Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.
Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.
Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.
Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
"Di mana cucuku?" Tanya Frans.
Damian tertegun lalu kembali menormalkan ekspresinya. "Zia gak bisa datang, Yah. Dia sedang sakit. Jadi, lebih memilih tinggal di rumah."
"Anakmu sakit, tapi kamu masih menggelar pesta ini?"
"B-bukan gitu, Yah. Zia sakitnya mendadak, gak mungkin pesta ini dibatalkan sementara undangan sudah disebar dan gedung sudah didekor."
"Halah! Apa pun alasannya seharusnya kamu gak membiarkan Zia sendiri di rumah, Damian!"
Amanda menggigit bibirnya lalu menoleh pada anaknya, memberi kode yang tentu saja langsung dimengerti oleh Gaby.
"Kakek. Apa kabar? Aku kangen banget sama Kakek." sapa Gaby dengan suara halus, ia mendekati Frans dan langsung memeluk tubuh renta itu.
Berbeda dengan Amanda tadi, kali ini kakeknya menoleh padanya dan menjawab sapaan Gaby walaupun ia sama sekali tidak membalas pelukan itu.
"Baik," sahut Frans.
"Aku senang bisa ketemu Kakek di sini. Rasanya udah lama sekali kita gak ketemu, Kek."
Frans menatap Gaby lalu berkata, "Kalau kamu mau bertemu dengan saya kamu bisa main ke Singapura bersama Zia, dia sering sekali ke sana sendiri walaupun belakangan ini Zia sudah tidak pernah berkunjung lagi." Ujarnya sedikit kesal, tujuannya hadir di pesta ini sebenarnya untuk menemui Zia, tapi cucunya itu malah sedang sakit.
Gaby menunduk dengan aura muram. "Sebenarnya aku juga ingin ikut ke rumah Kakek, tapi Kak Zia selalu melarang aku ikut, entah kenapa dia gak suka kalau aku ikut ke rumah Kakek," katanya lirih.
"Maksud kamu?"
Gaby tersenyum sendu. "Mungkin dia masih belum bisa terima aku, Kek."
Frans terdiam mendengar itu.
Amanda mengusap pundak Gaby, "Gaby memang selalu merindukan kakeknya, tapi dia gak berani berbicara secara gamblang karena takut Zia makin membencinya, Yah."
"Aku sayang banget sama Kak Zia dan gak mau Kakak semakin benci sama aku karena berusaha nemuin Kakek." Gaby menunduk dengan jari-jarinya yang saling terkait.
Frans menghela napas panjang, sejujurnya ia tidak membenci gadis kecil ini, tapi entah kenapa setiap melihatnya ia selalu teringat dan merasa bersalah kepada ibu angkat Zia yang sudah wafat. Ia kembali menghela napas, namun melerai seketika ketika melihat ke arah pintu masuk di mana orang-orang yang ia harapkan kehadirannya tengah berjalan tenang di antara banyaknya tamu yang hadir.
"Zia!" ujar Frans tidak bisa menutupi wajahnya yang berubah cerah.
Gaby tertegun begitu pun dengan Damian dan Amanda. Mereka serempak menoleh pada Zia yang tengah berjalan dengan penuh percaya diri. Gadis itu sangat mencolok dengan gaun biru gelap di antara orang-orang yang memakai pakaian putih, seperti bercak tinta hitam di atas kertas putih.
Oleh karena itu, kehadirannya sontak menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang ada di gedung ini.
"Kakek!" pekik Zia senang ketika matanya menangkap Frans, ia mempercepat langkahnya dan langsung memeluk kakeknya erat.
Tentu saja, tanpa banyak berpikir Frans dengan senang hati membalas pelukan itu tak kalah erat.
"Cucu sombong! Lupa sama Kakek, hah?! Sudah berbulan-bulan kamu tidak mengunjungi Kakek, dasar cucu durjana!"
Zia tertawa mendengar omelan kakeknya. "I'm sorry, Kek. Aku bentar lagi mau ujian kelulusan, jadi ya lagi sibuk banget buat persiapan itu. Tapi sumpah, aku beneran kangen banget sama Kakek."
Frans tersenyum, tapi kemudian ia menatap cucunya cemas. "Oh iya, bukannya kamu sedang sakit? Kenapa kamu memaksakan datang ke sini, Zia? Seharusnya kamu istirahat yang benar."
"Sakit?"
"Iya, kata Papi kamu. Kamu tidak bisa datang karena sedang sakit."
Zia mengangkat alisnya lalu melirik Papinya yang juga tengah menatapnya dengan ekspresi kaku.
"Ah, nggak kok cuma kecapean aja, Papi kayanya yang berharap aku sakit. Tapi pas dengar ada Kakek di pesta ini capenya langsung sembuh," katanya tanpa memutuskan pandangannya pada Damian.
"Seharusnya kamu istirahat di rumah saja, biar Kakek yang ke sana."
"Gak apa-apa, Kek. Aku juga udah baikan sekarang."
