Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Diikuti
Popy mendengar semua itu. Wajahnya langsung tegang, bola matanya bergetar menahan amarah. Bibirnya terkatup rapat, berusaha menepis bisikan-bisikan yang makin lama makin menusuk telinganya.
“Jangan-jangan dia kuliah di sini pun lewat jalur belakang, bukan pakai otak,” celetuk seseorang pelan.
“Hmm… bisa jadi. Kelihatan kok dia lebih sibuk ngejar cowok daripada serius kuliah.”
“Udahlah, jelas Kevin sukanya sama Kevia. Dari awal Popy udah dicuekin, tapi masih aja ngejar.”
Popy mengepalkan tangannya erat, jemarinya sampai memutih. Napasnya memburu, dadanya naik turun. Tatapannya menyapu sekeliling, menyalak pada mereka yang berani berbisik di belakangnya.
“Hus! Sudah, jangan bergosip. Orangnya masih di sini, masa iya dibicarakan terang-terangan?”
Bisik-bisik itu pun mereda, meski tatapan mencibir masih mengiringi.
Popy mendongak, wajahnya memerah antara malu dan marah. Matanya menatap tajam ke arah mereka semua, lalu berbalik pergi dengan langkah cepat.
Namun dalam dirinya, segunung rasa kesal dan amarah mendidih, siap meledak kapan saja.
“Sial! Beraninya mereka membicarakan aku di depanku. Membandingkanku dengan gadis miskin itu.”
Tumit sepatu Popy menghentak lantai koridor, tiap langkah bergema tajam, seolah menegaskan kemarahannya. Namun baru beberapa langkah, terdengar cekikikan singkat dari arah belakang.
Langkahnya terhenti. Bahunya menegang, jemarinya mengepal hingga memutih. Ia menoleh sekilas, tatapan membakar mengarah pada sekelompok mahasiswa yang buru-buru menunduk pura-pura sibuk.
“Tunggu saja, Vin. Akan kuhancurkan gadis itu. Gadis miskin yang membuatmu hanya menatapnya, dan menjadikanku bahan tertawaan.”
Dengan napas memburu, Popy kembali melangkah cepat, meninggalkan lorong itu bersama segunung malu dan dendam yang mendidih di dadanya.
***
Setelah beberapa hari absen, Kevia akhirnya memberanikan diri masuk kelas. Saat melangkah mendekati gerbang kampus, hatinya sempat digelayuti rasa waswas. Sekilas bayangan Joni dan Janto terlintas dalam benaknya.
Matanya berkeliling, meneliti setiap sudut. Sepi. Tak ada tanda-tanda keberadaan mereka.
"Apa kemarin aku hanya berlebihan? Mengira mereka sedang mengintai…" batinnya, mencoba menepis kecemasan. Ia buru-buru masuk, meski setiap langkah terasa berat karena lututnya yang belum pulih benar.
“Via!”
Suara itu memecah lamunannya. Kevia menghentikan langkah, menoleh.
Kevin berlari kecil menghampiri, wajahnya sumringah seakan beban hatinya hilang begitu melihat gadis itu. “Kita bareng ke kelas,” ucapnya, senyum hangat menghiasi bibirnya.
Kevia hanya tersenyum tipis, mengangguk pelan.
Namun Kevin tak bisa menahan pertanyaan yang terus menghantui benaknya. Dengan suara lebih hati-hati, ia bertanya, “Via… siapa pria yang nganter kamu ke klinik kemarin?”
Seketika senyum merekah di wajah Kevia, berbeda dari senyum tipis barusan. Ada cahaya yang terpancar di matanya. “Dia Kak Yoga.”
Kevin menatapnya. "Hanya menyebut namanya saja sudah bisa membuatmu tersenyum seperti itu?" batinnya pedih, meski wajahnya berusaha tetap tenang.
“Dia… orang yang kamu suka?” tanyanya perlahan, suaranya seakan takut akan jawaban yang akan keluar.
