Baron sudah muak dan mual menjadi asisten ayah kandungnya sendiri yang seorang psikopat. Baron berhasil menjatuhkan ayahnya di sebuah tebing dan berhasil melarikan diri. Di tengah jalan Baron tertabrak mobil dan bangun di rumah baru yang bersih dan wangi. Baron mendapatkan nama keluarga baru. Dari Baron Lewis menjadi Baron Smith. Sepuluh tahun kemudian, Baron yang sudah menjadi mahasiswa hukum kembali dihadapkan dengan kasus pembunuhan berantai yg dulu sering dilakukan oleh ayah kandungnya. Membunuh gadis-gadis berzodiak Cancer. Benarkah pelaku pembunuhan berantai itu adalah ayah kandungnya Baron? Sementara itu Jenar Ayu tengah kalang kabut mencari pembunuh putrinya yang bernama Kalia dan putri Jenar Ayu yang satunya lagi yang bernama Kama, nekat bertindak sendiri mencari siapa pembunuh saudari kembarnya. Lalu apa yang terjadi kala Baron dipertemukan dengan si kembar cantik itu, Kama dan Kalia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lizbethsusanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan
"Dia sudah menantangku" Antares menoleh ke Jenar lalu ke Akira dan terakhir ke Galang saat mereka sudah berjalan menaiki anak tangga yang menuju ke pintu utama rumahnya Antares.
Jenar langsung memutar badan dan memeluk Antares sangat erat. "Untuk itulah jangan lepas dari pengawasanku! Kamu sudah ditandai dan jangan sampai kejadian yang Kama lihat di mimpinya menjadi kenyataan. Aku tidak mau itu terjadi"
Antares mengerjap karena terkejut mendapatkan pelukan dadakan dari istri manisnya. Lalu, pria tampan itu mengusap rambut Jenar sangat lembut sambil berkata, "Iya, aku akan menempel sama kalian selama 24 jam penuh kecuali aktivitas ke kamar mandi dan berduaan sama kamu"
Akira dan Galang berdeham canggung dan melangkah lebar ke pintu rumah saat Jenar menepuk pelan dada bidang suami tampannya. Antares terkekeh geli lalu merangkul bahu istrinya dan mengajak Jenar masuk ke dalam rumah.
Akira, Galang, Jenar, dan Antares menemukan Kama duduk di sofa ruang tamu. Ada dua pemuda duduk di depan Kama.
Jenar langsung berlari ke putrinya saat dia melihat putrinya meneteskan airmata. Saat Jenar memeluk Kama, Antares bertanya ke Radit dan Baron, "Apa yang sudah terjadi?"
Akira dan Galang duduk di pojok sofa yang kosong sambil terus menatap Radit dan Baron dengan wajah serius.
"Ini teman saya Radit, Om"
"Selamat malam semuanya, saya Radit" Radit mengangguk sopan dan tersenyum ke semuanya.
"Kama menerima paket aneh tadi. Paketnya saya letakkan di halaman belakang karena Kama ketakutan" Jawab Baron saat Antares duduk di sebelah Kama dan mengusap lembut punggung Kama yang masih menangis di pelukan Jenar.
Antares langsung berdiri, "Antar aku ke paket itu"
"Baik, Om" Baron langsung berdiri dan memimpin langkah menuju ke halaman belakang.
Galang dan Akira menyusul langkah Antares dan Baron.
Baron berbisik ke Antares, "Saya mencurigai semua orang di sini, Om"
"Kenapa begitu?" Tanya Antares.
"Satpam Anda mendadak hilang, Om setelah Kama menerima paket mengerikan padahal Satpam Anda sempat menonton rekaman CCTV ke Radit. Lalu, rekaman CCTV juga hilang"
Kerutan langsung muncul di kening Antares, Akira, dan Galang. Akira langsung menoleh ke Galang, "Cek pos satpam"
Galang langsung mengangguk lalu berputar badan menuju ke halaman depan.
Antares membuka paket yang tadi diterima Kama dan membuat Kama ketakutan. "Lho?! Kenapa Si Putih ada di sini? Bukankah Pak Sentot udah aku suruh mengubur.........bentar" Antares berlari kencang ke pohon mangga.
"Ada apa, Om?" Tanya Baron dan Radit secara bersamaan.
"Ini kuburannya Si Putih" Tunjuk Antares ke gundukan di bawah pohon mangga.
Radit langsung mengambil sekop di samping pohon lalu berkata, "Aku akan gali dan kita lihat apakah Si Putih masih ada di dalam tanah ini"
Baron dan Antares mundur memberi ruang bagi Radit untuk menggali gundukan itu.
Tiga menit kemudian, Antares, Radit, dan Baron saling melempar pandang karena Si Putih, kelincinya Kama ada di dalam tanah.