Damian berdeham canggung, berusaha menormalkan ekspresi terkejutnya. Tatapannya bergulir melihat penampilan putrinya lalu berkata, "Kamu! Kenapa kamu memakai pakaian seperti itu, Zia?"
"Emang kenapa?" sahut Zia santai.
"Kamu tahu tema pesta ini berwarna putih. Kenapa kamu malah pakai gaun warna gelap begini? Ini pesta ulang tahun pernikahan Papi dan Mama bukan acara pemakaman!"
Amanda menatap Zia lalu berkata lirih, "Mas, gak apa-apa. Gak usah diperpanjang, mungkin Zia lupa."
Frans menoleh pada cucunya. "Kenapa, Zi? Kamu lupa?"
Damian mendengus. "Gak mungkin, Yah. Zia ini semakin lama semakin gak punya sopan santun, gak menghargai aku sebagai Papinya, selalu menghina Amanda dan Gaby. Hidup sesuka hati sulit sekali untuk diatur. Berbeda sekali dengan Gaby yang gak pernah melawan, penurut, dan gak sekalipun menyusahkan aku." Damian menatap putri keduanya bangga.
Zia terdiam sejenak, ia menangkap ekspresi Frans yang terlihat tercengang ketika mendengar ucapan Papinya. Zia menarik napas pendek lalu menunduk dengan ekspresi sedih.
"Maafin aku, Pi. Aku tau kalau aku salah, di mata Papi aku memang nggak pernah benar. Aku sadar kok, kalo Papi emang nggak sayang sama aku." Damian melebarkan matanya mendengar itu, begitu pun Amanda dan Gaby.
Zia mengangkat kepalanya. "Tapi aku gak bisa, aku gak bisa pakai sesuatu yang dibenci Mami. Mami gak pernah suka apa pun yang berwarna putih. Kakek tau kan? Sampai saat ini aku masih sering merasa sedih kalau ingat Mami yang udah gak ada," suaranya terdengar parau.
"Tadinya aku gak mau datang ke pesta ini, tapi aku nekat datang karena aku kangen banget sama Kakek, ternyata kedatangan aku malah buat Papi tersinggung," lanjut Zia lesu dan terlihat menyedihkan.
Tatapan Damian terkejut, matanya semakin melebar.
Sementara sorot mata Frans berubah sendu dia menepuk-nepuk pundak cucu kesayangannya pelan.
"Zia, kamu gak salah. Pakai apa pun yang ingin kamu pakai," ucap Frans, kemudian dia menoleh pada Damian dengan pandangan tajam.
"Keterlaluan kamu Damian! Bisa-bisanya kamu membuat pesta dengan tema yang dibenci oleh cucu dan menantuku."
Rahang Damian mengeras. "Tapi, ini warna kesukaan Amanda istri aku, Yah!"
"Ayah gak peduli! Mulai sekarang apa pun yang membuat cucu kesayangan Ayah sedih sebisa mungkin hindari itu!"
Zia menarik sudut bibirnya.
Beberapa saat kemudian Frans pamit untuk menyapa tamu-tamu yang ia kenal setelah selesai memarahi Damian. Zia mengulum bibirnya lalu menoleh pada Papinya yang juga sedang menatapnya.
Dengan gurat wajah keras. Ia menyeringai samar, raut wajah menyedihkan tadi hilang tak berbekas.
"Sekarang Papi paham kan posisi aku? Jadi, jangan berbuat apa pun yang bisa bikin aku hilang kesabaran." Gadis itu tersenyum miring. "Kalian licik, tapi aku lebih cerdik," tandas Zia dengan pandangan jenaka.
Damian dan Amanda terdiam membisu dengan tubuh kaku. Sementara Gaby memperhatikan Zia dengan pandangan sunyi. Namun ketika ia melirik ke arah Amanda, raut wajahnya seketika berubah dingin. Tangannya meremas kencang kedua sisi gaun indah yang dikenakannya. Seharusnya tidak seperti ini, kehadiran Zia merusak segalanya.
***
"Zia."
Zia menghentikan langkahnya melihat seorang cowok memakai setelan jas berjalan ke arahnya. Ia sedikit terkejut ternyata cowok itu hadir di pesta ini juga. Sebenarnya bukan hanya dia, beberapa kali Zia juga melihat wajah teman-teman sekolahnya berkeliaran di gedung ini.
Mungkin karena sekolahnya termasuk sekolah elite yang siswanya adalah anak-anak dari kalangan atas, tidak heran mereka bisa hadir di pesta ini karena orang tua mereka adalah kenalan atau rekan bisnis kakek dan papinya.
"You look so beautiful."
"Gombalan lo gak mempan sama gue, Leonis."
Leonis terkekeh melihat wajah jutek Zia.
"Gue serius lo kelihatan cantik banget malam ini." Leonis menatap penampilan Zia yang sangat mencolok dengan gaun hitam.
"Sorry, gue cantik setiap saat bukan malam ini aja," ralat gadis itu.