Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 — Kisah Pengawal yang Dikhianati
Malam telah turun, menyelimuti desa dalam keheningan yang tebal, tetapi gudang padi terasa seperti pusat badai. Kepala Desa Liang telah memerintahkan agar gudang itu dijaga, meskipun para pemuda yang mabuk itu lebih terlihat seperti penjaga tidur daripada penjaga sungguhan.
Mei Lan tiba di gudang padi, menyelinap melalui tumpukan karung kosong. Jian menunggunya di dalam, duduk di atas tumpukan jerami yang bersih. Ia telah membersihkan lukanya dan kini mengenakan pakaian yang lebih rapi, tetapi ketegangan di wajahnya tidak hilang.
“Mei Lan,” bisik Jian, berdiri dan menyambutnya.
Mei Lan tidak menunggu. Ia langsung berjalan ke arahnya. Ia tidak melihat kriminal atau pengkhianat; ia hanya melihat pria yang dicintainya, pria yang menanggung beban yang tak terbayangkan.
“Tanda itu,” kata Mei Lan, suaranya pelan tetapi dipenuhi urgensi. “Tanda di pergelangan tanganmu. Ceritakan semuanya, Jian. Aku tidak peduli apa yang mereka katakan. Aku hanya ingin tahu kebenarannya darimu.”
Jian menatapnya lama. Ia menarik napas dalam-dalam, sadar bahwa pengakuan ini adalah risiko terbesarnya. Jika Mei Lan tidak percaya padanya, Jian akan kehilangan segalanya, bahkan keinginan untuk hidup.
“Duduklah, Gadis Manis,” kata Jian, menuntunnya untuk duduk di sampingnya.
Ia mulai bercerita, suaranya rendah dan serak, seolah setiap kata adalah batu yang harus ia angkat dari dasar jiwanya.
Awal Mula Bayangan Singa
“Namaku yang sebenarnya adalah Rho Jian. Aku bukan prajurit biasa. Aku adalah Jenderal dan komandan Bayangan Singa—Pasukan Elite Kekaisaran,” Jian memulai. “Cap di pergelangan tanganku itu adalah lambang kami. Kami adalah pengawal pribadi Kaisar, mata-mata, dan eksekutor rahasia. Kami hanya patuh pada satu orang: Kaisar sendiri.”
Mei Lan mendengarkan, matanya terpaku pada wajah Jian. Pengakuan itu terasa asing, seperti kisah dari legenda kuno.
“Tugas kami adalah menjaga Kekaisaran tetap stabil. Itu termasuk mengawasi para bangsawan tinggi, menteri, bahkan… putra mahkota. Kami tahu rahasia yang tidak boleh diketahui siapa pun.”
Jian berhenti sejenak, menatap ke kejauhan. “Selama bertahun-tahun, aku setia pada Istana. Aku percaya pada Kaisar, aku percaya pada keadilan. Kami berhasil menghancurkan beberapa plot pengkhianatan dan menjaga kedamaian di perbatasan. Aku mengira aku adalah alat kebaikan.”
Pengkhianatan dan Penemuan
“Dua tahun lalu, Kaisar mulai sakit-sakitan. Putra Mahkota mengambil alih banyak urusan kenegaraan. Dan di situlah masalahnya dimulai. Putra Mahkota bukan Kaisar. Dia haus kekuasaan dan ambisius. Dia mulai membuat keputusan yang akan menghancurkan rakyat—memeras pajak dari rakyat jelata, mengambil tanah, dan membiarkan para menteri korup tumbuh subur.”
“Aku dan skuadku mulai menyelidiki. Kami tidak percaya bahwa Kaisar yang jujur akan mengizinkan hal itu. Kami menemukan sebuah plot yang mengerikan: Putra Mahkota sedang bernegosiasi secara rahasia dengan musuh di Perbatasan Utara. Dia berencana mengorbankan beberapa wilayah kekaisaran dan tentaranya sendiri untuk mendapatkan dana demi memperkuat kekuasaannya sendiri di ibukota. Itu adalah pengkhianatan tingkat tertinggi.”
Jian merogoh tasnya. Ia mengeluarkan gulungan yang telah ia sembunyikan di balik perban sejak mereka melarikan diri dari penjara Nyonya Liu.
“Gulungan ini,” katanya, memperlihatkan gulungan sutra kecil yang terbungkus kulit yang sudah lusuh. “Ini adalah bukti, Mei Lan. Ini adalah kontrak pengkhianatan yang ditandatangani oleh Putra Mahkota dan Raja Utara. Jika gulungan ini jatuh ke tangan Kaisar yang masih sakit, Putra Mahkota akan dieksekusi, dan perang akan dicegah.”
Jebakan dan Pembantaian
“Ketika aku mendapatkan gulungan itu, aku tahu aku harus membawanya langsung ke Kaisar. Tetapi Putra Mahkota tahu kami mengawasinya. Dia menggunakan orang yang paling kupercayai untuk menjebakku: Letnan Komandanku sendiri, yang telah disuap dengan janji jabatan Wazir Agung.”
