Maria bereinkarnasi kembali setelah kematiannya yang tragis oleh tunangannya yang mengkhianati dirinya, dia dieksekusi di kamp konsentrasi milik Belanda.
Tragisnya tunangannya bekerjasama dengan sepupunya yang membuatnya mati sengsara.
Mampukah Maria membalaskan dendamnya ataukah dia sama tragisnya mati seperti sebelumnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 TERHUKUM OLEH PAPA
Maria langsung bersimpuh di dekat kaki Grand duke Herman, papanya.
Kepalanya tertunduk sangat dalam sembari merangkul kaki papanya erat-erat, dia memohon ampun atas kelakuannya yang dinilai tidak pantas sebagai perempuan bangawan dan seorang lady.
Maria menangis tersedu-sedu sembari bersujud di dekat kaki sang meneer.
"Ampuni aku, papa !" ucapnya. "Tolong maafkan atas kesalahan yang telah Maria perbuat ini... !"
Maria menangis terisak-isak dengan memohon ampunan pada meneer.
"Jangan hakimi, Maria karena apa yang Maria lakukan ini adalah hal yang benar, tapi Maria belum mengakhiri pertalian pertunangan antara Maria dan Prinsen !" kata Maria.
Maria terus saja bersujud tanpa bermaksud beranjak bangun, dia masih memohon ampunan dikaki papanya.
"Maafkan Maria, pa...", ucapnya.
Semua orang yang mendengar permohonan ampunan Maria terenyuh.
Terutama Rexton tampak sedih saat dia melihat perjuangan Maria yang meminta maaf kepada Grand duke Herman.
Rexton yang jatuh iba segera menghampiri Maria, dia mengajak Maria namun Maria menolaknya karena dia bertekad untuk meminta ampunan sampai papanya memaafkan dirinya.
"Maria, kita pergi dari sini...", ucap Rexton terus memaksa.
"Tidak...", sahut Maria sembari menggelengkan kepala.
"Ayo lah, Maria... !" bujuk Rexton seraya menarik pundak Maria untuk bangun dari sujudnya.
"Tidak, Rexton !" sahut Maria yang bersikukuh kuat tetap bersujud sampai papanya memaafkannya.
"Jangan siksa dirimu lagi, Maria !" bisik Rexton yang terus memaksa Maria.
Maria terus bertahan namun Rexton menariknya agar dia menjauh dari jangkauan Grand duke Herman.
"Tidaaak, biarkan aku bersujud dikakimu, papa !" pekik Maria.
Disaat Rexton menjauhkan Maria dari papanya, sebuah cambukan melayang cepat ke arah Maria, dengan sigapnya Rexton menghalang-halanginya.
"CTAAARRR... !!!" cambukan dari Grand duke Herman tepat mengenai badan Rexton yang mencoba melindungi Maria dari amukan papanya sedangkan Matthijs menjerit kencang disertai tangisan.
"Papa !" teriak Matthijs yang berusaha mencegah papanya mencambuk lagi.
"Biarkan aku menghukum mereka, aku malu dengan perbuatan mereka bahkan Tuhan pun malu melihat mereka !" teriak papa yang masih mengangkat tangannya yang memegang tali pinggang miliknya.
"Tidak, papa !" teriak Matthijs. "Kebenaran tak seharusnya ditutupi bahkan Tuhan tahu niat tulus mereka !"
"Matthijs, menjauh lah !" teriak Grand duke Herman.
"Tidak, papa !" teriak Matthijs sambil beruraian air mata.
Sekali lagi ikat pinggang di tangan Grand duke Herman kembali melayang ke arah Maria yang berada dipelukan Rexton Brox Mackenzie.
"CTAAAARRR... !!!" satu cambukan kembali mengenai punggung Rexton dan sekali lagi, Grand duke Herman melayangkan cambuknya ke arah mereka berdua.
Pada saat cambukan ketiga melayang ke arah Maria dan Rexton, tiba-tiba Matthijs berlari maju dan menghadang cambukan itu.
"CTAAAAS... !!!" satu cambukan tepat mengenai punggung Matthijs.
Sedetik kemudian, tampak Matthijs limbung dan terjatuh keras ke lantai ruangan rumah dinas.
"BRUUUK... !!!" Maria menjerit keras seraya berlari mendekati Matthijs, didekapnya tubuh adik laki-lakinya itu dengan penuh perasaan.
"Matthijs... !" bisiknya sedih. "Maafkan aku, Matthijs !"
Maria terus memanggil nama Matthijs yang jatuh pingsan akibat kerasnya cambukan milik Grand duke Herman.
"Plek !" ikat pinggang digenggaman tangan Grand duke Herman terlepas, tubuh sang meneer terduduk lunglai.
Tak pernah mengira bahwa dia akan sekejam itu kepada buah hatinya sendiri.
Grand duke Herman gemetaran, badannya berkeringat deras karena terkejut oleh perbuatannya sendiri.
Dipandanginya tubuh Matthijs yang pingsan dipelukan Maria.
"Minggir !" ucapnya seraya mendekat.
Diraihnya tubuh Matthijs dari dekapan Maria lalu dipeluknya erat-erat.
Grand duke Herman menangis, dan baru pertama kalinya, dia menangis sesedih ini, menyesal karena harus melibatkan emosi.
