NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 34

Empat jam sebelum batas waktu.

Matahari telah lama mati, ditenggelamkan oleh badai yang mengguyur Jakarta tanpa ampun. Langit malam tidak lagi hitam, melainkan ungu memar, sesekali diterangi oleh urat-urat kilat yang membelah kegelapan, diikuti oleh guntur yang menggetarkan tulang.

Di dalam sebuah bengkel mobil tua di pinggiran Cakung lokasi pertemuan darurat yang dipilih secara spesifik karena tidak memiliki CCTV, tidak ada Wi-Fi, dan jauh dari jangkauan sinyal digital menara BTS pusat tiga orang berdiri mengelilingi kap mesin sebuah sedan hitam yang berdebu.

Udara di sini berbau oli bekas, karet bakar, dan ozon dari badai. Bau yang kasar. Bau dunia nyata.

AKP Daniel Tirtayasa menatap dua orang yang tersisa di pihaknya. Pasukan terakhirnya.

Di sebelah kiri, berdiri Dr. Maya Sari. Wajahnya pucat di bawah lampu neon bengkel yang berkedip-kedip, namun matanya tajam, memancarkan ketenangan intelektual yang dibutuhkan Daniel untuk menjaga kewarasannya. Dia mengenakan rompi kevlar tebal di balik jaket hujan nilonnya, membuatnya terlihat lebih kecil, namun entah bagaimana, lebih keras. Dia bukan lagi hanya seorang akademisi; malam ini, dia adalah saksi perang.

Di sebelah kanan, berdiri Aiptu Harun.

Harun adalah anggota "hantu" di Satgasus. Selama ini dia jarang terlihat di ruang rapat, jarang bicara, dan sering diabaikan oleh anggota muda yang tech-savvy seperti Reza. Harun adalah veteran Jatanras dari era 90-an. Wajahnya dipenuhi bekas jerawat dan parut luka lama. Kulitnya sekeras kulit badak.

Dia adalah tipe polisi "sekolah lama". Dia tidak percaya pada cloud storage, database digital, atau pelacakan GPS. Dia mencatat semuanya di buku saku kecil yang kumal dengan pensil tumpul. Dan yang terpenting: Harun tidak pernah menggunakan smartphone. Di saku celana kargonya, dia membawa sebuah Nokia 3310 butut yang baterainya tahan seminggu.

Dalam dunia yang diawasi oleh "Hantu Digital" maha-tahu seperti Samuel, kekunoan Harun bukan lagi kelemahan. Itu adalah aset keamanan terbaik. Dia tidak bisa diretas. Dia tidak bisa dilacak. Dia adalah blindspot berjalan.

"Kita tidak punya banyak waktu," kata Daniel, suaranya harus bersaing dengan suara hujan deras yang menghantam atap seng bergelombang di atas mereka. "Mari kita ulangi rencananya. Satu kali lagi. Tidak boleh ada kesalahan. Satu kesalahan kecil, kita semua mati."

Daniel menghamparkan peta topografi militer area Marunda di atas kap mesin yang dingin. Peta kertas. Bukan tablet.

Dia menunjuk sebuah lingkaran merah yang dia gambar dengan spidol: gudang pabrik tua di tengah rawa-rawa industri yang mati.

"Ini adalah panggungnya," kata Daniel, jarinya menekan titik itu. "Dia memilih tempat ini karena isolasinya. Dia ingin privasi untuk 'Absolusi'-nya. Dia ingin ketenangan untuk 'kuliah'-nya. Itu berarti fokusnya akan ke dalam, ke arah panggung yang dia siapkan. Itu celah kita."

"Dia pasti punya kamera," sela Maya, menganalisis profil musuhnya. "Profil narsistik-nya menuntut dokumentasi. Dia tidak membunuh untuk kepuasan sesaat; dia membunuh untuk menciptakan warisan. Dia ingin merekam ekspresimu, Daniel. Dia ingin melihat karyanya dihargai oleh audiens pilihannya."

"Tepat," kata Daniel. "Dan karena dia sombong, karena dia memiliki God Complex, dia akan mengasumsikan aku datang sendirian, patah arang, dan putus asa. Atau... jika dia paranoid, dia akan mengawasi jalan masuk utama untuk melihat iring-iringan mobil polisi."

