Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa tidak berguna
Bahkan setelah pertengkaran kecil kemarin dan tuduhan tidak mendasar istrinya, Naren tetap melakukan rutinitas hariannya. Wajahnya selalu dipenuhi senyuman sejak bangun tidur. Membantu anak-anaknya bersiap ke sekolah, memasak sarapan untuk mereka tanpa mempermasalahkan Nadira yang belum keluar kamar.
Naren baru memanggil istrinya ketika sarapan sudah siap.
"Sayang ayo sarapan."
"Iya." Nadira mengikuti langkah Naren menuju meja makan. Wanita itu mengecap sesekali tanpa menegur siapapun. Berbeda dengan Naren yang seolah tidak pernah kehabisan topik membuat suasana hangat setiap saat.
"Ayah hari minggu nanti Naresa mau ke timezone," ujar putra sulung mereka.
"Iya nanti kita ...."
"Nggak ada. Timezone-timezone, kita harus ngirit ayah kalian nggak kerja!" balas Nadira.
Lantas Naren menatap istrinya tidak percaya. "Nanti ya anak-anak setelah ayah dapat uang banyak." Naren tersenyum pada anak-anaknya.
Usai sarapan bersama, Naren menghampiri Nadira sebelum mangantar anak-anaknya ke sekolah.
"Kenapa mas belum pergi? Anak-anak bisa telat," ucapnya sedikit ketus.
"Nadira, yang tadi terakhir kali ya kamu bahas ekonomi di depan anak-anak. Mas akan berusaha mencari pekerjaan secepatnya."
"Yang aku omongin fakta kok mas. Kita harus irit sampai mas dapat pekerjaan. Uang tabungan sebanyak apapun kalau nggak kerja bisa habis," balas Nadira.
"Percaya sama mas, semua akan baik-baik saja."
"Aku nggak mau hidup miskin apalagi sengsara ekonomi. Aku malu."
"Iya Sayang, mas akan mengusahakan yang terbaik. Mas nggak mungkin membuat kalian sengsara."
"Mas sebaiknya antar anak-anak ke sekolah setelah itu cari kerja."
Naren mengangguk samar. Sikap istrinya mulai berbeda setelah tahu dia dipecat.
Pria itu mengantar anak-anaknya ke sekolah dan mulai mencari pekerjaan sembari menyalakan aplikasi.
Sedangkan di rumah, Nadira tampak bersantai sembari menikmati tayangan drama di tv. Di hadapan wanita itu ada berbagai cemilan.
"Seren jangan jauh-jauh mainnya," ujar Nadira tanpa melepaskan tatapan dari layar ponsel ketika mendapatkan chat dari temannya. Ia tersenyum lebar ketika kabar bahagia menghampiri.
Tanpa menunggu waktu lama, Nadira menghubungi suaminya dan menyuruhnya pulang cepat. Sedangka ia mulai bersiap-siap dan menitipkan putrinya pada asisten rumah tangga.
Tepat setelah ia selesai, Naren tiba di rumah.
"Mau kemana Sayang?" tanya Naren.
"Mau ketemu teman, katanya dia punya pekerjaan yang cocok buat aku."
"Nggak usah Sayang, biar mas yang kerja."
"Iya nanti setelah mas dapat kerjaan. Sekarang gantiin mas yang mengurus Seren!" Nadira meraih tangan Naren dan menciumnya setelah itu meningalkan rumah.
"Wajar jika Nadira marah padaku," gumam Naren yang mulai merasa kurang.
Pria itu dengan senang hati bermain dengan putri kecilnya. Tanpa kenal lelah dan tanpa amarah. Anak-anaknya adalah harta yang tidak terhitung nilainya.
...
"Tumben nih ibu ratu kita nanya-nanya pekerjaan," celetuk teman-teman Nadira setelah wanita itu datang. Pasalnya selama ini Nadira sering kali membanggakan suaminya.
"Iya loh aku sampai kaget dengarnya. Seorang Nadira mau kerja. Memangnya udah dapat izin dari suami tercinta?"
"Udah, lagian aku bosan tinggal di rumah mulu. Mending cari tambahan uang bulanan." Nadira tertawa. "Btw jadi model apa nih?"
"Brand pakaian, kebetulan teman pacar aku lagi butuh model."
"Boleh tuh,"
"Besok aku ajak kamu ke kantornya. Hitungannya tiap job jadi nggak gaji bulanan."
"Lebih bagus malah." Nadira tertawa.