Maria menunduk sedih, dia menangis menyesal karena Matthijs ikut menjadi korbannya sedangkan Rexton terdiam disampingnya seraya mendekap erat tubuh Maria.
"Segera panggilkan dokter kemari !" teriak papa.
Dua orang asisten rumah langsung berlarian tergesa-gesa ke ruangan utama rumah dinas, mereka segera mendekati Grand duke Herman.
"Ada apa, meneer ?" tanya mereka.
"Tolong panggilkan aku dokter, anakku terluka !" sahut papa.
"Astaga, kasihannya, putra meneer tampan sekali !" puji salah satu dari asisten rumah saat dia melihat Matthijs.
"Ayo, cepat ! Kita panggil dokter !" kata asisten satunya yang mengenakan kebaya hijau serta sanggul besar dikepalanya.
"Yo, yo, sek, Menik, aku ta bangun dulu", sahut asisten rumah berkepang dua itu seraya beranjak berdiri, dia kesulitan karena jariknya.
"Ayo, cepat, pergi, Ayu !" ajak Menik buru-buru.
"Yo, yo, yo, sebentar... !" ajak Ayu lalu mengikuti langkah Menik yang terlebih dulu pergi.
Kedua asisten rumah yang bekerja di rumah dinas Grand duke Herman sama-sama berjalan beriringan menuju luar.
...***...
Ayu setengah berlarian mengejar Menik, rekan asisten rumah sembari memanggilnya.
"Menik, tunggu dulu !" panggilnya seraya cepat-cepat menarik lengan Menik.
"Apa sih, Ayu ?" sahut Menik jengah.
"Kau lihat tadi yang bersama meneer di ruangan tamu", ucapnya mengiringi langkah kaki Menik, rekan kerjanya.
"Apa yang dilihat disana, lah wong situasi gawat, mana bisa dilihat, apanya yang ta lihat ?" tanya Menik.
"Kau lihat tadi siapa yang ada disana", kata Ayu.
"Siapa ?" tanya balik Menik.
"Perempuan cantik yang ada disana, dia sangat cantik sekali, siapa, ya, dia kira-kira ?" kata Ayu sembari berpikir serius.
"Mana aku tahu, lihat orangnya saja, aku ndak sempat tadi, soalnya meneer cepat-cepat nyuruh kita cari dokter buat ndoro muda", sahut Menik.
"Oalah, awakmu gak lihat dia tah tadi, waduh, Menik, Menik, kamu ini sungguh keterlaluan, secantik dia kok kamu gak lihat", keluh Ayu sewot.
"Lah, bagaimana lagi, toh, aku disuruh meneer segera cari dokter, kalau tengok sana-sini, ya, keburu telat cari dokternya", sahut Menik.
Menik menggoda Ayu yang cemberut di sampingnya sedangkan Ayu bereaksi kesal sembari memasang muka masam.
"Apa benar atau salah, omonganku ini ?" sindir Menik.
"Terserah lah !" sahut Ayu kesal sembari berjalan cepat.
"Oalah, Ayu, Ayu... Kamu kok marah-marah terus kerjaannya... !" kata Menik sambil menggelengkan kepala tak mengerti.
"Mbuh... !" jawab Ayu yang terus berjalan maju.
Menik mengikuti langkah Ayu yang berjalan mendahuluinya.
"Sekarang kita cari dimana dokternya ?" tanya Menik.
"Terserah kamu saja...", sahut Ayu acuh tak acuh.
"Oalah, Ayu, Ayu, kamu ini dimintai pendapatnya kok malah begitu jawabannya, piye sih, kamu ini", kata Menik.
"Ya, mbuh lah !" jawab Ayu.
"Kita pasti dimarahin meneer kalau tidak cari dokter buat tuan muda, bagaimana kalau kita menemui bidan Seroja saja, rumahnya dekat daerah sini", kata Menik.
"Tetangga meneer yang diujung jalan, itukan kerjanya dokter di rumah sakit, kita kesana saja daripada cari jauh-jauh ke bidan Seroja", kata Ayu.
"Oh, iya, ya, aku baru ingat kalau tetangga meneer ada yang kerjaannya menjadi dokter, tapi apa dia bisa menyembuhkan tuan muda", kata Menik.
"Ya, dicoba saja dulu, baru kita tahu apa dia bisa mengobati tuan muda, kalau tidak bisa, ya sudah, cari bidan Seroja saja", sahut Ayu.
"Ya, baik lah, kita coba dulu", ucap Menik.
"Ayo, kita kesana cepat sebelum terlambat !" ajak Ayu sembari menggandeng lengan Menik sembari bergegas pergi menuju ujung jalan.
Tampak Menik dan Ayu berjalan bersama-sama menuju rumah dokter yang menjadi tetangga Grand duke Herman, jarak antara rumah Indis di sekitaran jalan Idjen ini terbilang lapang, dipisahkan jarak yang cukup jauh serta lahan kosong diantara setiap rumah.
Tak jarang antara pemilik rumah tinggal satu dengan lainnya tidak saling mengenal, mereka seperti asing satu sama lainnya bahkan cenderung ada jarak diantara mereka, ditambah dengan kesibukan masing-masing orang yang menyebabkan jarangnya komunikasi terjadi pada mereka semua.