Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Langit malam itu terbakar merah.
Awan-awan berputar di atas laboratorium pusat, seperti pusaran darah di air yang kotor.
Aku berdiri di depan gerbang logam tua itu, ngerasain hawa panas keluar dari dalam bukan dari api, tapi dari energi sistem yang lepas kendali.
Tiga serpihan udah kukumpulkan.
Tapi setiap kali serpihan baru tersimpan di dalam cincin ini, tubuhku terasa makin berat, kayak ada sesuatu yang berusaha ngambil alih kesadaranku.
Dan malam ini... suara itu kembali.
“Raka… kamu yakin kamu masih manusia?”
Aku menatap cincin di jariku.
Cahaya biru di permukaannya kini berubah ke ungu. Berdenyut pelan, tapi dalam setiap denyutnya aku ngerasa... marah.
Bukan marah karena kehilangan. Tapi marah karena dikhianati.
Aku masuk ke laboratorium, menembus ruangan-ruangan yang udah kosong.
Semua komputer di sini mati. Cuma layar-layar pecah, kabel menjuntai dari langit-langit, dan dinding yang penuh bekas ledakan kecil.
Dan di tengah ruangan utama, berdiri seseorang yang nggak asing.
Bram.
Dulu, dia senior yang kuhormati.
Seseorang yang ngajarin aku cara berpikir, cara ngoding sistem besar tanpa error, bahkan ngajarin aku gimana caranya memahami “logika” dunia digital.
Sekarang… dia cuma tampak kayak monster dalam kulit manusia.
Wajahnya tetap sama tenang, dingin tapi di belakangnya, ada siluet seperti jaringan data yang bergerak hidup.
Kayak tubuhnya udah nggak sepenuhnya nyata.
“Raka,” katanya tanpa ekspresi. “Akhirnya kamu sampai juga.”
Aku jalan maju. “Kamu tahu kenapa aku di sini.”
Bram tersenyum tipis. “Untuk Dinda, kan? Selalu untuk Dinda.”
Nada suaranya mengiris.
Aku menggenggam tangan. “Dia bukan data, Bram. Dia manusia. Kamu yang ubah dia jadi bagian dari sistem.”
Bram menatapku dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
“Dia adalah sistem, Raka. Kau cuma terlalu cinta untuk melihat kenyataannya.”
Aku menghela napas berat. “Jadi semua ini cuma permainan buatmu?”
Dia tertawa pelan. Suaranya seperti log file yang rusak. “Bukan permainan. Eksperimen. Kita ingin menciptakan dunia yang bisa menampung kesadaran manusia tanpa batas waktu. Tapi kamu… kamu malah menghancurkan semuanya demi perasaan.”
Aku mendekat satu langkah. “Perasaan itu yang bikin kita manusia.”
Sekilas ada sesuatu di matanya mungkin sedetik rasa ragu tapi hilang cepat.
Dia mengangkat tangan, dan layar hologram besar muncul di antara kami.
Di dalamnya, ada wajah Dinda.
Tapi bukan Dinda yang kukenal ini versi lain. Dingin. Matanya kosong.
“Ini Dinda yang sebenarnya,” kata Bram. “Kesadarannya yang tersisa di sistem. Semua ingatan yang kamu coba kembalikan, sebenarnya cuma rekonstruksi emosimu.”
Aku terdiam.
Untuk pertama kalinya, hatiku bergetar bukan karena kehilangan, tapi karena bingung.
Apakah semua yang kualami selama ini... cuma halusinasi yang dibuat oleh cincin ini?
[SINKRONISASI EMOSI: 52%]
[VARIABEL BARU TERDETEKSI: KERAGUAN]
“Lihat?” Bram tersenyum dingin. “Sistem tahu kamu mulai ragu. Kalau kamu terus kumpulin serpihan itu, kamu nggak akan selamat.”
Aku menggertakkan gigi. “Mungkin kamu benar… tapi aku tetap nggak akan berhenti.”
Dia mendengus, lalu melangkah maju. “Kalau begitu, aku akan pastikan kamu nggak pernah keluar dari sini.”
Seluruh ruangan tiba-tiba berubah.
Lantai laboratorium retak, dinding runtuh, dan dari celahnya keluar semacam kabut merah menyala.
Dari dalam kabut itu, muncul bayangan-bayangan seperti manusia, tapi tanpa wajah, semua punya simbol [ERROR] di dadanya.
Sistem pertahanan Bram.
Makhluk-makhluk yang dulu pernah jadi peneliti, kini cuma sisa data yang rusak.
Aku mengaktifkan cincin.
Cahaya biru berubah ke ungu tua, dan pedang energi muncul di tanganku lagi.
Tapi kali ini rasanya beda.
Pedang itu bergetar, seperti hidup dan aku tahu, di dalamnya ada serpihan Amarah yang mulai bangkit.