Sudah terlanjur bertemu teman-temannya, Nadira tidak ingat pulang. Makan sepuasnya dan belanja barang-barang yang sebenarnya tidak penting bersama teman-teman yang ia temani saat liburan ke luar negeri.
Nadira baru pulang kerumah setelah matahari terbenam. Wajahnya berseri-seri dan banyak menenteng sesuatu.
"Nah itu ibu sudah pulang," ujar Naren berlari kecil seperti yang dilakukan Seren.
"Wah ibu habis belanja banyak."
"Ibu beli sesuatu buat kalian." Menyerahkan paperbag pada anak-anaknya.
"Terimakasih ibu," seru mereka serempak.
"Terimakasih Sayang," ucap Naren yang mendapatkan jam tangan dari istrinya.
"Sama-sama, aku mandi dulu."
Naren mengikuti langkah istrinya menuju kamar, menunggu wanita itu selesai dengan ritual mandinya.
"Besok aku mulai kerja jadi model, jadi kalau mas belum kerja gantian ngasuh anak," ujar Nadira.
"Maaf karena membuat kamu harus bekerja. Mas gagal menepati janji," lirih Naren.
"Mas masih ada tabungan selain di kartu aku kan?" tanya Nadira memastikan.
"Kenapa?"
"Besok Naresa dan Darian bayar uang sekolah."
"Masih, kamu nggak usah pikirkan itu." Naren tersenyum.
"Uang ditabungan aku habis."
"Nanti mas kirimin, tapi kalau bisa untuk sementara kita irit dulu ya."
"Mas ngatain aku boros? Aku belanja buat kalian."
"Bukan ngatain Sayang, tapi hanya memberitahukan. Kamu pasti lapar, mas udah masak tadi."
"Iya."
Alih-alih turun untuk menemui anak-anaknya. Naren malah berdiri di balkon kamar, menatap langit yang tampak gelap. Bahkan bintang pun enggang menemani langit itu. Seperti dirinya yang kini tersandung batu kerikil, terjatuh dan belum bisa bangkit sepenuhnya.
Setiap malam Naren selalu menyalahkan dirinya karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Ia selalu dipanggil interview tetapi berujung penolakan dengan alasan klise.
"Aku harus bagaimana sekarang." Mengacak-acak rambutnya yang mulai lebat kerena tidak ia rawat.
...
Seperti kesepakatan kemarin, Nadira datang ke kantor yang disebutkan temannya. Dan siapa yang menyangka dia bertemu seseorang yang sudah lama tidak ia jumpai setelah menikah.
"Nadira?"
"Rafka?" ucap Nadira dan Rafka serempak seraya tersenyum.
"Loh kalian saling kenal?" tanya teman Nadira dan dijawab anggukan oleh mereka berdua.
"Kami berteman saat kuliah dulu, tapi Nadira menghilang begitu saja."
"Jangan bilang pertemanan kalian sempat melibatkan hati," celetuk teman Rafka.
"Nggaklah, kita murni berteman. Btw sekarang apa kabar? Sudah menikah?"
"Hey-hey lancang sekali pertanyaanmu Rafka. Nadira sudah menikah dan punya tiga anak."
"Loh tapi kelihatannya masih gadis ini," balas Rafka.
Nadira tersipu mendengar ucapan Rafka.
"Iyalah, orang suaminya tampan dan punya banyak uang. Sudah-sudah, karena kalian sudah kenal bahas pekerjaan berdua saja, aku sama pacarku mau jalan dulu," ujar sahabat Rafka.
Kini yang tersisa di ruangan itu hanya Nadira dan Rafka saja. Sejak tadi Nadira meneliti ruangan Rafka yang tampak mewah.
"Agency ini milik kamu?" tanya Nadira.
"Hm, gimana bagus kan?"
"Iya bagus. Aku nggak nyangka anak nakal kayak kamu bakal sesukses ini."
"Apapun akan terjadi kalau orang tuaku sudah berkehendak. Ini pun aku iseng biar kelihatan sibuk." Rafka tertawa, bersandar pada sofa dengan tangan membentang, belum lagi kakinya saling bertumpu.
"Rileks saja kalau kerja sama aku. Sistem di kantor ini nggak mengikat. Bayar all-in per proyek, tapi tetap pakai kontrak."
"Semoga betah," gumam Nadira.
"Satu jam lagi sesi pemotretan kamu. Setelah ini mau makan malam denganku? Hitung-hitung merayakan pertemuan kita."
"Boleh deh, lagian aku juga malas pulang."
.
.
.
.
.
Hmmmmm
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren