NovelToon NovelToon
MUTIARA SETELAH LUKA

MUTIARA SETELAH LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Keluarga / CEO / Penyesalan Suami / Ibu Pengganti
Popularitas:522
Nilai: 5
Nama Author: zanita nuraini

“Mutiara Setelah Luka”

Kenzo hidup dalam penyesalan paling gelap setelah kehilangan Amara—istrinya yang selama ini ia abaikan. Amara menghembuskan napas terakhir usai melahirkan putra mereka, Zavian, menyisakan luka yang menghantam kehidupan Kenzo tanpa ampun. Dalam ketidakstabilan emosi, Kenzo mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan kehilangan harapan untuk hidup.

Hidupnya berubah ketika Mutiara datang sebagai pengasuh Zavian anak nya. Gadis sederhana itu hadir membawa ketulusan dan cahaya yang perlahan meruntuhkan tembok dingin Kenzo. Dengan kesabaran, perhatian, dan kata-kata hangatnya, Mutiara menjadi satu-satunya alasan Kenzo mencoba bangkit dari lembah penyesalan.

Namun, mampukah hati yang dipenuhi luka dan rasa bersalah sedalam itu kembali percaya pada kehidupan?
Dan sanggupkah Mutiara menjadi cahaya baru yang menyembuhkan Kenzo—atau justru ikut tenggelam dalam luka masa lalunya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10 KEHILANGAN KENDALI

Kenzo berjalan menuju rumah sakit tanpa memperhatikan bagaimana penampilannya. Rambutnya acak-acakan, seolah tidak pernah disentuh sisir. Matanya sembab, dan kantung matanya menghitam jelas seperti seseorang yang sudah berhari-hari tidak tidur. Bajunya kusut dan tidak tersusun rapi. Bahkan beberapa kancing kemeja tidak terkancing dengan benar. Sepatu yang dipakainya berbeda warna—tanda bahwa dia hanya mengambil apa yang terlihat tanpa memeriksa.

Saat memasuki lobi rumah sakit, beberapa perawat langsung saling berbisik. Dua dokter yang mengenalnya pun terkejut melihat kondisinya. Kenzo Aditama, pria perfeksionis yang biasanya rapi, wangi, dan elegan, kini terlihat seperti orang yang kehilangan arah. Tapi Kenzo tidak memedulikan tatapan itu. Dia berjalan lurus, langkahnya cepat namun goyah, menuju ruang perawatan bayi prematur.

Sesampainya di ruangan itu, ia berhenti di depan inkubator. Di dalamnya, bayi mungilnya—Zavian Putra Aditama—masih terhubung dengan berbagai alat medis. Tubuh kecil itu bergerak lemah, namun napasnya perlahan naik turun. Kenzo berdiri sangat lama tanpa berkata apa pun.

“Zavian…” gumamnya lirih, hampir tidak terdengar.

Tangannya perlahan menyentuh kaca inkubator. Kenzo memandang bayinya dengan mata kosong, seakan hatinya patah melihat kondisi anak sekecil itu harus berjuang hidup. Wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi apa pun, tetapi napasnya berat—menandakan betapa kacau perasaannya.

Beberapa menit kemudian, seorang suster datang mendekat.

“Tuan Kenzo,” panggilnya pelan.

Kenzo tidak menoleh. Tatapannya tetap tertuju pada Zavian.

Suster itu melanjutkan, “Jika berat badan Putra naik stabil dan pernapasannya semakin baik, mungkin dalam waktu kurang dari satu bulan putra Anda bisa dibawa pulang.”

Seharusnya itu kabar baik—bahkan sangat baik. Tetapi bukan itu yang membuat suasana tenang. Kenzo hanya melirik sekilas ke arah suster tersebut tanpa menunjukkan reaksi lain. Setelah itu, pandangannya kembali tertuju pada bayinya. Suster itu tersenyum canggung, lalu mundur perlahan, memahami bahwa tuan rumah sakit itu sedang tidak ingin diganggu.

Kenzo tetap berdiri seperti patung. Sesekali napasnya berat, tetapi ia tidak bergeming. Waktu berjalan hampir sepuluh menit sebelum akhirnya Kenzo memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Lalu tanpa mengatakan apa pun, ia berbalik dan berjalan keluar ruangan.

---

Di lorong rumah sakit, langkah Kenzo tidak stabil. Dia beberapa kali hampir menabrak perawat yang lewat karena pikirannya tidak fokus. Orang-orang memperhatikannya, tapi tidak ada yang berani berbicara. Kenzo Aditama memang terkenal dingin, tapi hari ini dia tampak lebih dari sekadar dingin—dia terlihat seperti seseorang yang kehilangan arah hidupnya.

Dia menuju parkiran dengan langkah berat, membuka pintu mobil, dan masuk begitu saja. Ketika mesin mobil menyala, Kenzo menatap setir beberapa detik. Matanya kosong.

Suara dokter kembali terngiang di kepalanya:

“Maaf, saya hanya bisa menyelamatkan putra anda…”

Kalimat itu menusuk keras. Semakin lama semakin dalam.

Kenzo memukul setir, memejamkan mata, dan mengatur napas. Namun semakin dia mencoba tenang, semakin kacau pikirannya. Wajah Amara muncul dalam benaknya. Wajah penuh senyum lembut, mata hangat, dan suara lirihnya saat meminta Kenzo untuk mencintai anak mereka nanti.

Sebuah sesal berat muncul di dadanya.

Kalau saja dia bisa memutar waktu…

Kalau saja dia bisa memperlakukan Amara lebih baik…

Kalau saja dia tidak mabuk hari itu…

Kalau saja…

“KALAU SAJA!” Kenzo tiba-tiba berteriak sambil memukul dashboard.

Mobilnya melaju keluar dari parkiran dengan kecepatan tinggi. Kenzo tidak memedulikan lampu merah, pejalan kaki, atau kendaraan lain. Suaranya tercekat, seakan amarah dan penyesalan bercampur menjadi satu.

Dia menarik napas berat, mencoba fokus, namun pandangannya buram oleh rasa lelah dan depresi. Beberapa kali mobilnya hampir keluar jalur, membuat pengendara lain membunyikan klakson keras.

Tetapi Kenzo seolah tidak mendengar apa pun.

Suara suster tadi kembali terngiang:

“Putra Anda mungkin bisa dibawa pulang dalam waktu kurang dari satu bulan…”

Kalimat itu seharusnya memberi harapan. Tapi bagi Kenzo, itu justru menambah luka baru. Dia menyadari bahwa bahkan setelah putranya pulang, keluarga kecil yang ia impikan tidak akan lengkap.

Amara tidak akan pernah kembali.

Tangannya gemetar saat menggenggam setir. Dia mengusap wajahnya kasar, lalu memandang jalan tanpa benar-benar melihat.

Mobil melaju semakin cepat.

Di depannya, sebuah mobil keluarga bergerak dengan kecepatan normal. Tapi Kenzo tidak memperlambat laju kendaraan.

“Kenzo, hati-hati…” desisnya sendiri, tetapi otaknya tidak menghubungkan kata dengan tindakan.

Tiba-tiba mobil di depan mengerem mendadak karena ada kendaraan lain keluar dari gang kecil.

Kenzo terlambat menyadarinya.

Dengan panik dia menginjak rem sekuat tenaga. Ban mobil berdecit keras, meninggalkan goresan panjang di aspal.

Namun kecepatannya terlalu tinggi.

BRAKKKKKKK!!!

Benturan hebat menghentak seluruh tubuh Kenzo. Mobilnya ringsek parah bagian depannya. Kaca depan retak dan pecah, serpihannya mengenai wajah Kenzo. Tubuhnya terhentak keras ke depan karena ia tidak memakai sabuk pengaman.

Orang-orang langsung menjerit.

“Mobilnya nabrak!”

“Ada yang terluka!”

“Cepat panggil ambulans!”

Seseorang mendekat sambil mengetuk kaca mobil yang remuk. “Pak! Pak! Anda dengar saya?!”

Namun Kenzo tidak menjawab.

Kepalanya miring ke samping, darah mengalir dari pelipisnya. Tangannya terkulai di samping tubuh. Napasnya pelan dan tersendat.

Beberapa pria berusaha membuka pintu mobil yang penyok.

“Cepat! Dia tidak bergerak!”

“Aku sudah hubungi rumah sakit!”

Dalam kesadarannya yang mulai hilang, Kenzo melihat sesuatu—atau seseorang. Sosok Amara berdiri di sisi jalan, tersenyum lembut seperti dulu. Kenzo mencoba memanggilnya, tetapi suaranya hanya keluar sebagai bisikan tak berarti.

Napasnya semakin berat.

Teriakan orang-orang di sekitar semakin kabur.

Semuanya perlahan menjadi gelap.

Dan Kenzo kehilangan kesadaran sepenuhnya…

---

Bersambung…

Haii readers

selamat pagi,selamat membaca..

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!