya yang hanya diam saja, Reynand menganggap kalau wanita itu sudah setuju dengan keputusannya. Pria itu menepuk pelan pundak Renya sebelum meninggalkannya.
Tanpa dapat ditahan airmata Renya jatuh bercucuran. Wanita itu menangis tersedu, tanpa mempedulikan orang-orang yang melintas di dekatnya memperhatikan dirinya.
Maira yang sedari tadi hanya terdiam di tempatnya mulai beranjak. Dia membuka tasnya, kemudian mengeluarkan tisu dari dalamnya. Sambil berjalan, Maira meletakkan tisu di atas meja. Wanita itu tidak menoleh ke belakang, agar Renya tidak mengenalinya.
Sambil membuka pesan yang dikirimkan Mamanya, Maira berjalan menjauh dari mejanya. Kedua orang tuanya masih berada di ballroom. Tak mau kembali ke sana, Maira memilih menunggu di kedai kopi yang ada di lobi.
Ketika Maira memasuki kedai kopi, matanya langsung melihat Reynand yang juga sedang duduk di sana. Pria itu juga tengah melihat padanya.
***
Eaa.. Kira² gimana reaksi Maira pas tahu kalau Reynand suka sama dia?
apa katanya gk takut dgn Dadvar....padahal ciut dlm hatinya pasti deh iya takut🫣
Bagus Davdar biar Sentanu mingkem, baru tau kalau dia bermasalah. Titip salam sama Sentanu, kalau dipulau Rinca butuh CMO kalau dia mau bisa tuh ngatur ngatur komodo, kali aja komodonya manut sama Sentanu😂😂😂