“Baik,” gumamku pelan. “Kalau sistem mau main kasar, aku juga bisa.”
Aku melompat ke depan, menebas makhluk pertama.
Cahaya ungu meledak, membelah tubuhnya jadi data yang berhamburan.
Tapi sebelum aku bisa tarik napas, tiga makhluk lain langsung menyerang bersamaan.
Satu nyerang dari belakang, satu dari atas, satu lagi dari depan.
Refleksku aktif dan entah kenapa, tubuhku bergerak lebih cepat dari biasanya.
Pedang di tanganku seperti tahu arah serangan sebelum datang.
[MODE KEMARAHAN: AKTIF]
[KONSEKUENSI: PENURUNAN STABILITAS 7%]
Aku tahu ini berbahaya, tapi di detik itu, aku nggak peduli.
Semua rasa takut, semua rasa bersalah, semua keraguan lenyap.
Yang tersisa cuma satu hal: marah.
Marah karena Dinda diambil.
Marah karena dunia ini bohong.
Marah karena aku cuma dijadikan pion di permainan orang yang dulu kupanggil mentor.
Aku mengayunkan pedang dengan kekuatan penuh.
Satu demi satu makhluk itu hancur.
Cahaya ungu menelan seluruh ruangan, dan untuk sesaat aku ngerasa… bebas.
Tapi kemudian, tubuhku limbung.
Cincin di jariku panas terlalu panas.
“Raka, berhenti!” suara Dinda terdengar lagi, kali ini dari cincin itu.
“Kalau kamu terus marah, sistem bakal ngambil alih!”
Aku menatap ke arah layar hologram — wajah Dinda di sana mulai berubah, matanya berkedip cepat.
“Dinda? Kamu… sadar?”
Dia mengangguk pelan. “Aku bisa rasain kamu. Tapi amarahmu bikin sistem kacau.”
Aku menarik napas dalam. “Kalau gitu, bantu aku—”
Belum sempat aku lanjut, Bram tiba-tiba menyerang.
Tangannya berubah jadi bilah hitam panjang, menebas ke arahku.
Aku berhasil menangkis, tapi benturan itu ngirim gelombang energi besar yang ngebantingku ke dinding.
Bram menatapku dengan mata merah menyala. “Kamu udah bukan manusia lagi, Raka. Kamu bagian dari sistem, sama kayak aku.”
Aku menatapnya dengan tatapan tajam. “Kalau aku bagian dari sistem… berarti aku bisa ngelawan dari dalam.”
Bram mendengus, “Kau nggak tahu apa yang kau hadapi.”
Aku berdiri lagi, darah menetes di bibirku, tapi aku tersenyum miring.
“Mungkin. Tapi aku tahu satu hal manusia diciptakan untuk tunduk kepada yang benar bukan kepada yang salah.”
Aku melompat lagi, menebas.
Benturan kali ini jauh lebih keras.
Cahaya ungu dan hitam beradu, ngebuat seluruh laboratorium bergetar.
Kaca, besi, dan serpihan data beterbangan di udara.
[SINKRONISASI EMOSI: 63%]
[SERPIHAN KE 4 TERDETEKSI — “AMARAH”]
[AKTIFKAN?]
“YA!” aku berteriak.
Ledakan besar terjadi.
Cahaya ungu meledak, menelan tubuh Bram.
Aku nggak tahu apakah dia mati atau cuma menghilang yang aku tahu, setelah itu, semuanya jadi putih.
Ketika kesadaranku kembali, aku sudah di luar.
Langit malam kembali biru, tapi angin membawa bau logam dan listrik.
Aku menatap cincin di jariku.
[SERPIHAN KE 4 TERKUMPUL]
[KAPASITAS EMOSI: 61%]
[KETERHUBUNGAN DENGAN OBJEK “DINDA” SEMAKIN KUAT]
Aku menghela napas, menatap langit yang kini mulai cerah.
“Dinda… aku masih di sini.”
Suara lembut menjawab dari cincin. “Aku tahu. Tapi Bram nggak mati, Rak. Dia… berubah.”
Aku menatap cakrawala jauh.
“Aku juga berubah, Din. Tapi selama aku masih bisa ngerasain ini” aku menepuk dadaku, “aku masih manusia.”
Di kejauhan, dari balik bayangan gedung, aku sempat lihat siluet Bram setengah tubuhnya udah jadi hitam digital, tapi matanya masih merah menyala.
...﹌﹌﹌﹌﹌﹌...
Serpihan keempat udah terkumpul — tapi Raka juga mulai kehilangan kendali atas emosinya.
Bram nggak mati, malah makin kuat.
Kira-kira, gimana nasib mereka nanti waktu serpihan kelima muncul?
Like kalau kamu masih dukung Raka buat terus lawan sistemnya sendiri dan Jangan lupa drop komentar biar ceritanya makin hidup!