"𝘽𝙧𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. "
𝘼𝙙𝙪𝙝 𝙖𝙬𝙖𝙨... 𝙝𝙚𝙮𝙮𝙮... 𝙢𝙞𝙣𝙜𝙜𝙞𝙧.. 𝘼𝙡𝙖𝙢𝙖𝙠..
𝘽𝙧𝙪𝙠𝙠𝙠...
Thalia putri Dewantara gadis cantik, imut, berhidung mancung, bibir tipis dan mata hazel, harus mengalami kecelakaan tunggal menabrak gerbang, di hari pertamanya masuk sekolah.
Bagaimana kesialan dan kebarbaran Thalia di sekolah barunya, bisakah dia mendapat sahabat, atau kekasih, yuk di simak kisahnya.
karya Triza cancer.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TriZa Cancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BALAPAN
Malam semakin larut kini Athar sudah bersiap dengan pakaian modisnya, kaos hitam pas badan, jaket kulit, celana jeans gelap, sepatu sport, dan helm di tangan. Begitu turun ke ruang tamu, Devina yang duduk santai bersama Arsen langsung menatap anaknya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Khem... mau ke mana nih, udah rapi banget? Mau apel, kah?” goda Devina dengan senyum menggoda.
Athar menatap bundanya datar. “Balapan.”
Jawabannya singkat, dingin seperti biasa. Ia segera pamit, tak memberi kesempatan Devina menambah pertanyaan lanjutan. Arsen hanya menggeleng sambil menahan senyum melihat gaya anaknya yang cuek.
Sementara itu, di rumah Lily, Thalia juga tengah bersiap. Gayanya hampir mirip dengan Athar, kaos hitam, jaket kulit, celana jeans, tapi ia menambahkan sentuhan khasnya, sepatu junggel tinggi. Rambutnya diikat tinggi, wajahnya penuh semangat.
“Nona yakin mau ikut balapan?” tanya Lily yang berdiri di ambang pintu, menatap Thalia yang sibuk merapikan tali sepatunya.
“Yakin dong, Kak. Udah lama Lia nggak turun lintasan. Udah didaftarin kan?” Thalia menatap Lily sambil meraih helm.
Lily mengangguk pelan. “Udah, nona. Tapi peserta lain kebanyakan dari geng motor besar...”
Thalia menepuk dada percaya diri. “Lah, kita juga geng motor, Kak!”
Lily mengernyit. “Sejak kapan kita punya geng motor?”
Thalia menyeringai. “Sejak sering jatoh, Namanya geng motor Nyungsep!”
Lily menatap Thalia, lalu keduanya tertawa keras sambil melirik motor sport Thalia yang sudah terparkir di halaman.
Kini keduanya menaiki motor masing-masing. Sebelum menyalakan motor Thalia melirik ke sekeliling dengan pandangan tajam. Dari balik helmnya, ia bisa melihat beberapa sosok berpakaian hitam bersembunyi di antara kerumunan. Napasnya terhembus pelan.
“Pasti Daddy yang nyuruh mereka,” gumamnya antara kesal, dan bersyukur daddynya selalu melindunginya.
Beberapa menit kemudian, Thalia dan Lily sampai di sirkuit. Suara riuh penonton langsung menyambut, campuran deru mesin dan sorak-sorai menggema di udara malam.
“Wah, Kak... rame banget!” seru Thalia antusias. “Kalau tahu serame ini, tadi aku jualan kacang, kuaci, permen sama kopi aja. Pasti laris manis!”
Lily mendelik ke arah bocil absurd di sampingnya. “Nona ini... buat apa jualan, orang tua Nona pengusaha, Nona juga pengusaha muda sukses. Masih aja mikir dagang.”
Thalia nyengir lebar. “Namanya juga jiwa wirausaha, Kak.”
Lily hanya bisa geleng-geleng.
“Kakak nggak ikutan balapan juga?” tanya Thalia sambil mengecek motornya.
“Gak ah, Nona. Saya nonton di tribun aja,” jawab Lily cepat.
“Baiklah...tapi jangan lupa semangatin Thalia ya! Nih, uang buat beli minum. Biar tenggorokan Kak Lily gak macet pas teriak.”
Thalia menyelipkan dua lembar uang merah ke tangan Lily.
Lily memandang uang itu dengan ekspresi datar. “Emang tenggorokan saya jalan tol apa sampai bisa macet...” gumamnya sambil menepuk jidat.
Sementara itu, Thalia sudah memasuki barisan peserta balap. Semua mata langsung tertuju padanya. Motor sport milik Thalia memang tak sebesar milik peserta lain, tapi modelnya elegan, berkilau gagah di bawah lampu lintasan.
Bisik-bisik mulai terdengar di antara para pembalap:
“Motor siapa tuh? Keren banget!”
“Harganya pasti mahal.”
“Bentar deh itu cewek, ya..?”
“Mungkin..baru pertama kali liat dia, peserta baru kayaknya?”
Thalia hanya menaikkan satu alis di balik helm, senyum tipisnya muncul. “Heh... siap-siap aja kalian kalah dan terpesona sama geng baru, geng nyungseb..tapi mudah mudahan kali ini gak nyungsep ya..” gumamnya penuh percaya diri.
Tak lama Sorak penonton bergema saat lampu start menyala merah. Semua peserta sudah bersiap di posisi masing-masing, tangan menggenggam erat gas motor.
Beep!..
Lampu hijau menyala dan deru mesin langsung memekakkan telinga.
Thalia dan Athar memulai dari posisi belakang. Keduanya terlihat santai, bahkan terlalu santai. Thalia sempat menoleh kanan-kiri sambil bersenandung kecil di balik helm, sementara Athar hanya mencondongkan tubuh tanpa ekspresi, seolah ikut balapan karena bosan.
“Eh, dua orang itu ngapain sih?”
“Gak niat balapan kali, malah jalan santai!”
“Iya, yang satu bahkan kayak ngupil barusan tuh!”
Suara cemooh dari penonton dan pembalap lain bermunculan. Tapi di antara mereka, Raka, Rafi, Doni, dan Dion hanya saling pandang dan tersenyum miring. Mereka tahu betul siapa Athar.
Dan kalau Athar baru mulai di putaran ketiga… itu artinya dia serius. Putaran pertama Athar dan Thalia masih di belakang. Putaran kedua posisi mereka mulai naik perlahan.
Putaran ketiga.
Vroooom!.....
Keduanya melesat seperti peluru!
Thalia condong ke depan, matanya tajam menembus arah angin.
“Jagur waktunya unjuk gigi.!”serunya.
Sementara Athar, di jalur sebelah, menatap sekilas motor unik yang kini sejajar dengannya.
‘Tekniknya rapi banget,’ pikirnya, sedikit terkesan. Dan lucunya, di balik helm, Thalia berpikir hal yang sama.‘Wah, yang ini jago juga. Gaya beloknya mulus banget.’
Tanpa mereka tahu, keduanya sedang saling mengagumi rival sendiri.
Sementara itu, di posisi terdepan, Aldo sudah merasa aman.“Heh, dasar peserta baru. Mau nyusul gue? Mimpi!” serunya sombong.
Tapi begitu tikungan terakhir tiba.
Vroooosh!...
Dua motor dari arah belakang menyalip cepat, mengapit Aldo di tengah seperti kilat!
Semuanya terjadi dalam sekejap dan garis finis pun dilewati bersamaan.
Penonton langsung bersorak.
“Gila! Siapa yang menang tadi?!”
“Cepet banget gak keliatan!”
Panitia sampai menggaruk kepala tak gatal.
“Kayaknya barengan deh... yaudah hadiahnya dibagi dua aja,” ujarnya bingung.
Thalia turun dari motor sambil mendengus.
“Eh, enak aja! Gue duluan sampai garis tuh!” katanya keras, membuat semua melongo.
“Eh... suara cewek?!”
“Woi beneran cewek tuh?”
“Kayak... familiar suaranya ya?”
Athar masih duduk tenang di motornya. Ia belum buka helm, hanya menatap makhluk absurd di depannya yang sedang ngotot sendiri.
Dalam hati ia tersenyum kecil.
‘Udah ketebak. Cuma satu orang di dunia ini yang ngomelnya bisa sepanjang itu... dasar cewek brisik.’