Antares, Baron, dan Radit menoleh kaget ke Akira saat Akira berucap, "Bukan hanya Si Putih yang berada di dalam tanah"
Galang langsung menyahut, "Pria berseragam satpam, ada di dalam tanah yang masih terbuka, pelakunya sepertinya tergesa-gesa dan lupa menutup galiannya"
"Di mana?" Tanya Antares.
"Di kebun kosong. Belakang pos satpam ada tembok besar dan di balik tembok besar itu ada kebon kosong tak berpagar. Nah, tepat di bawah tembok besar itu ada tanah galian terbuka dan di depannya ada jasad pria berbaju satpam dengan nametag Slamet" Jawab Galang.
Antares mundur satu langkah dengan wajah syok.
Kelima laki-laki itu bergegas ke kebun kosong tersebut.
Galang berlari sambil menelepon anak buah di bidang kriminal untuk datang ke lokasi yang sudah dia bagikan. Antares menelepon Jenar untuk menceritakan semua hal yang dia temui dan dia tengah berlari menuju ke kebun kosong di sisi timur rumahnya. Antares menyuruh Jenar menemani Kama dan Jenar menuruti permintaan suaminya karena putrinya sedang membutuhkan mamanya.
Keesokan harinya,
Kama pergi ke kampus bersama Baron dan Radit. Sementara Antares, Akira, Galang, dan Jenar tengah menginterogasi Lastri, Anik, dan Sentot.
...♥️♥️♥️♥️...
Kama mengumpat pelan sambil memukul kemudi mobilnya saat mobilnya tiba-tiba melonjak-lonjak ke depan dan dia berasa seperti naik kuda bukannya mobil. "Sial! Mau mogok mobil ini" Kama lalu meminggirkan mobilnya dan matilah mesin mobilnya. Kama mendengus kesal, "Kenapa mogok di tempat sepi begini?" Kama sontak menyesali keputusannya pergi sendiri setelah ia mendapatkan pesan text yang menginfokan bahwa Damian berada di daerah Pujon dan terkait lokasi tepatnya sudah dibagikan oleh si pemberi info tersebut. Kama tidak membaginya ke Baron karena dia masih cemburu. Dia menemukan Baron memeluk cewek di halaman belakang kampus. Meskipun Baron sudah menjelaskan ke Kama bahwa cewek itu tiba-tiba terkilir kakinya dan dia yang berjalan di belakang cewek itu hanya refleks melompat maju dan menangkap cewek itu, Kama tidak percaya. Kama lebih memilih pergi meninggalkan Baron dan mengabaikan Baron setelah itu.
Kama juga tidak membagikan informasi tersebut ke Akira, mamanya, papanya, dan detektif Galang, karena dia tidak ingin menambah beban pikiran mereka semua, mereka semua sudah disibukkan dengan kasus pembunuhan yang bertubi-tubi terjadi di kota Malang. Kama merasa dirinya akan aman-aman saja karena dia mengenal daerah Pujon.
Kama menjejalkan ponselnya ke saku celana jinsnya lalu membuka pintu mobilnya setelah dia menarik kunci mobilnya. Setelah mengunci mobilnya secara manual, Kama menoleh ke kanan dan ke kiri. "Sial! Nggak ada satu pun mobil atau motor yang lewat? Ini jalan apa kuburan, sih? Sepi banget"
Kama menyandarkan badannya ke badan mobil sedan Accord keluaran tahun 2020 warna hitam kesayangannya. Dengan helaan napas panjang, gadis cantik itu mengeluarkan ponselnya dan menjejalkan kunci mobilnya ke dalam saku belakang celana jinsnya yang sebelah kiri karena kantong yang sebelah kanan sudah diisi dompet mungilnya. Kama menelepon mamanya dan ponsel mamanya sibuk. Dia lalu menghubungi ponsel papanya dan sibuk juga. Kama menghubungi ponsel Baron, tapi saat suara cowok itu menggema di telinga Kama, "Halo? Kamu di mana, Kam?" Kama justru mematikan panggilannya dan saat Baron meneleponnya balik, Kama mengabaikannya.
Setelah ponselnya berhenti berdering, Kama memutuskan untuk masuk ke kebun teh di seberang jalan. "Jalan itu adalah jalan pintas menuju ke jalan besar yang menuju ke rumah Reza. Daripada aku kedinginan berdiam diri di sini mending ke rumahnya Reza dan minta Reza mengantarku pulang" Kama menaikan sampai ke leher ritsleting kardigan cokelat tuanya.
Petang itu, dingin merayap ke dalam sumsum tulangnya Kama. Gadis cantik itu, Kama, nekat mengambil jalan pintas melewati kebun teh lalu berakhir di kebun strawberry untuk sampai ke jalan besar yang menuju ke rumah Reza. Reza adalah sahabat terbaiknya sejak SMP. Reza ingin ikut menjenguk Rena, tapi mendadak membatalkannya karena saudaranya datang bertamu.
Gerimis tipis mulai turun, dan lampu senter dari ponselnya berkedip-kedip sebelum akhirnya mati total. Kama sontak mengutuk dalam hati. Gelap gulita menelannya.