Suara Jian bergetar. Ia mengepalkan tangannya, membiarkan kebencian yang ia rasakan selama dua tahun itu mengalir.
“Kami dikepung di barak kami sendiri. Putra Mahkota menuduh kami sebagai pengkhianat, mengatakan bahwa kami mencoba bernegosiasi dengan Utara atas nama Kaisar. Aku beruntung. Aku sempat melarikan diri, tetapi…,” Jian berhenti, tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.
Mei Lan merasakan nyeri yang menusuk. Ia tahu bagian ini adalah bagian yang paling menyakitkan.
“Semua temanku,” lanjut Jian, suaranya sangat rendah. “Semua Bayangan Singa lainnya… Mereka dibantai. Dipenggal di alun-alun, dituduh sebagai pengkhianat terbesar. Mereka mati dengan nama buruk, padahal mereka adalah pahlawan sejati. Aku satu-satunya yang selamat. Aku berhasil melarikan diri bersama gulungan ini, tetapi aku juga terluka parah. Cap Singa di pergelangan tanganku itu… itu dicabut secara paksa dengan besi panas oleh algojo Putra Mahkota, sebagai simbol bahwa aku telah dicabut dari kehormatan dan takdirku adalah mati di tiang gantungan.”
Jian menunjukkan bekas luka parah di punggungnya. “Luka-luka ini adalah hasil siksaan sebelum aku berhasil melarikan diri. Mereka ingin tahu di mana gulungan ini.”
Jian menoleh kepada Mei Lan, matanya penuh air mata yang tidak ia biarkan jatuh.
“Itulah mengapa aku tidak bisa mencintaimu, Gadis Manis. Aku adalah magnet bencana. Aku membawa kematian ke mana pun aku pergi. Aku dicari oleh Tuan Yu, Mata-mata Istana yang paling kejam, karena aku memiliki satu-satunya bukti yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan Kekaisaran. Aku hanyalah mayat berjalan yang mencoba mengantar gulungan ini ke tangan yang benar sebelum aku mati.”
Ia membuka telapak tangannya. “Aku datang ke desamu untuk bersembunyi. Aku bertemu denganmu, dan kau memberiku harapan. Tapi aku mencoba menjauh darimu. Aku tidak ingin kau dibantai seperti teman-temanku.”
Kerentanan dan Penyatuan
Mei Lan mendengarkan setiap kata. Ia tidak melihat cerita epik, ia melihat rasa sakit. Ia melihat ketulusan mutlak di mata Jian. Cap itu, bekas luka itu, semua itu bukan tanda penjahat, melainkan medali pengorbanan yang pahit.
Air mata mulai mengalir di pipi Mei Lan. Bukan karena takut, tetapi karena rasa iba yang mendalam dan cinta yang memilukan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, memeluk Jian, tidak peduli dengan gulungan rahasia atau pengkhianatan Kekaisaran. Ia hanya memeluk pria yang telah menanggung semua beban itu sendirian.
“Jian,” bisik Mei Lan, suaranya tercekat. “Kau… Kau bukan pengkhianat. Kau adalah pahlawan. Kau adalah orang yang paling jujur dan paling berani yang pernah kutemui.”
Ia melepaskan pelukan itu, tangannya yang lembut, tangan seorang penenun, kini memegang wajah Jian yang kotor.
“Semua rasa sakit ini,” kata Mei Lan, mengusap air mata Jian yang akhirnya menetes, “semua ini bukan salahmu. Kau telah menyelamatkan Kekaisaran. Dan sekarang, aku di sini.”
Ia memegang wajah Jian dengan kedua tangan, mata mereka terkunci.
“Aku tidak peduli dengan Istana atau Putra Mahkota. Aku hanya peduli padamu. Kita akan membawa gulungan ini ke tempat yang aman. Kita akan mengakhirinya. Dan aku akan memikul beban ini bersamamu. Aku sudah memberitahumu, benang kita terjalin. Sampai akhir.”
Jian merasakan kekuatan di tangan Mei Lan yang memegang wajahnya. Kekuatan seorang penenun yang telah memilih untuk menganyam nasibnya sendiri dengan takdir Jian. Ia menyerah pada Mei Lan, pada cinta yang ia coba tolak.
Ia mencondongkan tubuhnya, dan mereka berciuman lagi, sebuah ciuman yang kini dipenuhi oleh air mata dan kesepakatan yang tak terucapkan. Itu adalah janji bahwa mereka akan menghadapi Istana, Putra Mahkota, dan Tuan Yu, bersama-sama.
Jian tahu, ia tidak lagi berjuang sendirian. Ia telah menemukan cahaya yang tidak bisa dipadamkan, dan ia akan melindungi cahaya itu dengan seluruh sisa hidupnya.