"Aku tidak mau dijodohkan! Bukankah kalian semua tau kalau aku sudah memiliki kekasih? " "Kami semua tau nak, tapi tidak bisakah kamu menolong papa sekali ini saja, ? " "Tidak! Yang menjadi anak dirumah ini bukan hanya aku saja, masih ada Melodi di rumah ini, kenapa bukan dia saja yang kalian jodohkan! "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alizar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Malam itu, atmosfer di rumah keluarga Maudy terasa tegang. Maudy, dengan rambut yang tertata rapi dan pakaian yang serba baru, melangkah keluar dari kamarnya. Mata ibu, ayah, dan adiknya langsung tertuju padanya, memancarkan rasa penasaran yang mendalam. "Mau kemana, Kak?" tanya Melody dengan nada ingin tahu.
Namun respons Maudy sungguh tak terduga, ia menjawab dengan ketus, "Itu urusanku!" Suara Maudy yang meninggi membuat kedua orang tuanya langsung menegur, "Maudy, jangan bicara seperti itu pada adikmu!" Namun, Maudy hanya menggeleng, tak peduli, dan bergegas menuju pintu untuk pergi.
Melody, yang masih terpaku di tempat, teringat akan pertemuannya secara tidak sengaja dengan Maudy di mal siang tadi. Ia melihat Maudy bersama seorang pria tua yang dikenalkan sebagai Harun.
Rasa ingin tahu yang menggebu mendorongnya bertanya kepada orang tuanya, "Bu, yah, tadi di mal aku lihat Kak Maudy dengan Pak Harun, apa ayah mengenali pak Harun?" Ibu dan ayahnya saling pandang, kebingungan terpancar jelas di wajah mereka, seolah menyimpan pertanyaan yang sama.
"Pak Harun? Tidak nak, ayah tidak mengenali nya sama sekali. " Jawab Budi menggeleng
Alis Melody berkerut. "Tapi tadi siang kak Maudy mengakatan jika pak Harun adalah teman bisnis ayah. " Ucapnya kekeuh dan Budi kembali menatap istrinya
"Coba ayah ingat ingat lagi deh, " Saran Melody membuat Budi terdiam dengan wajah berpikir keras
"Ayah sudah mengingat semua teman ayah, dan nggak ada yang bernama Harun. Lagipula, teman bisnis apa maksudmu? Ayah ini hanyalah seorang tukang kebun sawit mana mungkin ayah memiliki rekan bisnis. " Jawab Budi yang memang benar adanya
Kebun sawit yang pernah Arkan berikan padanya, hanya ia dan Salamah lah yang mengurus semuanya, dan sekarang ini pun belum waktunya panen agar sawit itu bisa dijual, jadi rekan bisnis apa yang dimaksud oleh Melody.
Melody sendiri semakin penasaran dengan pria yang seumuran dengan ayahnya itu. Waktu itu bersama Arman, dan semenjak kejadian beberapa waktu yang lalu Melody sudah tidak pernah bertemu dengan Arman lagi begitupun Maudy yang tidak pernah membawa Arman kerumah.
Jadi Melody pikir, hubungan kakaknya bersama pria brengsek itu sudah berakhir. Namun hilangnya Arman dan digantikan oleh pria jelek itu semakin membuat pikiran negatif Melody meronta, semakin diperkuat dengan Maudy yang selalu memakai pakaian baru setiap harinya.
"Masa iya sih kak Maudy jadi sugar baby? Masa iya putus dari pria brengsek itu bikin otaknya jadi gesrek. Aduh gusti! Amit amit deh kalau kak Maudy jadi simpanan om om jelek dan gendut itu. Pokoknya aku harus selidikin ini semua, aku akan buat kak Maudy sadar kalau perbuatan nya itu salah. Masa harus jadi simpanan om om sih, minimal tu yah, kalau mau jadi simpanan cari yang tampan sedikit kek, ini malah sama yang modelan badut ancol. " Dumel nya didalam hati tak Terima jika kakaknya seperti itu
"Minimal yang ganteng dikit kek, kaya lakik gue misalnya, " Lanjutnya membatin Seraya tersenyum tipis.
***
Maudy duduk di sudut gelap club malam itu, cahaya lampu yang redup menyoroti wajahnya yang lesu. Matanya menatap lurus ke depan, mencoba menghindari tatapan para pria hidung belang yang berkeliling mencari mangsa malam itu. Tiba-tiba, Arman muncul dan duduk di sebelahnya, aroma parfumnya yang menyengat langsung menusuk hidung Maudy.