Daniel menatap mata Harun. "Dia akan melihat ke jalan. Dia tidak akan melihat ke bawah."

"Harun," lanjut Daniel, suaranya merendah. "Kau kuncinya. Kau tidak akan masuk bersamaku. Kau tidak akan lewat gerbang depan."

Daniel menelusuri garis biru tipis di peta itu. "Kau akan masuk dari sisi rawa. Lewat saluran pembuangan limbah industri lama di belakang pabrik. Itu titik buta. Aku sudah cek peta drainase kota tahun 80-an di arsip fisik balai kota. Saluran itu masih ada, meskipun sudah tertutup ilalang."

Harun mengangguk pelan. Dia tidak jijik. Dia tidak takut. Dia hanya menghitung. "Bau, basah, dan mungkin banyak tikus, Ndan. Tapi tidak terlihat. Saya akan bawa MP5 dengan peredam suara. Begitu saya di posisi, saya akan menunggu sinyal Komandan."

"Jangan tembak kecuali terpaksa," peringat Daniel tegas. "Kita butuh dia hidup, Harun. Kita butuh dia diadili. Jika kita membunuhnya, dia jadi martir bagi filosofinya sendiri. Kita harus mematahkan argumennya, bukan hanya tubuhnya."

Harun mendengus pelan, skeptis, tapi dia mengangguk patuh. "Siap. Tapi kalau dia mengarahkan senjata ke Ndan... saya tidak akan ragu."

Daniel beralih ke Maya. "Dokter, tugasmu paling berisiko karena kau tidak bersenjata. Kau akan bersamaku di mobil, tapi kau turun di gerbang luar, sekitar 300 meter dari gudang, di balik semak belukar. Kau akan bersembunyi di pos satpam yang sudah runtuh itu."

"Untuk apa?" tanya Maya, memeluk dirinya sendiri menahan dingin.

"Rekaman," jawab Daniel.

Dia merogoh saku jaketnya dan menyerahkan sebuah alat kecil kotak hitam dengan antena pendek. Itu bukan alat canggih buatan Reza. Itu adalah bug penyadap suara jadul rakitan sendiri yang dimodifikasi.

"Alat ini terhubung dengan mic kecil yang akan kutempel di balik kerah kemejaku," jelas Daniel. "Transmisinya analog. Gelombang radio frekuensi rendah (VHF). Samuel mungkin punya pemindai frekuensi digital canggih untuk mendeteksi sinyal seluler atau Wi-Fi, tapi dia tidak akan mencari gelombang radio kuno seperti ini."

"Aku akan merekam pengakuannya," kata Maya, memahami tugasnya. "Bukti verbal."

"Lebih dari itu," kata Daniel, menatapnya tajam. "Alat ini adalah tali pengamanmu. Jika sinyalnya putus... atau jika kau mendengar suara tembakan dan teriakan... kau jangan masuk. Kau lari. Kau telepon Jenderal Hartono. Kau adalah saksi hidup kami. Ceritakan pada dunia siapa Sang Hakim sebenarnya."

Maya menggenggam alat analog yang dingin itu erat-erat. "Aku mengerti. Aku tidak akan mengecewakanmu."

Rencana itu sederhana. Kasar. Primitif.

Tapi itu satu-satunya yang mereka punya. Menggunakan metode "kuno" penyusupan fisik melalui lumpur, radio analog, dan senjata api mekanik untuk melawan musuh yang hidup di dunia digital, server awan, dan manipulasi psikologis.

Ini adalah perang antara besi dan kode.

"Satu hal lagi," kata Daniel. Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah benda berat bersampul biru tua.

Buku filsafat pemberian Samuel. The Scales of Nemesis.

"Kenapa bawa itu?" tanya Maya heran. "Itu sampah."

Daniel menatap buku itu dengan kebencian yang dingin. "Ini pemicunya. Samuel merasa dia lebih pintar dari kita semua. Dia merasa dia adalah guru besar, dan aku muridnya yang bodoh yang perlu dicerahkan. Dia ingin melihat apakah aku sudah 'belajar'."

Daniel membuka buku itu. Di halaman tengah, di antara bab tentang retribusi, dia telah menyelipkan foto Nadia yang diambil dari video ancaman itu.