Langkah Kevia mendadak terhenti. Jantungnya berdetak tak karuan. "Pria yang aku suka?" gumamnya dalam hati.
Benar, sejak lama hatinya memang menaruh rasa pada Yoga. Namun entah kenapa, bayangan pria misterius yang mendadak hadir dalam hidupnya ikut menyeruak. Sosok yang membuatnya merindu, meski penuh teka-teki.
“Via?” suara Kevin membuyarkan lamunannya.
Kevia tersenyum, mencoba menutupi kegugupan. “Ah, ayo kita ke kelas,” katanya sambil kembali melangkah, pura-pura tenang.
Tapi Kevin bukan tak peka. Senyumnya mengendur, sorot matanya meredup. "Kenapa dia selalu menghindar setiap kali aku menanyakan pria yang ia suka? Kalau benar pria kemarin, Yoga itu, kenapa tidak terus terang saja?"
Hati Kevin bergejolak. "Atau jangan-jangan… pria itu sudah berkeluarga? Via menyukai pria yang sudah beristri?" pikirannya kalut, menolak untuk percaya. "Tidak. Tidak mungkin Kevia seperti itu."
Namun bayangan wajah Yoga yang dewasa, penampilan rapi dengan pakaian branded, serta aroma keakraban yang ia lihat sendiri antara Kevia dan pria itu, membuat keraguan kian membesar.
"Pakaianmu… dulu selalu sederhana, kini berganti dengan merek-merek branded. Wajahmu yang dulu tampak lelah dan kulitmu kusam karena matahari, sekarang terlihat bersih, segar, begitu terawat. Dari mana semua perubahan itu datang, Via? Aku harap kau tidak salah jalan."
Kevin menoleh sekilas ke arah Kevia yang berjalan di sampingnya. Gadis itu tersenyum tipis, seakan tak ada yang salah. Tapi bagi Kevin, senyum itu tak mampu meredakan rasa resah yang terus menggerogoti dadanya.
Dari kejauhan, Popy menatap Kevia dengan sorot mata tajam, seolah ingin membakar habis gadis itu. Ia melihat jelas bagaimana senyum Kevin merekah ketika bersama Kevia. Senyum yang tak pernah sekalipun ia dapatkan. Dan tatapan lembut Kevin pada Kevia, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sejak mengenalnya.
"Kevia… aku pasti akan menyingkirkanmu dari sisi Kevin. Apa pun caranya."
***
Kevia baru saja keluar dari gerbang samping kampus. Matahari sore menimpa wajahnya, membuat bayangan panjang di aspal. Ia melirik sekilas ke arah depan kampus, dan nyaris tercekat. Dari jauh, dua sosok yang begitu familiar tampak nongkrong santai di trotoar, Joni dan Janto.
“Mereka…” jantungnya berdentum tak karuan. “Apa jangan-jangan mereka memang nyari aku?”
Firasat tak enak langsung menyergap. Refleks, Kevia menurunkan sedikit wajahnya, rambut panjangnya ia tarik ke depan, menutupi separuh muka. Dengan tangan satunya, ia merogoh saku dan pura-pura menempelkan ponsel ke telinga, seolah sibuk menerima telepon penting. Langkahnya dipercepat, tapi tetap dibuat se-natural mungkin agar tak mencurigakan.
Tak cukup dengan itu, Kevia segera bergabung ke kerumunan mahasiswa lain yang baru keluar kelas sore. Ia sengaja berada di tengah-tengah mereka, ikut tertawa tipis saat sekelompok mahasiswi membicarakan dosen killer. Semua agar terlihat seperti bagian dari kerumunan biasa.
Namun dari jarak tertentu, tatapan Joni dan Janto tetap menancap. Joni menyikut pelan lengan Janto sambil berbisik,
“Lihat, itu dia. Jangan sampai lepas lagi.”
Mata Janto menyipit, menajam ke arah kerumunan. Meski Kevia berusaha menyamarkan diri, gerak tubuhnya tetap mereka kenali. Seakan ada magnet yang menuntun pandangan mereka padanya.