Di tengah kebingungan, mata Kama menangkap secercah cahaya dari sebuah rumah tua yang tampaknya sudah ditinggalkan. Pintunya sedikit terbuka, seolah mengundangnya masuk. Dengan harapan bisa berteduh dari gerimis kecil dan menumpang mengisi daya ponsel, dia memberanikan diri melangkah ke dalamnya.
Aroma apek dan debu langsung menyambut Kama. Cahaya yang ia lihat berasal dari lilin yang menyala di atas meja kayu. Tiba-tiba, sebuah suara berat dari balik kegelapan mengejutkannya.
"Cari apa, Nona cantik?" Seorang pemuda dengan rambut acak-acakan muncul. Wajahnya tampan, matanya sipit dan senyumnya... senyum itu membuat bulu kuduk Kama merinding. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.
"Maaf, Kak. Saya Kama. Tersesat di sini, dan ponsel saya mati. Boleh saya menumpang berteduh sebentar?" ucap Kama mencoba terdengar tenang.
Pemuda itu mengangguk. "Tentu saja. Mari duduk"
Kama duduk di bangku yang terbuat dari kayu rawan rayap.
Pemuda tampan itu duduk di tepi dipan yang juga terbuat dari kayu rawan rayap. "Kamu lupa sama aku? Kita pernah ketemu"
Kama mengerutkan keningnya. Dia merasakan ada aura berbahaya di wajah tampan pemuda itu, tapi entah kenapa ada perasaan nyaman juga saat dia menatap wajah tampan pemuda itu.
"Maaf saya lupa, Kak" Ucap Kama sambil mengisi daya batere ponselnya dengan meminjam charger milik pemuda tampan itu.
"Aku Chaka. Gedung pemberkasan? Kita ketemu di sana. Tidak usah memakai bahasa formal, Kam. Kita teman bukan?"
"Ah, iya" Kama menghela napas lega.
Kama mulai merasa tenang duduk di kursi usang dan Chaka duduk di dekatnya. Pemuda itu mulai bercerita tentang dirinya, tentang kebun strawberry dan teh yang luas yang Kama lewati tadi. Kebun itu milik mamanya Chaka. Lalu, pemuda itu bercerita tentang bagaimana ia tinggal sendirian di rumah tua itu. Ada sesuatu yang aneh dari ceritanya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti sebuah teka-teki yang mengerikan. Ia seringkali tersenyum saat menceritakan hal-hal yang seharusnya sedih, seperti kematian papanya.
"Papaku selingkuh," bisiknya sambil tersenyum. "Jadi mamaku membuat Papaku diam untuk selamanya. Aku tahu semuanya, tapi aku pura-pura tidak tahu. Aku diam selama ini"
Jantung Kama berdegup kencang. Gadis cantik itu mencoba mengalihkan pandangannya, dan di sudut ruangan, Dia melihat sebuah boneka kain. Boneka itu mirip sekali dengan deskripsi yang Chaka berikan tentang adiknya yang hilang. Matanya... matanya seperti menatap Kama dengan tatapan kosong. Buku kuduk Kama meremang.
"Boneka itu... milik adik angkat aku, Kam. Dia juga dibunuh oleh Mamaku karena terlalu berisik" kata Chaka sambil meraih boneka itu. "Tapi sekarang dia sudah tenang."
Keringat dingin mulai membasahi punggung Kama. Kama langsung tersadar bahwa dia harus pergi dari sana secepatnya.
Aku harus kabur secepatnya. Batin Kama sambil menarik perlahan ponselnya dari kabel charger.
"Kenapa dicabut? Udah penuh?"
Bahu Kama sontak terangkat ke atas karena kaget. "Aku... Aku rasa aku harus melanjutkan perjalanan, Kak," kata Kama, berusaha berdiri.
Seketika, senyum Chaka hilang. Ekspresi wajahnya berubah total. Matanya menyipit, dan ia menatap Kama seolah Kama adalah mangsa. "Kamu mau pergi? Tidak! Kamu tidak bisa pergi"
Tangan Kama gemetar. Dia sadar saat itu juga, dia berhadapan dengan seorang psikopat.
Oke, aku tidak suka kejutan ini. Batin Kama.
Aku harus pergi secepatnya lalu lari. Batin Kama, saat Chaka menunduk dengan wajah sedih dan terlihat lengah, Kama langsung melesat menuju pintu. Gadis cantik itu membukanya dengan paksa lalu berlari sekuat tenaga.
Hujan kini turun deras. Kama mendengar suara langkah kaki Chaka di belakangnya semakin mendekat. Suara napasnya yang berat dan seraknya seperti musik kematian yang mengiringi langkahku. Kama terus berlari, tak peduli dahan pohon yang menggores kulitnya.
Tiba-tiba, kakinya tersandung akar pohon. Dia jatuh terjerembab dan cahaya senter menyinari kakinya.............