Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: Kim Minjoon
Setelah hanya mendapat tatapan dingin dari sang kakak, Minjoon tak berkata apa-apa dan membiarkan Jihoon melangkah pergi lebih dulu. Udara di lorong apartemen terasa lebih sunyi dibandingkan pagi tadi saat mereka sarapan. Begitu Jihoon benar-benar menghilang dari pandangan, Minjoon menarik napas panjang lalu melangkah keluar.
Mobil hitamnya meluncur perlahan meninggalkan parkiran bawah tanah, membawa Minjoon menuju hari yang padat. Ia melirik jam tangannya—masih ada cukup waktu sebelum acara penghargaan dimulai.
Hari ini bukan hari biasa. Café miliknya, Min Pour L'Amour, dinobatkan sebagai salah satu tempat paling berpengaruh dalam tren gaya hidup dan kuliner kota tahun ini. Ia diundang secara langsung untuk menghadiri acara penghargaan yang diadakan oleh asosiasi kuliner ternama, dan setelah itu, sebuah galeri seni juga menantikan kehadirannya sebagai tamu kehormatan—sebuah penghargaan kecil bagi kontribusinya dalam menggabungkan seni visual ke dalam suasana café-nya.
Meski kepala dan hatinya masih terasa penuh karena konflik kecil dengan Jihoon, Minjoon tahu, saat ini bukan waktunya untuk larut. Dunia luar mengenalnya bukan sebagai adik bungsu dari keluarga Kim, melainkan sebagai Kim Minjoon—pemilik café visioner dengan selera estetika tinggi, pembicara yang hangat, dan wajah tenang yang selalu tersenyum sopan pada kamera.
Setelah menempuh perjalanan panjang akhirnya mobil yang di tumpangi nya sampai di sebuah gedung kaca bertingkat tinggi di jantung kota Seoul itu sudah ramai sejak sore. Para tamu undangan berdatangan dengan pakaian terbaik mereka—desainer lokal hingga internasional, pemilik restoran ternama, barista profesional, jurnalis kuliner, dan influencer gaya hidup berkumpul dalam satu ruang mewah bertema Urban Botanical Chic, dihiasi instalasi seni dari tanaman hidup dan cahaya lembut keemasan Sorotan kamera berpindah dari satu figur ke figur lain.
Sampai akhirnya…
“Kim Minjoon-ssi!” Suara para fotografer menggema ketika sosok pria tinggi dengan setelan hitam bergaris halus dari desainer Italia melangkah masuk. Dasinya elegan, senyum di wajahnya tenang tapi penuh wibawa. Rambutnya ditata rapi, dan sorot matanya tajam namun tidak sombong. Ia tampak seperti seseorang yang sudah terbiasa berada di bawah sorotan—tanpa perlu mencarinya. Minjoon membalas beberapa sapaan dengan anggukan sopan. Ia tak suka berlebihan, tapi kehadirannya selalu mencuri perhatian.
“Selamat datang, Tuan Kim." Ujar seorang panitia menyambutnya di lobi, memberikan badge VIP dan menyodorkan daftar tamu kehormatan. “Kami senang sekali Anda bisa hadir. Min Pour L'Amour benar-benar membawa standar baru dalam dunia café tahun ini.” lanjut nya yang membuat Minjoon mengangguk singkat.
“Terima kasih,” jawab Minjoon singkat namun hangat, sambil menatap ruangan yang telah diatur sedemikian rupa. Matanya menyapu deretan stan mini yang memamerkan menu-menu dari café unggulan—dan satu di antaranya, tentu saja, stan miliknya bahkan saat awal-awal dia masuk dan begabung beberapa tamu langsung menghampiri.
“Selamat, Minjoon-ssi. Café Anda luar biasa. Ambience-nya… seperti masuk ke dunia lain.” ujar salah seorang tamu lain, Minjoon hanya mengangguk kecil sambil tersenyum.
“Itulah idenya. Kalau tamu bisa melupakan waktu saat berada di sana, artinya kami berhasil.” ujar nya, tapi sorot matanya mengikuti sorotan kamera yang kembali mengarah padanya saat MC utama naik ke atas panggung.
“Sore ini, kita akan memberikan penghargaan khusus kepada seorang visioner muda yang berhasil menggabungkan estetika, rasa, dan pengalaman emosional ke dalam sebuah café. Tempat yang tidak hanya menyajikan makanan, tetapi juga cerita…” ujar nya yang membuat semua tamu tersenyum, jelas sudah tahu siapa yang akan jadi pemenang.
