Adaptasi dari kisah nyata sorang wanita yang begitu mencintai pasangannya. Menutupi segala keburukan pasangan dengan kebohongan. Dan tidak mau mendengar nasehat untuk kebaikan dirinya. Hingga cinta itu membuatnya buta. Menjerumuskan diri dan ketiga anak-anaknya dalam kehidupan yang menyengsarakan mereka.
Bersumber, dari salah satu sahabat yang memberi ijin dan menceritakan masalah kehidupannya sehingga novel ini tercipta untuk pembelajaran hidup bagi kaum wanita.
Simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Rindu Yang Tak Tepat
Bab 18. Rindu Yang Nggak Tepat
POV Lola
Nggak bisa tidur. Aku kesal dengan Jemin, juga sedih. Seharusnya aku bahagia mau dilamar
Tapi Jemin yang ceroboh menggagalkan rencana hari ini. Dia lebih mementingkan egonya sendiri. Apa pentingnya sih ngumpul begitu? Nanti nggak ada uang larinya ke aku juga!
Terkadang aku juga berpikir, kemana gaji Jemin selama ini. Kalau soal bensin, malah sering pakai motorku. Kadang juga minta duit buat bensinnya.
Belum lagi soal makan. Dirumah ibunya yang belanja. Di luar aku yang bayar makan. Di rumahku kami patungan, kadang.
Kalau dibilang sering belanja pakaian atau sepatu, sandal , nggak juga. Baju dan lain-lain masih yang lama. Bahkan sepatu ada yang pakai sol dan warna baju juga sudah mulai usang.
Saat ini aku benar-benar marah. Ingin ku maki dia kalau ada. Tapi, itu cuma emosi ku sesaat saja. Begitu orangnya ada di depan mata, emosi itu hilang entah kemana. Sering terjadi seperti itu. Hatiku lemah kalau sudah ketemu dia. Aku harus bagaimana?
Cinta ini membahagiakan sekaligus membunuhku pelan-pelan. Bahagia saat memikirkannya, membayangkan masa depan kami yang akan hidup bersama selamanya.
Tetapi juga menyiksa hati dan pikiran. Memikirkan dia nggak ada kabar apalagi marah, hati nggak tenang rasanya. Belum lagi rasa rindu yang menyiksa. Bila membayangkan dia meninggalkan ku, aku bisa mati sepertinya.
Ku elus perutku yang masih rata. Ada buah cinta kami di dalam sana yang membuat aku merasa bahagia meski sedikit kecewa dengan Bapaknya.
Saat memikirkan pertumbuhan anakku saat dia mulai tiarap, melatih bicara, juga mulai bisa berdiri dan berjalan, alangkah bahagianya. Dan lamunan ku itu pudar begitu mendengar sebuah notif pesan masuk ke handphone ku.
Dari Jemin! Segera aku buka pesan itu.
Jemin : Sorry La, aku ketiduran. Capek banget malam tadi bantuin motor Bayu yang kebocoran. Belum lagi nggak ada bengkel yang buka.
Lola : Tapi kamu belum ngomong sama Mama kan? Kalau kamu ngomong yang bener, Mama atau Suly pasti bangunin kamu buat siap-siap.
Jemin : Kamu marah hanya gara-gara aku lupa bilang ke Mama?! Kamu nggak tahu aku capek kayak apa?!
Lola : Bukan gitu. Seenggaknya kamu bilang dong. Kamu nggak tahu aku disini juga di marahi sama keluarga ku.
Jemin : Aku nggak minta keluarga mu datang kan?!
Lola : Tapi mereka kan harus tahu. Apalagi aku sudah nggak punya orang tua.
Jemin : Perkara mau kawin ribet amat! Nggak perlu lamaran juga nggak apa-apa kali.
Lola : Jangan gitu. Kita disini punya adat loh Yang.
Nggak ada balasan lagi dari Jemin. Hati ku jadi cemas karenanya. Marah kah dia?
Kepala ku pusing mikirin Jemin. Marah dan kesal, tapi masih sayang. Gimana caranya aku mengatasi perasaan ini?
***
Gara-gara Jemin yang ceroboh, pagi ini aku harus kebal telinga mendengarkan nasihat nenek yang masih berpangkat saudara jauh, karena beliau sepupu Almarhumah nenek ku.
Generasi jaman old, sudah pasti memiliki tata krama dan adat yang sudah lama mereka panuti. Dan prilaku Jemin sudah pasti masuk daftar blacklist dalam buku pedoman keluarga warisan nenek moyang kami.