"Kamu kenapa diam saja? Pergilah layani tamu-tamu itu," ujar Arman dengan nada dingin, matanya tidak lepas dari layar ponselnya.
Maudy hanya mengangguk pelan, tak banyak bicara. Biasanya, ia akan memberontak atau setidaknya memprotes perintah Arman, tapi malam itu ia terlihat pasrah. Arman yang melihat perubahan sikap Maudy itu hanya mengernyitkan dahi sejenak, namun segera mengalihkan perhatian kembali ke ponselnya, berpikir bahwa Maudy mungkin sudah terbiasa dengan pekerjaan kotor yang sering ia suruh lakukan.
Sebelum Maudy beranjak pergi, Arman menghentikannya. "Tunggu, kartu yang Om Harun berikan tadi siang di mana? Aku perlu itu sekarang," tanya Arman sambil mengulurkan tangannya.
Maudy terkejut, ia sempat berbohong, "Aku... aku tidak tahu, kartu apa yang kau maksud Arman," jawabnya dengan suara gemetar, berharap Arman akan mempercayainya.
"Darimana dia tau kartu itu, " Batin Maudy kemudian tersentak kaget
Namun, Arman tidak tertipu. Ia meraih pergelangan tangan Maudy dengan kasar, matanya menatap tajam ke dalam mata Maudy. "Jangan coba-coba berbohong padaku, Maudy. Aku tahu kamu punya kartu itu. Serahkan sekarang atau kamu akan menyesal," desis Arman, tekanannya membuat Maudy tidak bisa berkutik.
Dengan tangan gemetar, Maudy merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kartu plastik. Ia menyerahkannya pada Arman yang langsung mengambilnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya.
"Bagus, sekarang pergi dan layani tamu-tamu itu," perintah Arman sambil menepuk punggung Maudy, mendorongnya pergi. Maudy menundukkan kepala, langkah kakinya gontai menuju kerumunan pria yang menunggunya, hatinya berat dan pikirannya melayang jauh, mencari jalan keluar dari kehidupan malam yang kelam ini.
Arman tertawa sinis kemudian beberapa wanita mendekatinya dan mulai bermanja ria ditubuh Arman. "Kalian terlihat cantik sekali, gimana kalau kita langsung saja memulai permainan nya? " Ucap Arman kepada wanita wanita itu
Dengan langkah mantap dan pasti Arman membawa wanita wanita itu menuju kamar yang sudah ia persiapkan sebelum nya. Arman menggunakan seluruh uang hasil jerih payah Maudy dalam bekerja untuk berfoya foya untuk kesenangan nya saat ini.
Lagipula ia sekarang memiliki uang yang banyak, jika habis maka ada Maudy yang akan mencarinya. Intinya tugas Arman hanya mencari pria pria kaya raya yang akan ia berikan pada Maudy. Dan urusan pernikahan nya nanti saja itu dipikirkan, yang terpenting sekarang adalah menyenangkan dirinya terlebih dahulu.
***
Melody duduk di tepi ranjang, cahaya dari laptopnya menerangi wajah cantiknya yang terlihat sedikit lelah. "Cepat pulang mas, aku kangen. "
Suara Arkan terdengar dari speaker, "Sayang, mas janji secepatnya akan pulang. Mas juga rindu kamu."
Tiba-tiba, Arkan menyebut nama Rina, membuat alis Melody berkerut. "Kamu ketemu Rina di sana? Ngapain dia di sana?"
"Kok bisa dia juga ada di kota itu? Kamu bohongin aku ya, mas! Bilangnya ada kerjaan, tapi malah ketemu sama mantan kamu itu. " Tuduhnya dengan mata memicing menatap suami nya itu
Arkan buru-buru menjelaskan, "Tenang, Sayang. Jangan marah marah dulu, dengerin dulu apa yang mau mas bilang, mas nggak sengaja ketemu dia dicafe apa lagi meeting terus mas keinget kamu yang pernah diganggu sama dia, jadi mas samperin terus mas ancam buat nggak ganggu kamu lagi, itu saja beneran deh. "
Wajah Melody yang semula tegang perlahan mereda. Dia menghela napas lega dan tersenyum tipis. "Oh, begitu. Aku kira..."
"Jangan khawatir, Mel. Kamu tetap yang teristimewa untukku," ujar Arkan dengan lembut, menenangkan hati Melody yang sempat ciut.
Melody mengangguk, membiarkan senyumnya kembali merekah. "Baiklah, aku percaya padamu. Cepat pulang, ya. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu lagi, suamiku tampan."