Begitu Kevia keluar dari kerumunan dan mengambil arah jalan pulang, keduanya bangkit dari tempat duduk. Langkah mereka tenang, tidak tergesa, tapi jelas sedang membuntuti.
Kevia merasa bulu kuduknya meremang. Instingnya bilang ia sedang diikuti. Ia menelan ludah, pura-pura masih asyik dengan ponselnya, tapi di balik helai rambut yang menutupi wajah, matanya terus melirik ke bayangan di belakang. Bayangan dua orang yang semakin dekat.
Kevia merapatkan tas ke dadanya. Jantungnya berdetak makin kencang saat langkah kakinya terdengar bersahutan dengan dua bayangan di belakang. Ia tahu, makin lama makin jelas kalau dirinya sedang dibuntuti.
Dengan cepat ia memutuskan untuk tidak pulang lewat jalur biasa. Ia menyeberang ke jalan kecil di sisi kampus, jalanan yang relatif sepi dan hanya dilewati motor atau beberapa pejalan kaki. Ia berharap bisa memotong waktu, atau setidaknya menghilang dari pandangan mereka.
Langkahnya dipercepat, hampir berlari kecil. Rambut tetap dibiarkan tergerai menutupi wajah, tapi kali ini ia tak lagi bisa berpura-pura tenang. Napasnya terdengar memburu. Sesekali ia menoleh, pura-pura memastikan lalu lintas… tapi sebenarnya hanya ingin memastikan, apakah mereka masih mengikutinya?
Dan benar saja. Dari ujung gang, Joni dan Janto terlihat menyusul dengan langkah lebih cepat, gerak-gerik mereka jelas menandakan sedang memburu.
“Sial, mereka terus mengejar…” Kevia menggigit bibirnya.
Tangannya meremas erat ponsel, sempat terpikir untuk menelepon seseorang. Tapi ia segera mengurungkan niat.
“Kalau aku telepon rumah, ayah dan ibu pasti panik… nggak! Aku nggak mau bikin mereka khawatir.”
Ia berbelok ke gang lebih dalam, jalan yang makin sepi. Di sisi kanan-kiri hanya ada pagar tinggi dan beberapa rumah yang tampak tertutup. Sepi, terlalu sepi. Kevia baru sadar kalau langkahnya malah membawa ke arah yang salah.
"Sial! Kenapa aku malah ke sini? Tempat ini akan membuat aku makin terpojok."
Peluh dingin membasahi pelipisnya. Suara langkah Joni dan Janto kian dekat. Kevia mempercepat langkah, hampir setengah berlari.
"Jika terus begini, cepat atau lambat mereka akan berhasil menyusulku. Bagaimana ini?"
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Mata Riri berkilat nakal. Ia menunduk mendekati ibunya, suaranya berbisik penuh kelicikan. “Anak itu sekarang semakin cantik. Gimana kalau kita jual saja, Bu? Aku bisa tawarkan dia ke produser baru. Kudengar dia sama mata keranjangnya dengan yang dulu. Kita tumbalkan dia, dan aku bisa melangkah jadi artis.”
To be continued
Kevia sudah berada di kampus, bisik-bisik terdengar membicarakan kehidupan Kevia yang pastinya akibat ulah Riri dan Popy.
Cari mampus nih duet duo setan Popy dan Riri menempelkan puluhan foto Kevia bersama pria paruh baya yang terlihat tampak mesra.
Kevia sangat kaget melihat foto-foto tentang dirinya berdua dengan pria paruh baya yang adalah klien Yoga.
Popy dan Riri lihat saja kelakuanmu pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal.
tidak sabar nunggu Orang suruhannya Yoga datang ato Yoganya sendiri yang turun tangan untuk nyelametin Kevia.
ya Kevia memang wanita tangguh Yoga...sekatang Keviamu tidak mudah di tindas ia bisa mengatasinya