Mau bagaimana lagi. Aku sudah terlanjur cinta. Sehingga harus menutup mata dan telinga karena semua memaksa ku untuk sadar dari penyakit bucin alias budak cinta.
"Sudah ya Nek. Lola lagi morning sickness. Jadi pengen rebahan." kilah ku.
Sudah lelah aku duduk mendengar nasehat selama satu jam lamanya. Morning sickness ku jadikan alasan untuk bisa lepas dari Nenek.
Ku rebahkan diri di kamar ku sembari melihat handphone ku. Ku baca ulang chat ku dengan Jemin. Berharap apa pesan darinya lagi. Sungguh, aku rindu.
"La..., la...! Bangun. Kok malah tidur sih pagi-pagi? Nggak baik buat kesehatan apalagi kamu lagi hamil."
Duh, siapa sih?! Ganggu aja. Mataku berat untuk di buka. Tetapi tubuhku terus di goyang untuk membangunkan ku.
Pelan-pelan aku pun membuka mata. Ternyata Tante Neneng yang membangunkan aku tidur. Nggak sadar dengan handphone yang masih ada di genggaman tangan aku tertidur saat memikirkan Jemin rupanya.
"Ada apa sih Tante?"
"Sudah hampir jam dua belas. Kamu ngga makan? Kasihan bayi mu, butuh nutrisi."
Ah, iya. Di bicarakan perutku langsung terasa lapar. Tadi pagi aku hanya makan dua gorengan saja, lalu tertidur.
Aku melihat jam di handphone ku. Ternyata jam sebelas lewat empat puluh sekarang. Pantas saja perut ini terasa lapar.
"Iya. Aku makan."
Pelan, aku pun beringsut bangun. Tante Neneng lebih dulu meninggalkan ku menuju ruang tamu di mana yang lain sedang duduk santai.
Rumah kecilku ku semakin sempit setelah kedatangan mereka. Padahal mereka hanya berlima, tapi rasanya satu kampung datang kesini. Setiap hari sibuk masak. Dab aroma masakan itu, duh... bikin aku mual setengah mati.
Ku lihat lagi handphone ku yang aku abaikan selama satu jam karena makan. Masih nggak ada tanda-tanda Jemin mengirimi ku pesan atau pun menelponku. Aku jadi rindu.
Lalu, aku putuskan saja pergi menemui Jemin. Entah dimana dia berada, aku bisa mencarinya.
"Loh, mau kemana La?" Tanya Tante Neneng di susul pandangan Om Rino.
"Mau ke rumah Airin dulu sebentar Tante." Jawabku berbohong.
Kalau harus jujur, pasti ribet urusannya. Dan lihat, setelah mengucapkan nama sepupuku itu, nggak ada lagi yang berkomentar bukan?
Hidup ini harus pintar. Mungkin berbohong salah satunya. Berbohong demi kebaikan ku, nggak salah bukan?
Aku pergi dengan menggunakan sepeda motor ku, menuju rumah Jemin terlebih dahulu. Kata orang, menemui orangnya langsung, susana akan berbeda dari pada berbicara di chat atau pun telepon. Maka aku berpegang pada omongan itu.
Motor Jemin ada di rumah. Berarti dia nggak kemana-mana. Syukurlah..., aku jadi nggak perlu negatif thinking terhadapnya.
Kebetulan ada Suly yang sepertinya hendak pergi. Aku berniat untuk bertanya padanya.
"Suly."
"Kak Lola."
"Jemin ada?"
"Ada Kak. Tapi kayaknya sebentar lagi mau pergi bersama Mama."
"Kemana?"
"Nggak tahu. Suly pergi dulu ya Kak. Lagi buru-buru nih."
"Eh, iya. Hati-hati."
Katanya Jemin mau pergi. Jadi, aku menunggu di depan rumah saja.
"Lola." Sapa calon Mama mertuaku.
Di susul Jemin di belakang Mamanya dan melihat padaku sekilas seolah keberadaan ku biasa saja.
"Mau pergi ya Ma?"
"Iya. Kan mau ketemu keluarga buat pergi lamaran kamu besok. Kamu ada urusan penting kesini?"
"Oh, nggak kok Ma. Cuma pengen mampir aja."
"Kamu pulang saja ya. Besok juga ketemu Jemin lagi kan?"
"Iya Ma."
Aku malu. Rasanya di usir secara halus. Dan Jemin pun nggak ada sama sekali membela aku. Bahkan mendekati pun nggak. Aku seperti orang lain saja. Sedih rasanya...
Setelah mereka pergi, aku pun kembali ke rumah dengan perasaan hampa.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
mayan buat iklan biar gk sepaneng kebawa pikiran yg lg ruwet🤭🤣