NovelToon NovelToon
Demi Semua Yang Bernafas

Demi Semua Yang Bernafas

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Perperangan / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Ilmu Kanuragan
Popularitas:8.2k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Kisah Seorang Buruh kasar yang ternyata lupa ingatan, aslinya dia adalah orang terkuat di sebuah organisasi rahasia penjaga umat manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34

Bab 34

Ada beberapa meja kayu terletak di dalam halaman kecil itu, dan empat orang sedang duduk di salah satu meja.

Mereka adalah Windy Syam, Gadis, Dika, dan seorang gadis berpenampilan rapi.

Windy menatap Vela lalu bertanya heran,

“Kenapa kamu bisa bersama Rangga?”

Vela terkekeh dan menjawab,

“Dia mampir ke warnetku dan bantu menyelesaikan satu masalah. Jadi aku ajak dia makan di tempat Pak Karim. Semoga saja Pak Karim mau masak untuk kita.”

Kemudian, ia menoleh ke dalam dan bertanya,

“Pak Karim di mana?”

“Tadi kami sudah tanya muridnya,” jawab Windy,

“Katanya Pak Karim masih tidur. Seharusnya sekarang sudah bangun.”

Rangga menimpali,

“Kita cuma beberapa orang, semestinya bisa mencicipi masakannya.”

“Belum tentu,” Vela menghela napas.

“Tergantung mood-nya Pak Karim. Dia cuma mau masak kalau sedang cocok dengan tamunya. Kadang hari ini dia mau, besoknya belum tentu.”

“Kenapa orangnya aneh begitu?” Rangga menggeleng pelan, berpikir dalam hati,

Sepertinya dia lebih aneh daripada para tetua di Night Watcher.

Di sampingnya, Dika berkata sinis,

“Bukankah dia cuma koki? Kasih saja uang. Aku nggak percaya dia nolak masak kalau dibayar tinggi.”

Ucapan itu membuat wajah semua orang berubah.

Windy segera menegur,

“Dika, jangan bicara sembarangan. Pak Karim bukan orang yang silau uang, dan dia juga nggak kekurangan apa-apa.”

Dika mendengus, tidak membalas lagi karena malas berdebat.

“Tadinya aku berniat menyiapkan hidangan yang enak untuk teman-temannya Windy,”

sebuah suara tua terdengar tiba-tiba.

Seorang pria beruban dengan wajah kemerahan berjalan keluar dari kamar di samping dapur. Ia mengenakan seragam koki putih bersih, diikuti oleh seorang pria paruh baya yang tampak sopan dan berwibawa.

Meskipun baru keluar dari dapur, seragam kokinya masih seputih kapas.

Windy berdiri cepat-cepat.

“Kakek Karim, maaf, dia nggak tahu peraturan di sini. Tolong abaikan saja ucapannya.”

Pak Karim menatap Dika dingin.

“Hari ini tempatku tidak buka. Silakan pulang.”

“Seratus juta!” seru Dika, mengangkat satu jarinya.

“Kalau Anda mau masak untuk kami, saya bayar seratus juta.”

Pak Karim menoleh menatapnya tajam.

“Dua ratus juta!” Dika menambah dengan senyum mengejek.

“Bodoh!” Rangga memaki dalam hati.

Untuk orang seperti Dika, semua masalah dianggap bisa selesai dengan uang.

Tubuh Pak Karim tampak bergetar karena marah.

“Empat ratus juta!” Dika terus menaikkan tawaran.

Ia melirik Rangga dan mencibir,

“Pastinya kamu nggak sanggup ngeluarin uang segini, kan?”

“Dasar anak kurang ajar!” bentak Pak Karim, lalu berbalik kembali ke kamarnya.

Pria paruh baya di sebelahnya memandang Dika dingin.

“Guru saya istirahat karena hari ini tidak membuka toko. Dia tidak bersedia memasak. Silakan kembali, dan jangan datang lagi. Mulai hari ini, kami tidak akan melayani kalian.”

Ia menatap tajam ke arah Dika.

“Kau mungkin kaya, tapi banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kami tidak berani menyinggung orang berduit, tapi kami berhak menolak memasak untukmu.”

Ekspresi Windy dan Vela sama-sama menegang.

Dika malah menertawakan.