"Aku akan mengembalikan buku ini padanya," kata Daniel, matanya berkilat berbahaya. "Aku akan memberitahunya bahwa aku sudah membacanya, dan aku menolaknya. Aku akan menolak 'logika'-nya tepat di depan wajahnya. Itu akan memprovokasi egonya. Itu akan membuatnya marah. Dan orang yang marah... orang yang narsisisme-nya terluka... akan membuat kesalahan."

"Kau bermain api, Daniel," peringat Maya. "Kau memancing narsisisme seorang psikopat bersenjata. Reaksinya bisa eksplosif."

"Aku tidak punya pilihan," jawab Daniel. "Aku harus membuatnya fokus padaku. Aku harus menjadi pusat dunianya, agar dia tidak melihat Harun yang bergerak di bayangan."

Daniel menutup buku itu dengan suara thud yang keras dan final.

Dia melihat jam tangan analog di pergelangan tangannya. Pukul 22:15.

"Waktunya berangkat," kata Daniel.

Mereka keluar dari bengkel menuju mobil pribadi Daniel sebuah Fortuner hitam yang sudah ia bersihkan secara manual dari segala kemungkinan pelacak digital. Dia bahkan mencabut sekring GPS mobilnya sendiri.

Harun berjalan ke belakang mobil. Tanpa mengeluh, pria tua itu masuk ke dalam bagasi belakang yang sempit, memeluk senapan MP5-nya. Daniel menutup pintu bagasi. Kuda Troya sudah siap.

Mesin menyala. Wiper menyapu hujan deras di kaca depan dengan irama hipnotis.

Saat mobil meluncur membelah malam Jakarta yang basah dan kelam, Daniel merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang berbahaya. Sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan sejak kasus ini dimulai.

Harapan.

Untuk pertama kalinya dalam sepuluh hari, dia tidak merasa seperti korban. Dia merasa memiliki rencana. Dia merasa selangkah lebih maju.

Di dalam benaknya, dia memutar skenario kemenangan itu seperti film. Dia membayangkan wajah Samuel yang terkejut saat melihat Harun muncul dari kegelapan saluran air, berlumpur tapi mematikan. Dia membayangkan bunyi "klik" borgol yang terpasang di tangan dokter bedah yang sombong itu. Dia membayangkan dirinya membacakan hak Miranda pada Sang Hakim.

Dan lebih dari itu, dia membayangkan "setelahnya".

Dia membayangkan pulang ke rumah saat subuh. Memeluk Sarah. Masuk ke kamar Nadia dan melihat putrinya tidur dengan damai, mengetahui monster di lemari sudah dikurung selamanya. Dia membayangkan menelepon Jenderal Hartono dan berkata, "Selesai, Jenderal. Kasus ditutup."

Perasaan itu memabukkan. Hangat. Seperti morfin bagi jiwanya yang sakit.

Daniel mencengkeram setir lebih erat, membiarkan harapan itu memberinya kekuatan, membiarkan adrenalin membanjiri sistemnya.

Dia tidak tahu.

Dia tidak tahu bahwa harapan adalah racun yang paling kejam di dalam kotak Pandora. Dia tidak tahu bahwa dia sedang berjalan menuju panggung yang sudah diatur lampunya, naskahnya, dan ending-nya.

Sang Gembala mengira dia sedang membawa serigala ke dalam perangkap yang cerdik.

Dia lupa satu fakta alamiah yang sederhana: Serigala bisa melihat dalam gelap jauh lebih baik daripada domba. Dan di Marunda, kegelapan adalah tuan rumahnya.

Di kursi penumpang, Maya menatap jalanan yang gelap dengan gelisah. Tangannya memegang alat penyadap itu seperti jimat pelindung. Firasatnya berteriak, tapi dia diam.

"Daniel," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar di tengah suara hujan dan deru ban. "Berhati-hatilah. Jangan meremehkan dia."

"Kita akan menang malam ini, Dok," jawab Daniel, matanya lurus ke depan, penuh dengan keyakinan yang rapuh. "Kita bawa pulang kemenangan."

Mobil itu melaju menembus gerbang tol, meninggalkan lampu kota, menuju kegelapan Marunda. Menuju koordinat 106.8225° BT, 6.2088° LS.

Menuju Altar.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Slow respon: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!