“Selamat kepada Kim Minjoon dan Min Pour L'Amour!” ujar nya yang membuat Minjoon sedikit tersenyum mendengar tepuk tangan menggema. Minjoon melangkah dengan tenang, menyempatkan senyum kecil pada beberapa wajah familiar. Ia naik ke atas panggung, menerima plakat kristal berbentuk setengah lingkaran.Setelah menerima penghargaan dengan senyum tipis dan sikap anggun khas dirinya, Minjoon menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan dari kalangan pebisnis muda. Suaranya tenang, namun penuh wibawa. Tak banyak basa-basi, tetapi setiap kalimat yang keluar terdengar berbobot dan matang.
“Terima kasih atas apresiasinya…” Suaranya rendah dan stabil. “Tempat kami berdiri bukan karena saya sendiri, tapi karena tim yang luar biasa dan pengunjung yang terus datang bukan hanya untuk kopi, tapi untuk rasa yang kami coba hadirkan dari hati.” lanjut nya dia menunduk sopan, lalu turun kembali ke tempat duduknya.
Tepuk tangan masih berlanjut, dan beberapa penghargaan lain di berikan pada tamu tamu yang lain, hingga waktu dan acara berjalan cukup lama. Namun, waktu tak memberinya keleluasaan. Begitu acara selesai, Minjoon dengan sopan berpamitan kepada panitia dan beberapa tamu penting lainnya. Ia menghampiri seorang pria yang sejak tadi mendampinginya sebagai pengatur jadwal dan agenda pribadi.
"Ayo, kita akan sedikit terlambat " ujar asisten nya yang bernama Jung Tae-hwan.
Perjalanan menuju pusat budaya Gangnam berlangsung tenang. Minjoon duduk di kursi belakang mobil, memandangi kota yang terus bergerak di balik jendela kaca hitam. Pikirannya sejenak melayang ke rumah—ke kakaknya, ke pertengkaran pagi itu, ke perasaan bersalah yang masih mengendap diam-diam di dada. Tapi ia mengembuskan napas pelan, berusaha memusatkan fokusnya kembali.
Hari ini, dia bukan hanya seorang adik yang tengah dihimpit rasa bersalah. Tapi juga seorang businessman dan cultural contributor yang akan berdiri di hadapan publik dan tokoh-tokoh penting dunia seni Korea Selatan. Tak lama kemudian, mobilnya berhenti di depan bangunan modern dengan arsitektur mencolok—Pusat Budaya Gangnam. Kamera-kamera media sudah berjajar. Nama Kim Minjoon kembali menjadi sorotan hari ini. Dengan sikap elegan, ia melangkah keluar dari mobil, disambut lampu kamera dan bisik-bisik pujian.
“Kim Minjoon-ssi! Tolong ke sini sebentar!”
“Bagaimana perasaan Anda setelah dua penghargaan dalam sehari?”
Minjoon hanya menanggapi dengan anggukan sopan dan senyum kecil. Ia menatap langsung ke arah pintu masuk gedung, siap melanjutkan peran berikutnya dalam panggung kehidupan yang selalu menuntut lebih.
Ruangan pameran itu dipenuhi aroma kayu dan minyak lukis, disinari lampu gantung elegan yang menggantung rendah dan menghangatkan suasana malam. Lantai marmer mengilap memantulkan cahaya lembut dari lukisan-lukisan besar dan patung kontemporer yang berdiri megah di setiap sudut. Minjoon berdiri di dekat instalasi seni multimedia bertema “Urban Silence” bersama beberapa tokoh dari dunia seni—kurator galeri asal Prancis, fotografer dokumenter dari Jepang, dan arsitek lanskap dari Italia. Percakapan mereka hangat dan berbobot, membahas makna ruang dalam karya, dampak sosial seni modern, serta hubungan antara bisnis dan estetika dalam kehidupan urban Seoul.
Minjoon mendengarkan dengan saksama, sesekali memberi pendapat dalam bahasa Inggris yang fasih, gaya bicara yang tenang dan terukur, membuatnya tampak menonjol tanpa harus mencari perhatian. Bahkan ketika dia hanya diam dan mengangguk, orang-orang memperhatikannya—bukan karena ia mencolok, tetapi karena aura tenang dan percaya diri yang ia pancarkan.
Namun, di tengah diskusi yang mengalir lancar, seorang wanita muda tiba-tiba menghampiri grup mereka. Seorang idol wanita terkenal, mengenakan gaun hitam panjang berbelahan tinggi dengan punggung terbuka. Wajahnya menawan, senyumnya mengembang cerah, namun langkah dan tatapannya terlalu berani.
“Oh! Apakah ini Tuan Kim Minjoon? Akhirnya kita bertemu juga... Aku penggemar café-mu, dan... yah, jujur, penggemar kamu juga.” katanya dalam nada centil, langsung menyentuh lengan jas Minjoon tanpa diminta. Minjoon sedikit menoleh, membalas dengan anggukan kecil dan senyum sopan.
“Terima kasih. Senang mendengar café kami bisa meninggalkan kesan baik.” ujar minjoon sedikit risih, dia memang sering berhadapan dengan wanita wanita seperti ini yang sangat berani dan tidak tahu batasan ketika berhadapan dengan orang lain.
Namun wanita itu tidak berhenti di situ. Dia berdiri terlalu dekat, jaraknya nyaris tidak memberi ruang pribadi. Bahkan saat Minjoon mundur sedikit, ia terus mengikuti gerakan Minjoon seolah ingin mengikat percakapan lebih jauh.
“Kalau begitu, mungkin aku bisa minta nomor kontakmu? Kita bisa kerja sama suatu saat... atau sekadar minum wine sambil bicara seni? Aku juga pencinta seni, aku sudah dengar banyak tentang mu,” suaranya dibuat semerdu mungkin.
Minjoon tidak menunjukkan ekspresi tidak nyaman, tapi tatapan matanya mulai kehilangan kehangatan. Ia menghindari tatapan langsung, lalu menoleh ke arah kurator Prancis yang tadi sempat terputus pembicaraannya.
“Maaf, sepertinya saya belum selesai mendengar penjelasan tentang karya instalasi barusan,” ujarnya pelan namun tegas, lalu memalingkan tubuh sepenuhnya ke arah grup diskusinya.
Sang idol wanita terdiam beberapa detik, terkesima oleh penolakan yang terselubung halus itu. Ia tersenyum canggung sebelum perlahan menjauh, menyadari bahwa aura Minjoon memang bukan untuk diganggu sembarangan. Minjoon kembali berbicara dengan para tokoh seni itu, dan wanita itu tetap diam di sana seperti patung yang tidak di harapkan.
"Saya benar benar terkesan dengan pandangan anda tentang seni" ujar kurator galeri asal Perancis itu, pria bernama Louis Marceau, kurator galeri ternama di Paris yang sudah beberapa kali menggelar pameran internasional.
“Seni adalah bahasa yang paling jujur, Monsieur Louis. Dan ruang publik, termasuk café atau restoran, seharusnya menjadi kanvas yang bisa menyampaikan pesan kepada siapa saja, bahkan tanpa perlu membaca.” balas Minjoon mengangguk sopan. Beberapa seniman dari Jepang dan Italia ikut mengangguk, salah satu dari mereka, seniman kontemporer asal Kyoto bernama Akiro Tanaka menimpali,
“Saya suka bagaimana Anda menjadikan café bukan sekadar tempat minum kopi, tapi juga tempat bernafas untuk karya seni.” ujar nya lembut yang membuat beberapa di antaranya mengangguk.
Diskusi pun mengalir dengan hangat dan intelek. Tak jarang beberapa dari mereka memuji minjoon karena kepiawaiannya dalam bicara apalagi saat menggunakan bahasa inggris dengan beberapa logat, dia juga terdengar beberapa kali berbicara bahasa jepang. Para tokoh seni itu terlihat kagum dengan kepintaran pria muda ini, bukan hanya tentang bahasa saja tapi pemahaman Minjoon tentang seni dan budaya sangat dalam.
Setelah berbincang cukup lama akhirnya Minjoon berdiri bersama kelompok kurator, seniman, dan pegiat budaya dari berbagai negara di tengah ruangan besar yang diterangi cahaya hangat, penuh karya instalasi dan seni kontemporer yang berani. Undangan khusus yang diterimanya bukan tanpa alasan—sebagai pemilik café dan restoran yang menggabungkan estetika ruang, musik, dan kolaborasi seni, Minjoon dianggap telah menghadirkan pendekatan baru dalam menyatukan bisnis dan budaya.