“Baiklah, kita cek lewat layar kamera ya,” ujar panitia mencoba menengahi.
Thalia mendengus, lalu cling! melepas helmnya.
Rambut ikat kudanya terurai, wajahnya segar dengan keringat tipis dan senyum menantang. Semua yang melihat langsung melongo. Penonton, panitia, bahkan para pembalap lain ikut terpana.
Lily yang duduk di tribun langsung tepuk jidat.
“Alamat jadi pusat perhatian deh, Nona...” gumamnya lelah.
Thalia tersenyum lebar. “Heh, gue punya ide!” katanya tiba-tiba. Thalia mengeluarkan penggaris lipat kecil dari kantong jaket, entah sejak kapan dibawa.
Dengan gaya bak juri lomba sains, ia mengukur ban depan Athar dan ban motornya sendiri.
Semua menatap bengong.
“Nih liat! Ban gue lebih depan!” katanya lantang sambil mengangkat penggaris ke udara.
Suasana hening sejenak... lalu pecah oleh tawa penonton. Athar yang masih di atas motor hanya tersenyum tipis di balik helmnya.
‘Dasar absurd'
Semua orang di sirkuit masih terpaku.
Beberapa bahkan sampai jongkok menahan tawa.
“Baru kali ini gue liat pemenang balapan diukur pake penggaris…” bisik salah satu penonton.
“Ini balapan apa pelajaran matematika, sih?” timpal yang lain sambil ngakak.
“Kalau gitu nanti lomba drift sekalian aja disuruh ngerjain soal logaritma!” seru yang lain disambut tawa meledak.
Sementara itu, Thalia dengan santai melangkah ke arah panitia yang masih bengong memegang papan hasil lomba.
“Mana hadiahnya? Kan udah jelas gue menang,” ujarnya santai seperti minta struk belanja.
Panitia, yang sepertinya masih belum percaya kalau gadis itu benar-benar pembalap, buru-buru menyerahkan amplop tebal berisi hadiah.
“E..eh, ini... selamat ya nona.”
Thalia mengangguk manis.
“Thanks ya, kak panitia. Jangan lupa belajar ngukur ya biar gak bingung lagi,” ucapnya ringan lalu berjalan menuju Athar yang masih duduk di atas motornya, helm belum dilepas, ekspresi tetap datar.
Tanpa basa-basi, Thalia mengeluarkan selembar uang dari amplop berisi 100 juta itu, memberikannya begitu saja pada Athar.
“Nih, seratus ribu. Buat beli cilok.”
Athar menatap uang itu, lalu menatap Thalia.
“Cilok?” ulangnya datar.
Thalia mengangguk dengan ekspresi serius yang konyol.“Iya, cilok, cimolatau cimin gitu, sisanya gue mau beli angkringan, laper banget sumpah.”
Setelah berkata begitu, Thalia melangkah santai meninggalkan area sirkuit, masih dengan penggaris tergantung di saku celananya.
Semua mata mengikuti langkahnya.
Penonton, panitia, bahkan para pembalap masih terdiam di tempat. Athar menatap uang di tangannya, menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis di balik helmnya.
“Dasar cewek absurd…” gumamnya lirih.
Sementara geng ATER Edo, Toni, Rendi dan Romi bahkan Aldo, masih belum bisa move on dari pemandangan tadi.
Raka menyenggol Rafi, “Gue gak tau harus kagum atau ngakak.”
Rafi menjawab, “Dua-duanya, bro. Dua-duanya.”
Doni tertawa kecil, “Serius, gue baru liat cewek bisa menang balapan, terus ngomongin cilok.”
Namun Aldo menatap arah Thalia pergi dengan sorot mata berbeda.
Bibirnya membentuk senyum miring.
“Bagaimanapun caranya... cewek itu bakal gue dapetin,” gumamnya pelan.
Toni menatapnya waspada.
“Kayaknya susah bos. Cewek kayak dia harus ekstra sih buat dideketin.”
Aldo hanya tertawa kecil,
“Kita liat aja nanti.”
Athar, yang kini menatap jauh ke arah yang sama, hanya bergumam datar sambil memasukkan uang ke saku jaket.
“Terlalu berisik untuk dilupain…”