“Cuma koki saja, sok jual mahal. Ya sudah, nggak usah makan di sini, kita bisa cari tempat lain.”

Windy melotot.

“Kak Dika, kamu benar-benar keterlaluan.”

Vela ikut menimpali,

“Ya ampun, orang tua itu cuma ingin tenang. Udah, Rangga, ayo kita pergi. Kayaknya kita belum beruntung hari ini.”

Namun Dika tetap santai, sama sekali tak merasa bersalah.

Rangga tiba-tiba berkata,

“Tunggu dulu, mungkin aku bisa buat Pak Karim mau masak untuk kita.”

Semua orang menatapnya tak percaya.

Dika mendengus,

“Aku sudah tawarin empat ratus juta aja nggak mempan, kamu bisa apa? Angkat wajan buat bantu dia?”

Gadis mengerutkan kening, sementara Windy buru-buru menahan,

“Sudah, Rangga, jangan tambah masalah. Dia sudah jelas nggak suka sama kita.”

Rangga tersenyum tenang.

“Tenang saja. Paling buruk, hasilnya sama saja.”

Ia menatap pria paruh baya di pintu.

“Tadi aku lihat tangan kanan Pak Karim agak gemetar. Apa beliau pernah terluka waktu muda?”

Pria itu—Wardi, murid terbaik Pak Karim—mengernyit mendengar pertanyaan itu.

Windy menjawab pelan,

“Ya. Dulu Pak Karim adalah koki restoran Michelin. Ayahku bertemu dengannya dan mereka jadi sahabat. Lalu ayahku mengundangnya bekerja di Hotel Marquess.”

Hotel Marquess adalah salah satu properti keluarga Syam.

“Setelah beliau bergabung, bisnis keluarga kami berkembang pesat. Tapi waktu itu keluarga Dirgantara merasa tersaingi. Mereka coba merekrut Pak Karim…”

Windy melanjutkan dengan nada sedih,

“Beliau menolak. Tak lama, tangannya terluka parah dan tak bisa lagi memegang pisau. Sejak itu, dia berhenti dan hanya sesekali masak di rumah ini.”

Rangga menaikkan alis.

“Kalau tangannya cedera, pasti dia nggak bisa masak lagi. Aku juga nggak percaya makanannya masih enak,” sindir Dika dingin.

Windy melotot.

“Sekarang yang masak memang muridnya, Pak Wardi. Tapi semua resep dan bahan tetap disiapkan langsung oleh Pak Karim.”

Rangga menatap pria paruh baya itu dengan tajam. Wardi hanya mendengus, diam tak menanggapi.

Dika berbalik ke arah Rangga,

“Katanya kamu punya cara supaya kita bisa makan, eh malah nanya riwayat hidup orang.”

Rangga tidak menjawab. Ia berjalan maju mendekati Wardi, lalu berkata pelan,

“Apakah tangan Pak Karim masih bisa digunakan untuk aktivitas ringan, tapi tidak bisa mengeluarkan tenaga penuh?”

Wardi menatap curiga.

“Lalu kenapa kalau iya?”

Rangga menunduk sedikit, berbisik,

“Beritahu beliau, aku tahu cara memulihkan tangannya. Bukan cuma bisa memegang pisau lagi—memegang pedang pun bisa.”

Wardi tercengang. Ia mencibir,

“Setelah guru saya cedera, kami sudah datangi semua dokter di kota dan desa. Tidak ada yang bisa. Satu-satunya cara yang mungkin hanya teknik ekstrem.”

“Jarum Gerbang Arwah,” ucap Rangga pelan.

Mendengar itu, Wardi terperangah.

“Bagaimana kamu tahu tentang teknik itu?”

“Cedera itu karena kerusakan saraf pusat. Metode penyembuhannya tidak umum, tapi aku tahu seseorang yang bisa melakukannya,” jawab Rangga tenang.

Ekspresi Wardi berubah. Ia memandangi pria muda itu beberapa detik, lalu akhirnya berkata,

“Apakah kamu yakin bisa?”

Rangga tersenyum kecil.

“Bukan aku, tapi seseorang yang aku kenal. Dan aku yakin penuh, Pak Karim bisa sembuh.”

Bersambung

1
・゚・ Mitchi ・゚・
mampir thor..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!