“Mr. Kim, pendekatan Anda terhadap desain ruang dan kolaborasi dengan seniman lokal benar-benar memberi warna baru dalam lanskap industri F&B,” ujar pria berambut perak, kurator dari galeri ternama di Paris, bernama Louis Marceau.
“Saya pribadi sangat menyukai bagaimana Anda memperlakukan café Anda sebagai ruang komunitas seni.” ujar nya yang membuat Minjoon menanggapi dengan tenang.
“Terima kasih, saya hanya mencoba membuat tempat yang bisa jadi rumah kedua bagi orang-orang yang ingin mengekspresikan diri mereka. Saya percaya, seni bukan hanya untuk dipajang, tapi untuk dihidupi.” ujar minjoon sembari tersenyum tipis mempertahankan wibawa nya.
Diskusi pun berlanjut hangat, membahas bagaimana dunia kuliner kini tak hanya soal rasa, tetapi juga pengalaman estetika, atmosfer, dan nilai budaya yang bisa dihadirkan lewat ruang. Minjoon, dengan elegansi khasnya, menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pengusaha, tapi visioner yang tahu cara menjembatani seni dan kehidupan sehari-hari.
Namun...
Di balik lingkaran diskusi yang penuh intelektualitas itu, seorang wanita berdiri tak jauh dari sana, matanya terus mengamati Minjoon—idol wanita yang tadi sempat ditolak halus olehnya. Seolah tak kapok, ia kembali mendekat perlahan, membawa dua gelas minuman anggur dan mencoba menyisipkan dirinya ke tengah pembicaraan.
“Minjoon-ssi, kau terlihat lelah... mungkin minuman ini bisa menyegarkanmu?” katanya dengan suara dibuat manja. Minjoon menoleh singkat, ekspresinya tak berubah. Tetap tenang namun tajam.
“Terima kasih, saya tidak minum saat sedang berdiskusi,” jawabnya sambil sedikit menggeser posisi tubuh agar kembali membentuk lingkaran dengan lawan bicaranya. Lucien yang menyadari situasi itu hanya mengangkat alis sedikit, lalu tersenyum maklum.
“Tampaknya popularitas Anda melebihi karya instalasi di ruangan ini, Mr. Kim.” Minjoon hanya menanggapi dengan senyum tipis. Tapi jelas, wanita itu belum menyerah, meskipun begitu minjoon memilih acuh dan mengabaikan wanita itu, dia melanjutkan diskusi nya dengan tenang bertukar pikiran dan juga pengalaman hingga akhirnya acara tersebut berlangsung cukup lama, dan minjoon memutuskan untuk pergi dia berpamitan pada beberapa orang dan dengan langkah elegan, Minjoon meninggalkan ruangan pameran. Cahaya dari instalasi terakhir memantulkan siluet punggungnya yang tenang namun dingin—meninggalkan kesan yang tak mudah dilupakan, bagi para pecinta seni... maupun mereka yang hanya tertarik pada pesonanya.
Setelah keluar dari gedung tersebut, Minjoon kembali masuk ke dalam mobil. Jung Tae-hwan, asistennya, langsung menyalakan mesin dan mulai mengemudi dengan tenang. Langit petang itu tampak lebih cerah dari biasanya, bias jingga samar memantul di kaca mobil, menciptakan bayangan halus di wajah Minjoon yang sedang menatap layar tabletnya. Ia tengah mengecek perkembangan terbaru dari café-café miliknya, namun pikirannya justru melayang ke hal lain. Mendadak ia menutup tablet dan menatap ke luar jendela. Dengan suara pelan tapi mantap, ia berkata.
“Kita ke apartemen Yoonjae Hyung” ujar minjoon yang membuat Jung Tae-hwan melirik cepat melalui kaca spion tengah.
“Tuan, Anda harus menghadiri pertemuan dengan Tuan Kang. Kita akan membahas kerja sama bisnis terkait cabang café baru,” ingatnya hati-hati dan Minjoon menghela napas pelan.
“Alihkan ke besok.” pinta nya yang membuat Jung Tae-hwan kembali berucap cepat.
“Tapi... jika dialihkan, besok jadwal Anda akan sangat padat, bahkan tidak ada jeda untuk makan siang, Tuan.” ujar nya yang membuat Minjoon melirik ke arah Tae-hwan dan menyipitkan mata.
“Kau terlalu pintar untuk sekadar asisten. Pintar mengancam bosmu sendiri,” gumamnya sinis, tapi dengan nada yang nyaris terdengar seperti candaan.
“Terima kasih atas pujiannya, Tuan.” balas Tae-hwan tersenyum tipis, tapi tetap menjaga ekspresi profesional. Minjoon hanya mendengus kecil, tapi sudut bibirnya sempat terangkat. Meski banyak orang menganggapnya kaku dan perfeksionis, hanya Tae-hwan yang tahu bahwa Minjoon terkadang bisa sangat santai—terutama saat dia sedang menyusun rencana yang menyangkut keluarganya.
Akhirnya, Minjoon memutuskan tetap mengikuti jadwal hari itu. Ia menghadiri pertemuan dengan Tuan Kang, lalu memantau cabang-cabang café *Min Pour L’Amour* satu per satu. Namun dalam diam, pikirannya terus kembali pada satu hal—misi kecil yang ingin ia jalankan malam ini: membawa Yoonjae dan Jihoon berdamai.
•••
"Areum-ssi, Lisa-ya, hati-hati di jalan, ya." ujar Irene, sebelum naik ke bus yang datang lebih dulu. Sedangkan Areum masih menunggu busnya bersama Lisa.
Keheningan sempat tercipta di antara keduanya, hanya terdengar suara kendaraan yang lalu-lalang di sepanjang jalan Mapo, disertai hembusan angin sore yang lembut menyentuh kulit. Beberapa menit berlalu, barulah Lisa membuka suara.
“Areum-ssi, kamu benar-benar ingin pindah dari kafe-nya Ji-sung-sajangnim?” tanyanya, nada suaranya pelan tapi terdengar sedikit ragu. Areum mengangguk kecil, jemarinya memainkan tali tas kanvas yang ia bawa.
“Iya, Eonni. Aku ingin mencoba hal baru. Lagipula, ini semua atas rekomendasi beliau. Aku pikir, aku akan suka bekerja di sana,” ujarnya dengan senyum tipis, meski sorot matanya menyiratkan campuran gugup dan antusias. Lisa ikut mengangguk, bibirnya terangkat sedikit.
“Kami mungkin akan merindukanmu, padahal kita baru saling kenal beberapa bulan saja.” lanjut nya yang membuat Areum tertawa kecil, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi rem bus yang berhenti di halte seberang.
“Kita masih bisa bertemu kok, eonni. Aku akan mampir ke kafe Ji-Sung-nim kalau sedang cuti,” ujarnya lembut.
“Kamu berarti tidak tinggal di sini lagi?” tanya Lisa lagi, nada suaranya terdengar pelan, seolah belum rela. Areum menggeleng sambil menghembuskan napas pelan.
“Tidak, eonni. Jarak dari Mapo ke Gangnam cukup jauh kalau harus pulang setiap hari. Itu sebabnya Minjoon-sajangnim memintaku untuk pindah ke sana,” jelasnya tenang.
“Minjoon? Siapa itu?” tanya Lisa sambil mengerutkan dahi, tampak benar-benar tak tahu.
“Pemilik kafe tempatku akan bekerja nanti. Dia juga sahabat Ji-Sung-nim,” jawab Areum singkat, menatap langit yang mulai berubah jingga. Lisa mengangguk pelan.
“Ah, arasseo... semoga semuanya berjalan lancar, ya. Aja aja!” katanya dengan nada ceria, mencoba menyemangati.
Tak lama kemudian, bus yang ditunggu Areum akhirnya tiba. Ia berpamitan dengan Lisa, lalu melangkah naik. Kursi dekat jendela kosong, dan di sanalah ia duduk sambil menatap keluar.
Pemandangan kota Seoul yang ramai perlahan berganti dengan jalan-jalan yang lebih tenang. Sinar matahari sore menembus kaca bus, menyinari wajahnya yang lelah tapi tenang.
Hari itu terasa panjang bagi Areum—penuh keputusan, perpisahan, dan harapan baru. Dan entah mengapa, sejak pagi tadi, ada sesuatu di dalam dirinya yang terus mendorong untuk menerima tawaran itu.
Mungkin naluri... atau mungkin, ada sesuatu dalam diri Kim Minjoon yang membuat hatinya seolah berkata: perjalanan ini baru akan dimulai.